Para perupa di Makassar punya cara unik menggerakkan aktivitas seni rupa di antara mereka. Dinding seluas 8x7 meter di Artmosphere dilukis secara bergantian oleh para perupa yang tergabung dalam Makassar Art Initiative Movement (MAIM). Artmosphere merupakan studio dan galeri, yang dibangun perupa Jenry Pasassan. Letaknya di Jalan Abdullah Daeng Sirua, Lorong 8, Kelurahan Masale, Kecamatan Rappocini. (ist)
----
Selasa, 28 Juni 2022
Artmosphere
Jadi Tempat Para Perupa di Makassar Menuangkan Kreativitasnya
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Para perupa di Makassar punya cara unik
menggerakkan aktivitas seni rupa di antara mereka. Dinding seluas 8x7 meter di
Artmosphere dilukis secara bergantian oleh para perupa yang tergabung dalam
Makassar Art Initiative Movement (MAIM).
Artmosphere merupakan
studio dan galeri, yang dibangun perupa Jenry Pasassan. Letaknya di Jalan
Abdullah Daeng Sirua, Lorong 8, Kelurahan Masale, Kecamatan Rappocini.
Di lokasi ini, selain
galeri, juga ada Ciarong, yang menjual makanan rumahan, serta Riboko, kafe yang
menyediakan kopi dan aneka minuman.
Lokasi ini, tadinya
merupakan tempat pembuangan sampah. Lalu disulap oleh Jenry Pasassan menjadi
tempat nongkrong yang asyik dan asri. Selain ada banyak tanaman yang
menghadirkan suasana sejuk, juga ada kolam ikan nila yang cukup lebar.
Menariknya, material bangunan yang digunakan sebagian besar merupakan bahan
daur ulang.
“Lebih 90 persen saya
gunakan barang bekas,” terang perupa yang karyanya pernah dipamerkan dalam
Makassar Biennale tersebut.
Model pameran lukisan
dengan cara menampilkan karya di bidang yang cukup luas itu, sudah dilakukan
selama 6 kali. Perupa yang terlibat aktif selain Jenry Pasassan dan Ahmad
Fawzi, juga ada Ahmad Anzul, Faisal Syarif, Muhammad Suyudi, Budi Haryawan,
Asman, dan Harun.
Pertama kali dimulai
tanggal 26 Mei 2022, bertepatan ulang tahun Ahmad Fawzi, salah satu anggota
MAIM, yang juga pernah ikut Makassar Biennale. Karya terakhir yang dibuat,
sebelum ditutup oleh Faisal Syarif, dan dilanjutkan hari Senin, 27 Juni 2022, adalah oleh Asman.
“Ini cara kami mengegas
kreativitas,” ungkap Jenry Pasassan.
Setelah lukisan terakhir
ini, dia akan memblok lagi bentangan bidang yang luas itu dengan warna putih.
Lalu akan lahir lagi satu karya baru. Tidak ada tema tertentu yang dipatok.
Temanya bebas, tergantung bagaimana perupa merespons fenomena yang dia tangkap.
Setelah itu, karya dipamerkan, paling tidak selama satu hari.
“Lumayan melelahkan juga,
tapi menarik,” cerita Jenry Pasassan pada penggiat literasi Rusdin Tompo, di
studionya yang memajang lukisan-lukisannya.
Jenry mengatakan, salah
satu indikator bahwa seni rupa bergerak itu adalah intensitas karya-karyanya.
Teman-temannya juga menyadari, mereka tidak boleh hanya jadi follower, tapi
harus punya inisiatif. Apalagi, untuk publikasi juga tidak sulit karena bisa
dilakukan di akun medsos masing-masing.
Sekarang, lanjutnya,
dengan modal Rp100 ribu bisa berkarya. Misalnya, hari ini giliran dia membeli
kertas. Nanti ada lagi yang support. Penggunaan catnya juga tidak terpaku pada
cat yang mahal. Karena tidak ada jaminan bahwa cat mahal bakal menghasilkan
karya yang bagus. Tapi bagaimana dia mengolah bahan-bahannya itu jadi satu
karya yang dapat diapresiasi.
Jenry Pasassan dan
teman-temannya tergerak menghidupkan seni rupa di Makassar dipicu oleh kegiatan
Bulan Menggambar Nasional, Mei 2022 lalu. Ada semacam renungan yang dilakukan,
mengapa mesti terpaku pada momen kegiatan sesaat. Bukankah perupa itu tiap hari
menggambar atau melukis, menghasilkan karya. Momen seperti itu biasanya ramai
di awal, tapi belakangan tidak kelihatan.
Menurutnya, cara yang
dilakukan MAIM punya dampak positif. Mereka bisa saling memotivasi dan
menghasilkan karya baru. Sebab dia prihatin, seni rupa di Makassar redup
sekali. Apalagi kalau perupa mau berjuang sendiri. Fenomena teman yang mau
lakukan perjuangan di luar, pada akhirnya hanya dia yang punya nama. Tidak
punya dampak pada gerakan seni rupa di kota ini.
“Kami tahun ini akan ikut
F8 yang diadakan Pemkot Makassar. Kami ikut di fine art. Mungkin seni instalasi
yang ditampilkan,” beber lelaki dengan rambut gondrong itu.
Sebagai upayanya memajukan
seni rupa, dia punya obsesi mengadakan program residensi yang berkolaborasi dengan seniman daerah
lain. Dia juga ingin ada regenerasi dari anak-anak dengan pikiran orisinal.
Tanpa harus mengikuti frame yang dibuat orang tua.
“Biar anak mengembangkan imajinasinya
sendiri. Saya juga berharap ruang Artmosphere ini bisa dimanfaatkan teman-teman
seniman yang lain,” kata Jenry. (rt)