Kedatangannya ke Makassar tidak untuk bersenang-senang di kampung halaman. Tapi sebaliknya, untuk menunaikan tugas yang amat berat, yang dapat menimbulkan situasi dimana nyawanya menjadi taruhan utama.
Adapun bagi Maipa Deapati, Makassar yang sama sekali asing baginya itu, diyakininya sebagai tempat yang indah dalam melanjutkan ukiran sejarah hidup kasih sayangnya dengan suami tercinta.
------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 24 Juni 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (28):
Datu
Museng Dikuasai Perasaan Janggal, Maipa Deapati Yakin Makassar Kota Indah
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Sebenarnya apa yang
dipikirkan dan diutarakan istrinya itu mirip dengan pendapat yang tertera dalam
kalbunya sendiri. Namun karena ia sadar bahwa dirinya adalah unsur paling
menentukan berhasil tidaknya tugas yang sedang diembannya seperti seorang
pemimpin dan suatu pasukan yang sedang terjepit di daerah pertempuran, maka ia
berusaha mengusir perasaan yang merugikan itu. Menjadi tugasnyalah memberi
semangat segala manusia yang menyertai perjuangannya.
“Untung dan malang, mujur
dan sial, di tangan Tuhan jua akhirnya, adinda. Sebentar laut itu akan kembali
ke warna aslinya,” kata Datu Museng secara pasti, sepasti ucapan setiap orang
bahwa malam akan berakhir dan siang akan datang menggantikannya.
“Sifat air memang
demikian, mudah berubah. Jika cakrawala menjadi merah karena pantulan cahaya
matahari, maka air laut akan berwarna serupa. Demikian pula halnya jika
cakrawala berubah warna menjadi biru, tentu air laut sekitar kita ini akan
berwarna biru pula. Air laut ini laksana cermin, adinda. Apa yang berada di
atasnya akan tergambar di dalamnya. Tengoklah ke permukaan air itu. Wajahmu
yang cantik jelita tentu tidak akan berubah. Oleh sebab itu buanglah jauh-jauh
tafsiran yang bukan-bukan.”
“Datu, kukira ini bukan
secara kebetulan. Kurasa sudah janji kita dengan alam ini yang harus demikian.
Matahari yang memerah, langit dan laut yang berwarna saga seakan-akan
ditakdirkan akan nenyambut kita. Ya, aku yakin, serba merah ini bukanlah
kebetulan. Tetapi pertanda bagi kehidupan kita di masa datang,” jawab Maipa
sambil memandang jauh ke depan, ke tempat yang tiada terbatas.
Apa yang diucapkan
suaminya memang masuk benak, tetapi hati nuraninya masih dipengaruhi
perasaannya yang aneh.
“Adindaku sayang...,
kukira engkau mengerti sudah yang kumaksudkan. Bahwa keragu-raguan tiada
gunanya. Kita sudah membentang layar, kemudi telah terpasang dan haluan sudah
menentukan arah. Kita harus mencapai tujuan yang ditentukan semula, kendati
laut berubah menjadi api sekalipun, tak layak kita gentar karena warna merah
semata. Kurasa kita lebih baik tenggelam bersama bahtera, dari pada balik
kembali hanya disebabkan oleh warna. Tidakkah memalukan jika harus demikian
jadinya? Bagiku warna merah adalah warna yang paling indah. Baju bodo warna
merah yang kau pakai ini serta parasmu yang menyemu-merah, malah membuatku
selalu merasa rindu jika tak melihatmu walau sekejap,” kata Datu Museng sambil mencubit
pipi isterinya.
Perasaan aneh Maipa,
langsung larat. Dilaratkan oleh daya tarik suaminya yang begitu kuat.
Ucapan-ucapan Datu Museng yang tegas itu telah memunahkan segala rasa yang
mendamba suaminya.
“Junjunganku.., itu juga
sudah mutlak bagi kita, sejak lahir tersurat di telapak tangan kita, tak dapat
diubah atau diganggu gugat lagi. Kanda, jika kita pergi bersama, maka haram
pula bagiku balik seorang diri. Kita sudah berikrar, badan saja yang menjadi
dua, tetapi hati dan jiwa kita satu. Tak mungkin dapat dipisahkan oleh apapun
apalagi oleh tipuan angin yang memerah-darah.”
Sementara kedua
suami-istri ini asyik berbincang-bincang, air laut berangsur-angsur kembali ke
warna aslinya. Dalam pada itu, bahtera sudah jauh pula ke tengah. Sedang matahari
makin menanjak di tubir langit sebelah timur.
