------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 22 Mei 2022
Resensi
Buku “Esai-esai Cermin”:
Andi
Wanua Tangke: Jokowi, Habib Rizieq, Emangnya Gue Pikirin
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Sebenarnya tidak ada penulis
khusus esai, karena seorang penulis esai juga membuat tulisan dengan gaya atau
bentuk yang lain, misalnya dalam bentuk artikel ilmiah populer, cerpen, puisi, dan
atau novel.
Meskipun demikian, tetap
saja ada penulis yang gaya penulisannya sangat kental dengan esai, sebut saja
misalnya Goenawan Mohamad dan Emha Ainun Nadjib (yang juga dikenal dengan nama
Cak Nun).
Dua mantan Presiden Republik
Indonesia, Soekarno (Bung Karno) dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), juga
penulis produktif pada masanya, tepatnya jauh sebelum menjadi presiden. Dan
keduanya pun kerap menulis dengan gaya esai.
Di Sulawesi Selatan, juga
banyak penulis esai, antara lain Rahman Arge dan Asdar Muis RMS. Rahman Arge
selain sebagai penulis, juga seorang wartawan, dramawan, dan politisi,
sedangkan Asdar Muis RMS seorang penulis, wartawan, dan monolog.
Penulis esai yang masih
aktif di Sulawesi Selatan saat ini antara lain Andi Wanua Tangke. Pria
kelahiran Soppeng, 04 April 1964, juga seorang wartawan, penulis produktif
(juga dikenal sebagai cerpenis), dan pengusaha penerbit buku.
Pada April 2022, ia
menerbitkan buku berjudul “Esai-esai: CERMIN”. Buku ini berisi kumpulan esainya
yang dimuat secara rutin sekali sepekan di harian METRO Sulawesi, yang terbit
di Palu, Sulawesi Tengah.
Buku setebal 160 halaman
ini berisi 48 esai yang terbit dalam rentang waktu satu tahun yakni mulai Juni
2020 hingga Juni 2021. Ke-48 esai itu pun disusun berdasarkan waktu terbitnya,
bukan berdasarkan tema.
Membaca urut-urutan
kumpulan esai tersebut, sepertinya Andi Wanua Tangke menulis berdasarkan fakta-fakta
peristiwa atau wacana yang berkembang pada saat itu, sehingga memudahkan pembaca
mengingat kembali peristiwa yang pernah terjadi atau wacana yang pernah
berkembang.
Tentu saja Andi Wanua
Tangke tidak mengulas peristiwa, karena esai memang hanyalah sebuah karangan
prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang
pribadi penulisnya.
Maka salah satu kelebihan
buku ini terletak pada “pendeknya” tulisan-tulisan per esai, sehingga tidak
butuh waktu lama untuk membaca satu esai.
Kelebihan lain dari buku kumpulan
esai ini yaitu Andi Wanua Tangke menghindarkan dirinya dari penggunaan istilah-istilah
atau kata-kata asing, sehingga kita tidak perlu mengkerutkan kening saat
membaca esainya.
Unsur metafora dan satire
dalam esai-esai Andi Wanua Tangke juga tidak menonjol. Tulisannya nyaris polos,
sehingga anak sekolah dan ibu-ibu rumah tangga pun dapat dengan mudah
mencernanya.
Kepolosan itu antara lain
terlihat pada pujiannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pernah marah
kepada para menterinya dan kemarahan itu ditunjukkan di hadapan orang banyak.
Andi Wanua juga dengan
polos mengkritik atau mengecam Presiden Jokowi karena kebijakan merespon pandemic
Covid-19 yang berubah-ubah, “pemaksaan” Undang-Uncang Cipta Kerja yang
melahirkan kontroversial di tengah masyarakat, serta pelemahan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Kepulangan Muhammad
Rizieq Shihab atau Habib Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia setelah kurang lebih
tiga setengah tahun menetap di Arab Saudi, yang disambut jutaan orang di
bandara Soekarno-Hatta, juga dipotret dengan judul “Benci dan Rindu untuk
Rizieq”, “Bukan Khomeini”, dan “Apa Arti Sebuah Nama.”
“Bila demikian, apanya
Rizieq yang membuat sebagian orang harus panik? Dia kembali ke negerinya
membawa revolusi. Bukan revolusi gaya Khomeini. Tapi revolusi akhlak. Mirip
revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi.”
“Bukankah menyambutnya
dengan kepanikan justru memperluas pengaruh lelaki bersorban itu? Entah!”
Demikian salah satu ending
esai Andi Wanua Tangke. Pada esai lain, ia menulis:
“RIZIEQ adalah sebuah
fenomena. Kehadirannya dibenci dan dirindukan. Pemerintah yang cerdas pasti
memandang warga negaranya satu ini dengan kaca mata bijak. Tidak larut dengan
kebencian itu. Tidak terlena dengan kerinduan itu. Jokowi adalah ayah di negeri
ini. Rizieq adalah salah satu anakmu. Rakyatmu. Manfaatkanlah kekuatannya.
Binalah kelemahannya. Tentu di jalan yang benar dan adil, demi mencapai sebuah
nilai kemanfaatan untuk kemajuan bangsa. Rizieq manusia biasa: boleh salah, boleh
benar–seperti kita semua–rakyat Indonesia.”
Banyak lagi peristiwa
yang dipotret oleh Andi Wanua Tangke dalam buku ini. Tentang politisi, tentang
polisi, tentang korupsi, tentang KPK, tentang ustadz, dan beberapa lainnya,
tapi yang agak menarik perhatian adalah tulisan berjudul “Emangnya Gue Pikirin.”
Dalam tulisan ini, Andi
Wanua mengkritik kelakuan kaum politikus yang memposisikan rakyat sebagai penonton
sinetron, sedangkan para politikus itu sebagai pemain.
“Demi sebuah pemaksaan
aturan atau undang-undang misalnya, mereka bersiasat atas nama wakil rakyat. Di
sebuah gedung milik rakyat. Di malam yang gelap. Dengan rasa tak gentar, mereka
menjatuhkan palu sidang menandai diberlakukannya undang-undang. Meski suara
penolakan mendengung di seantero negeri. Korban-korban berjatuhan. Ratusan
pengunjuk rasa ditangkap polisi. Padahal mereka mempertanyakan aturan yang akan
diberlakukan untuk kehidupan pekerjaan mereka. Mereka menilai undang-undang tersebut
akan mengebiri hak-haknya.”
Andi Wanua meneruskan
kritikan sekaligus kemarahannya dengan menulis, “Persekutuan–wakil rakyat
dengan pemerintah–mereka jalin, tak melibatkan mereka yang wajib dilibatkan.
Bahkan menyakitinya. Sejarah mencatatnya pada lembaran buram. Tapi apakah
mereka memikirkannya? Emangnya gue pikirin. Begitulah jawaban mereka. Mungkin.
***