“Benarlah dugaan tuanku. Putri Maipa sekarang berada dalam tangan I Baso Mallarangang. Hamba setuju tentang pendapat tuanku yang melihat ketidakgunaannya menyembunyikan hal itu. Karena kendati ditutup rapat-rapat, Tuhan tentu mengetahuinya. Apalah artinya bagi kami untuk menyembunyikannya,” jawab kakek Adearangang, seraya menantang tatapan Gelarang.
-------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 27 Mei 2022
Datu Museng dan Maipa Deapati (14):
Kakek Adearangan Akui Maipa Deapati Berada di Tangan
Datu Museng
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Mengenang itu semua, Maggauka hampir pasti
sudah, Datu Museng-lah yang membawa minggat puterinya. Ia yakin tak ada orang
lain yang akan seberani itu kecuali dia, karena nyawalah tantangannya.
Namun demikian, untuk membuktikan
benar-tidaknya dugaan itu, dikirimlah utusan ke rumah Datu Museng sebagai
penyelidik. Dan sebagai biasa, ketua adatlah yang ditugaskan ke sana.
Ketika perutusan yang dipimpin Gelarang
tiba di rumah Datu Museng, kakek Adearangang maklum sudah apa maksud kedatangan
itu. Namun demikian, disabar-sabarkannya hatinya dan mempersilahkan utusan
duduk dengan penuh hormat.
Seperlengkapan sirih-pinang disodorkan ke arah tamu yang menyambutnya
dengan penuh hormat pula. Kedua belah pihak untuk
sesaat mengunyah sirih dan setelah meludah sekali-dua ke dalam puan, tuan rumah
mulai angkat bicara.
“Apa
gerangan yang menggerakkan tuanku
Gelarang datang ke pondok seburuk ini?
Adakah tuanku berhajat besar hingga
membuang waktu bertandang pada hari seterik ini?” tanya kakek Adearangang, sambil melirik
tamunya, menunggu jawaban.
“Mudah-mudahan
saudaraku yang bijaksana sudah maklum apa maksud kedatangan kami. Karena walaupun
ditutup-tutupi disembunyikan, pasti akan terbaca juga oleh saudara,” kata Gelarang, kemudian
sambungnya lagi, “Bukankah
sudah tersiar ke mana-mana berita hilangnya permata hayat Maggauka?
Mudah-mudahan permata kesayangan kita itu berada dalam lindungan anak kita Datu
Museng yang berilmu tinggi.”
“Benarlah
dugaan tuanku. Putri Maipa sekarang berada dalam tangan I Baso Mallarangang.
Hamba setuju tentang pendapat tuanku yang melihat ketidakgunaannya
menyembunyikan hal itu. Karena kendati ditutup rapat-rapat, Tuhan tentu
mengetahuinya. Apalah artinya bagi kami
untuk menyembunyikannya,” jawab
kakek Adearangang, seraya menantang tatapan Gelarang.
“Sungguh
teramat gembira hati kami mendengar penjelasan ini. Kami yakin Maggauka dan
Permaisuri, bahkan seluruh penduduk negeri kita akan gembira bila mendengar
kabar ini,”
kata Gelarang tersenyum lega.
“Ya,
pulang maklumlah kiranya tuanku. Sampaikan salam dan sembah-sujud kami pada
Maggauka dan permaisuri.
Tolong katakan, kami mohon dimaafkan sebanyak-banyaknya atas kekhilafan kami
karena lambat menyampaikan hal ini pada beliau,” kata kakek pula.
“Sudah
lazim manusia itu bersifat pelupa, saudaraku yang bijaksana. Dan sekarang
baiklah kami mengundurkan diri dahulu, untuk menyampaikan berita baik ini,
kepada junjungan kita. Agar tak berlarat-larat kedukaan yang menimpa beliau,” jawab Gelarang, sambil
mengulurkan tangan berjabatan, sambil menundukkan tubuh sebagai penghormatan. Lalu, menuruni tangga.
Setiba di tanah, ia mempercepat langkahnya
menuju istana. Ia tergopoh-gopoh berjalan, layaknya maling yang takut
kesiangan. Hati girang lantaran kunjungannya ternyata berhasil baik.
Ia baru bersedia-sedia memijak anak tangga
istana ketika Maggauka menyongsongnya. Rupanya, beliau pun tak
sabar lagi menanti kembalinya utusan ini. Dan, setelah berada di ruangan
balairung, semua perutusan memperbaiki duduknya.
Gelarang mulai menceritakan bagaimana dan
apa yang dikatakan kakek Adearangang, dari awal hingga akhir. Maggauka
mendengarnya sembari menahan nafas. Gemas dan girang beraduk di hatinya.
Ia girang lantaran putri kesayangannya
sudah ditemukan. Ia gemas karena sang putri berada dalam kekuasaan Datu Museng
yang berilmu tinggi.
Ia juga merasa malu kepada Pangeran
Mangngalasa dan Sultan Lombok. Hendak dibawa ke mana mukanya, jika
berhadap-hadapan dengan kedua anak beranak itu nanti. Ada beberapa saat lamanya
Maggauka dan utusan termenung, dibuai pikiran dan perasaan masing-masing.
Tiba-tiba muncul permaisuri dari dalam
biliknya dan langsung duduk di dekat suaminya, lalu menanyakan hasil usaha utusan.
“Wahai
Gelarang, beritakan segera nasib putriku sayang. Sudah luluh hati ini, dan
kering pula airmata menangisi kehilangannya yang tiada tentu rimbanya. Baru sehari permataku
hilang, kelam sudah istanaku, jangan pula dikata hati ini. Jika sampai dua
hari, bagai-manalah nanti jadinya. Sehari ini saja, tak tertanggung lagi derita jiwa. Adakah adikku Gelarang
membawa tepung penawar?” ,” kata permaisuri.
Gelarang dan Maggauka saling pandang dan
bertanya dalam hati. Siapakah yang harus menyampaikan berita ini? Sesudah pandang-memandang,
terdapatlah kata-sepakat di dalam hati.
Dengan anggukan isyarat Maggauka, Gelarang
mulai membuka suara. Ia kembali menceritakan keadaan sebenarnya yang telah
terjadi atas Putri Maipa Deapati. Belum habis tutur Gelarang, melolonglah permaisuri. Ia berlari
masuk ke biliknya. Lalu menghempaskan diri di atas peraduannya. Hancur luluh
hatinya tiada terkira. Dan, ia meratap berkepanjangan.
“Putriku Maipa, gelaplah sudah bilik ini, kelam seluruh istana bagai cincin tiada permata lagi. Mengapa engkau sampai hati benar meninggalkan bunda dalam duka. Lupa sudahkah engkau timangan kasih-sayang ayah bundamu? Kaulah mustika dalam hatiku, kembalilah putriku sayang. Ingatlah bundamu yang sudah berurai airmata sepanjang hari. Entah apalah jadinya, jika engkau tiada kembali. Ah putriku, mengapa engkau tega meninggalkan bunda?” kata permaisuri sambil meratap. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya:
Kisah Datu Museng (13):
Maipa Deapati Hilang, Maggauka Panggil Ahli Nujum