“Nah, itulah sifat air,
adinda. Kini ia telah berubah warna, dan demikianlah sewaktu-waktu. Oleh sebab
itu, janganlah bimbang dan ragu.”
“Ya, dinda tiada bimbang
dan ragu lagi mengarungi laut ini. Hatiku sudah teguh, kuat kembali seperti
semula, kanda.”
“Adinda sayang, layar
sudah terkembang.”
“Ya, layar sudah terkembang.”
Keduanya kemudian
terdiam, dan bahtera meluncur terus membelah ombak di haluan. Lajunya tiada
terkira, ditiup angin penuh. Sementara itu, kelasi di geladak sudah ramai
memukul gendang, gong dan pui-pui. Suasana jadi semarak lagi dalam bahtera itu.
Suara bunyi-bunyian
mereka sayup-sayup sampai ke dalam bilik Datu Museng dan Maipa Deapati. Hati
keduanya ikut terangsang, dan kekecutan hati yang hampir menguasainya, kini
punah sudah. Mereka sekarang merasa tentram, lupa peristiwa yang baru saja
hampir-hampir menggoncangkan perasaannya.
Lewat tengah hari,
bahtera tetap meluncur kencang, menjelang petang angin tiada kendur-kendur
juga. Ketika malam menerpa laut, bayu belum ada tanda-tanda bosan meniup
kencang.
Hari baik bagi Data
Museng. Bayu yang bertiup tak henti-hentinya siang dan malam itu telah membantu
keinginannya cepat mendarat di tanah tepian daratan yang dituju. Pada pagi hari
ketika mereka berlayar tampaklah dari jauh samar-samar membentang
pegunungan Lopobattang dan Bawakaraeng.
Awak bahtera segera
terdengar bersorak riuh di geladak: “Daratan Makassar sudah dekat, gunung
Bawakaraeng dan Lompobattang sudah nampak!”
Datu Museng dan Maipa
Deapati cepat-cepat bangun dari peraduannya. Mereka serempak menjenguk lewat
jendela bahtera. Keduanya tertegun, menyaksikan pemandangan yang terbentang indah
jauh di depan. Satu pertanyaan dalam hati kedua insan belia ini tiba-tiba
muncul, “Itukah Makassar?”
Ya, satu pertanyaan yang
sama, namun mengandung makna yang berlainan dalam lubuk hati keduanya. Di dalam
hati Datu Museng, tergambar tanah tumpah-darahnya, tempat dia dilahirkan
seperempat abad yang lalu. Tanah tumpah darah ini tak sempat dikenalnya dengan
balk, karena hampir seluruh usianya dihabiskan di Sumbawa.
Sekarang ia sudah akan
menjejakkan kakinya di daratan tempat ia dilahirkan. Satu perasaan janggal
menguasai dirinya. Biasanya orang pulang ke kampung halaman akibat rindu pada
orang tua dan sanak keluarga, setidak-tidaknya untuk memilih hidup tenteram
hingga akhir hayat di negeri sendiri.
Akan tetapi bagi dia,
kedatangannya ke kampung halaman ini berbeda dengan kebiasaan itu. Ia datang
tidak untuk menjenguk ayah-bundanya, karena kedua orang tuanya yang
melahirkannya itu telah pindah ke alam baqa. Sedang sanak-keluarga yang lain
tak diketahuinya lagi.
Kedatangannya ke Makassar
untuk menghapus arang yang tercoreng ke muka mertuanya, orang yang kuat kuasa
di Sumbawa. Ya, ia datang untuk menindas pengkhianatan Datu Jarewe. Ia sadar,
kehadirannva tidak untuk bersenang-senang di kampung halaman. Tapi sebaliknya,
untuk menunaikan tugas yang amat berat, yang dapat menimbulkan situasi dimana
nyawanya menjadi taruhan utama.
Adapun bagi Maipa
Deapati, Makassar yang sama sekali asing baginya itu, diyakininya sebagai
tempat yang indah dalam melanjutkan ukiran sejarah hidup kasih sayangnya dengan
suami tercinta.
Ia yakin pula akan bebas bersuka-ria tak ada gangguan dari orang-orang yang senang mengusik rumah-tangga orang lain. Bukankah Makassar negeri kelahiran suaminya? Ketika kedua suami-isteri ini asyik dibuai pikiran masing- masing, bahtera semakin mendekati daratan Makassar dengan berpedoman pada kedua gunung agung Sulawesi bagian selatan. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya:
Rakyat Sumbawa Melepas Kepergian Datu Museng dan Maipa Deapati
Perpisahan Maipa Deapati dengan Ibunda Permaisuri Diwarnai Isak Tangis