Jumat, 01 April 2022
Perbedaan 1 Ramadan 1443 H, Muhammadiyah Sulsel: Sikap Terbaik adalah Toleransi
MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Perbedaan 1 Ramadan kemungkinan akan kembali terjadi di tahun 2022. Pemerintah diperkirakan akan menetapkan 1 Ramadan jatuh pada 3 April 2022 mendatang, sementara PP Muhammadiyah, jauh-jauh hari telah menetapkan 1 Ramadan jatuh pada Sabtu 2 April 2022.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah. Dr KH Mustari Bosra menegaskan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan pembaruan Islam yang berlandaskan Quran dan Sunah Maqbulah. Salah satu wujud konkretnya dapat dilihat pada metode penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 9--10 Zulhijah.
Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai badan dalam Muhammadiyah yang bertugas menetapkan hukum-hukum setiap perkara, telah menetapkan untuk menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal.
"Dengan metode ini, Muhammadiyah bahkan bisa mengetahui 1 Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha seratus tahun mendatang," kata Mustari Bosra, di Kantor Badan Pembina Harian (BPH) Politeknik Kesehatan Muhammadiyah (PoltekkesMuh) Makassar, Jumat, 1 April 2022.
Metode ini, lanjut Mustari, membuat kita dapat menghitung secara saintifik posisi-posisi geometris benda-benda langit. Ini untuk penentuan waktu di bumi sehingga umat manusia dapat membuat penanggalan dan perhitungan awal bulan kamariah.
Wakil Ketua Umum MUI Sulsel ini juga menjelaskan , Muhammadiyah meyakini metode hisab hakiki ini lebih memberikan kepastian terkait penanggalan dan atau perhitungan awal bulan.
Gerakan reformis Islam ini meyakini, jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk, seberapa pun tinggi ufuk tersebut, maka esok hari dipastikan telah memasuki hari pertama bulan baru, bahkan jika ketiggian derajat masih nol koma sekian derajat.
Metode hisab inilah yang digunakan oleh umat manusia untuk menentukan penanggalan dan atau pergantian bulan baru, di luar Ramadan.
Metode hisab dinomorduakan dalam penentuan Ramadan berlandaskan hadis Rasulullah Saw yang berbunyi:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا (Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.
Muhammadiyah meyakini bahwa hadis tersebut sahih. Persyarikatan ini juga menilik hadis lain yang berbunyi
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري ومسلم] (Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari.
Muhammadiyah berpendapat, kata ‘nahsubu’ dalam hadis tersebut merujuk pada makna perhitungan waktu dengan hisab terhadap posisi geometris bulan dan matahari. Hadis tersebut mengandung illat mengapa Rasulullah menggunakan metode rukyat, yaitu karena tidak bisa meng-hisab. Oleh karena itu, hisab yang sudah bisa dilakukan dan lebih memberikan kepastian, digunakan oleh Muhammadiyah.
Berdasarkan hadis tersebut, Persyarikatan ini meyakini penggunaan metode hisab tidak menyalahi hadis terkait perintah melihat hilal. Terlebih, Quran telah memberikan petunjuk terkait hisab. Ada pun surah-surah tersebut di antaranya:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ [10: 5] Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui [Q. 10: 5].
Lebih gamblang lagi, dalam Quran Surah Ar-Rahman ayat 5 yang berbunyi شَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ Artinya: Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan[55: 5].
Muhammadiyah meyakini, sebagaimana maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah bahwa 1 Ramadan 1443 H jatuh pada hari Sabtu Pon, 2 April 2022 M. Berdasarkan hisab, Muhammadiyah meyakini, pada Jumat Pahing, 29 Syakban 1443 H bertepatan dengan 1 April 2022 M, ijtimak jelang Ramadan 1443 H telah terjadi pada pukul 13:27:13 WIB.
Tinggi Bulan pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta ( f = -07° 48¢ LS dan l = 110° 21¢ BT ) = +02° 18¢ 12². Ini merupakan tanda bahwa hilal sudah wujud. Bulan telah berada di ufuk di seluruh wilayah Indonesia pada saat matahari terbenam.
Sikap Toleransi
Wakil Ketua PW Muhammadiyah yang juga Wakil Ketua MUI Sulsel ini meyadari bahwa meski perbedaan antara Muhammadiyah dan mayoritas umat Islam di Indonesia sudah seringkali terjadi, tetapi masih ada saja masyarakat yang meributkan hal ini. Terlebih, setelah sekian tahun, perbedaan 1 Ramadan baru lagi terjadi pada tahun ini.
Mustari Bosra mengungkapkan, selama tidak ada konvensi untuk kalender global yang diakui oleh seluruh umat Islam di dunia, maka perbedaan terkait penentuan awal Ramadan, Syawal, dan 9—10 Zulhijjah pasti akan terus terjadi. Meski demikian, Mustari Bosra menyadari bahwa penyatuan kalender global tersebut memang amat sulit.
Karena itu, Mustari Bosra mengajak seluruh umat Islam untuk berpikir luas dan bersikap lapang hati menerima perbedaan ini. Tidak ada hal lain yang harus kita kedepankan kecuali toleransi, saling menerima. Umat Islam yang berkeyakinan 1 Ramadan pada 2 April, silakan, yang 3 April juga, silakan. Jangan dipersoalkan.
Ia menjelaskan, dalam Islam memang ada hal-hal yang seringkali ulama berbeda pendapat. Ada yang menganggap suatu perkara itu A sementara ulama lainnya menganggap itu B. Hal ini akan terus terjadi karena perbedaan dalam memahami Quran dan Sunah atau metode dalam meng-istinbath-kan suatu hukum.
Mustari menjelaskan dalam Islam, memang ada yang Zhanniu dhalalah atau memungkinkan dipahami lebih dari satu arti. Sama-sama kita merujuk pada Quran dan hadis yang sama, tapi bisa saja kita memahami atau menafsirkan berbeda. Dalam agama juga ada hal-hal yang dikategorikan sebagai ranah ta’abudi dan ta’aqqali yang juga memungkinkan perbedaan.
Terkait perbedaan awal puasa Ramadan, Mustari Bosra meyakinkan bahwa tidak ada yang akan berdosa jika berpuasa terlebih dahulu pada 2 April atau nanti pada 3 April. Hal ini karena semua berlandaskan pada syariat.
Sesuai hadis Rasul, Ramadan memang kalau bukan 29, ya 30. Sementara itu, terkait hadis haramnya berpuasa satu—dua hari sebelum 1 Ramadan, itu bergantung pada keyakinan awal bulan Ramadan yang dianut. Bagi yang berkeyakinan 1 Ramadan jatuh pada 2 April, maka tidak boleh berpuasa 1—2 hari sebelumnya.
Demikian pula bagi yang berkeyakinan pada 3 April, maka tidak boleh berpuasa 1—2 hari sebelum tanggal itu. Hal itu demi fitnya tubuh untuk berpuasa pada 1 Ramadan. Wallaahu ‘alam. (met)