Setelah meninggalkan posisinya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafi’i aktif dalam komunitas Ma’arif Institute. Guru besar IKIP Yogyakarta ini juga rajin menulis, serta menjadi pembicara dalam sejumlah seminar.
Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku.
-------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 27 Mei 2022
Mengenang
Buya Syafi’i Ma’arif (2-habis): Dari Guru, Wartawan PWI, HMI, Hingga Ketum
Muhammadiyah
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan, Wakil Ketua
Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)
Jadi
Guru di Lombok
Dalam usia 21 tahun,
tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru.
Sesampai di Lombok Timur,
ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di
Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru.
Setelah setahun lamanya
mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957,
dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, kemudian kembali lagi
ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta.
Lanjutkan
Kuliah
Sesampai di Surakarta, ia
masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun
1964.
Setelah itu, ia
melanjutkan pendidikannya untuk tingkat sarjana penuh (doktorandus) pada Fakultas
Keguruan Ilmu Sosial, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP, sekarang
Universitas Negeri Yogyakarta), dan tamat pada tahun 1968.
Selama kuliah, ia sempat
menggeluti beberapa pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya. Ia pernah menjadi
guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958.
Setelah kurang lebih
setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama
temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.
Selain itu, ia juga
sempat menjadi redaktur majalah Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI).
S2
dan S3 di Amerika
Syafi’i yang mantan aktivis
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), selanjutnya meneruskan menekuni ilmu
sejarah dengan mengikuti Program Magister (S2) di Departemen Sejarah
Universitas Ohio, AS.
Gelar doktornya dia peroleh
dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS,
dengan disertasi: “Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic
Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.”
Selama di Chicago inilah,
Syafi’i terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Qura’n,
dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman.
Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan
Amien Rais yang juga sedang mengikuti pendidikan doktornya.
Penulis Damiem Demantra membuat
sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi'i Maarif, yang berjudul 'Si Anak
Kampung'. Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America
International Film Festival (AIFF).
Rajin
Menulis dan Menjadi Pembicara
Setelah meninggalkan
posisinya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafi’i aktif dalam komunitas Ma’arif
Institute. Guru besar IKIP Yogyakarta ini juga rajin menulis, serta menjadi
pembicara dalam sejumlah seminar.
Sebagian besar tulisannya
adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak.
Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku.
Bukunya yang sudah terbit
antara lain berjudul: “Dinamika Islam”, dan “Islam, Mengapa Tidak?” kedua buku
tersebut diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian, “Islam dan Masalah
Kenegaraan”, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985.
Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafi’i mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
Menolak Jabatan Wantimpres
Ketika Joko Widodo (Jokowi) terpilih menjadi Presiden RI, tepatnya pada awal tahun 2015, Syafi'i Ma'arif yang sudah berusia 80 tahun, sempat ditawari posisi Dewan Pertimbang Presiden (Wantimpres), tapi ia menolak. Ia lebih memilih posisi independen.
Namun ketika Presiden Jokowi memintanya menjadi salah satu anggota Tim Independen mengatasi Konflik Polri-KPK pada tahun yang sama, Syafi'i menyanggupinya dan sekaligus menjadi Ketua Tim Independen.***
-----
Artikel sebelumnya:
Mengenang Buya Syafi’i Ma’arif (1): Dari Guru, Wartawan PWI, HMI, Hingga Ketum Muhammadiyah