-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 19 Juni 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (24):
Hamba
Bukanlah Turunan Pengkhianat, Hamba akan Membela Kehormatan Negara
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Gelarang memanggil Suro dan memerintahkan abdi itu
segera menjemput Datu Museng di rumahnya. Seketika balairung istana agak sunyi,
menunggu kedatangan Datu Museng. Tak lama kemudian, yang ditunggu-tunggu
muncul, diiringi Suro.
Semua mata tertuju kepadanya, hingga ia duduk di sisi
Gelarang. Ia bersila rapat-rapat dan merunduk menunggu sabda Maggauka, mertua
yang amat dihormatinya.
“Anakku Datu Museng. Ayahanda memanggilmu hadir di balairung
ini karena ayahanda turut menyetujui kehendak rapat anggota adat. Keputusan
rapat itu yang berhak menghitam-putihkan keadaan kita dan merupakan sendi
kekuatan negeri. Rapat telah memutuskan akan menggunakan tenaga dan pikiranmu.
Ya, pikiranmu dibutuhkan oleh rapat, dan tenagamu diperlukan oleh negara.
Gelarang, berilah penjelasan kepada anak kita keputusan rapat tadi!”
Sambil batuk-batuk kecil, Gelarang mulai angkat
bicara. “Baiklah tuanku..., yang berbicara ini adalah ketua adat. Menurut adat,
jika ketua adat yang berbicara maka negaralah yang berkata.”
Gelarang berhenti sesaat, menelan air liur, lalu
melanjutkan bicaranya, “Anakku Datu Museng, rapat telah memutuskan anakda
berangkat ke Makassar untuk menjalankan tugas negara. Menyelesaikan peristiwa
pengkhianatan Datu Jarewe yang amat memalukan ayahandamu Maggauka, serta
seluruh anggota adat. Menurut kabar yang sampai kemari, Jarewe dengan didalangi
kompeni, secara congkak menyatakan diri sebagai pelindung rakyat di Sumbawa ini
yang menjadi kekuasaan ayahandamu. Anakku, kami orang-orang tua anggota adat
ini bersatu bulat menunjukmu. Kami yakin hanya kaulah yang mampu menyelesaikan
masalab itu. Pergilah ke Makassar, anakku. Bereskan yang sulit, tegakkan yang
rebah dan letakkan yang jatuh ke tempatnya semula. Kearifan dan kebijaksanaanmu
kami yakini sudah dapat mengatur segala yang telah terbengkalai itu. Tanggung
jawab negara kini kami sodorkan ke dalam tanganmu yang kuat kokoh dan perkasa.
Apa bicaramu, anakku?” kata Gelarang, sambil meraih puan di dekatnya.
“Tuanku Maggauka, tuan Gelarang dan tuan-tuan anggota
adat sekalian yang mulia. Jangankan ke Makassar, ke laut api sekali pun hamba
akan pergi. Hamba adalah abdi tuanku. Sabda tuanku adalah perintah negara yang
tak dapat dielakkan dan tak mungkin ditolak oleh seorang abdi negara. Hamba
arif searif-arifnya bahwa abdi negara berada dalam lingkaran kekuasaan telunjuk
tuanku. Menunjuklah, bersabdalah, hamba akan melaksanakannya tanpa
menghitung-hitung untung-rugi. Hamba laksana daun, tuanku adalah angin yang
dapat meniup daun di pohon sesuka hati. Tuanku adalah ombak yang menggelombang,
hamba laksana bahtera yang dapat diayun sesuka hati oleh gelombang. Jika tuanku
ibarat jarum, hamba ini benangnya. Bersabdalah, dan hamba menunaikan tugas. Hamba
hanya kapak yang diayunkan, pedang yang ditetakkan.”
Datu Museng berhenti sebentar, menunggu reaksi. Ketika
suasana balairung tetap hening, ia melanjutkan.
“Tuanku Maggauka dan tuan-tuan sekalian, harap
diingat-ingat kata-kata hamba ini. Jika hamba kembali ke daratan Sumbawa dengan
tangan hampa, katakan kepada anak-cucu kita bahwa hamba pengkhianat janji
terbesar dalam sejarah. Pancangkan kayu-bersilang di atas pusara hamba kelak,
jika balik tiada hasil. Jadikan hamba tertawaan sepanjang masa, biar turunan
kita nengetahui ketebalan-muka dan kekerdilan jiwa hamba. Camkanlah itu tuanku.
Hamba berjanji di depan tuanku, demi Allah, hamba akan berkubur di sana, di
daratan Makassar, jika tugas yang tuanku pikulkan di atas pundak ini tidak
berbuah. Hamba takkan lari menentang maut, jika harus demikian risikonya. Ya,
hamba bukanlah turunan pengkhianat. Dalam darah hamba, tak setetes pun mengalir
darah penjilat. Hamba tak akan menjilat tapak kaki musuh yang betapa pun kuatnya,
untuk lari dari tanggung jawab. Tidak…. hamba akan membela kehormatan negara
seperti yang tuanku gariskan, kendati badan dan nyawa dipertanggungkan. Hamba
akan lebih tenteram hidup di akhirat kelak, jika mati menjalankan tugas suci,
daripada hidup mengkhianati janji. Inilah sumpah hamba!” kata Datu Museng sambil
menundukkan kepala.
“Terima kasih atas janjimu yang sungguh agung dan
mengharukan ini anakku. Mudah-mudahan Tuhan menyertaimu,” sambut Maggauka yang
diaminkan seluruh anggota adat.
“Tetapi ada satu permohonan dan harapan hamba, tuanku,”
kata Datu Museng lagi.
“Sampaikanlah yang tertera di hatimu, anakku. Agar
kita dengar dan dipertimbangkan jika memerlukan pertimbangan!” jawab Maggauka.
“Tuanku, sudah ditakdirkan Tuhan, hamba dan Putri
Maipa tak bisa berpisah lagi. Izinkanlah kami berangkat berdua,” pinta Datu
Museng.
“Maipa Deapati adalah isterimu, anakku. Kami tak ada
niat menceraikan kedua hatimu yang sudah bertaut. Dosa apalah gerangan yang
akan menimpa kami jika berbuat serendah itu. Kami mengutusmu ke Makassar dengan
sepenuh hati. Yang diutus pun harus pula sepenuh hati berangkat ke sana. Bukan
setengah-setengah, tidak separuh hati, sebelah jantung. Berangkatlah dengan
isteri belaian kasihmu itu, anakku!”
“Terima kasih, tuanku,” sambut Datu Museng penuh
hormat.
Demikianlah, rapat anggota adat yang dipimpin langsung
Maggauka itu berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Yaitu menemukan jalan
yang paling patut diambil untuk mengatasi masalah pelik yang menimpa negara.
Rapat itu pun bubarlah. Para anggota adat mengundurkan diri. Gelarang dan Datu Museng kembali pula ke rumah masing-masing. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya: