------
PEDOMAN KARYA
Senin, 13 Juni 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (21):
Maipa
Deapati Kembali ke Istana dan Dinikahkan dengan Datu Museng
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Sementara itu, Gelarang yang ditunjuk mengepalai
utusan ke rumah Datu Museng, setiba di rumah disambut hormat oleh Kakek
Adearangang, karena Datu Museng sedang mandi membersihkan diri. Mereka duduk
bersila di atas permadani, mengunyah sirih yang dihidangkan sang kakek.
Tak lama, Maipa Deapati pun muncul membawa hidangan
untuk menghormat duta-besar ayahandanya, Maggauka Datu Taliwang.
Semua utusan memandang kepada sang puteri yang menjadi
biang keonaran di dalam negeri akhir-akhir ini. Mereka sangat terpesona
menyaksikan puteri yang kian cantik saja. Wajahnya berseri-seri, menunjukkan
keriangan.
Para utusan baru tersadar dari pesona, setelah kakek
mendehem, sambil memilin-milin kumisnya. Mereka pun kembali bercakap-cakap dari
hati ke hati, bercakap, sebagai hati ke hati, saling bertanya kesehatan
masing-masing. Tak lama bercakap, sebagai pembuka kata, Gelarang mulai
memaparkan niat di hati. Sebelumnya, ia menyampaikan salam bahagia dari
Maggauka dan Permaisuri
“Maksud kedatangan kami kemari, tiada lain, tiada
bukan, menyampaikan pesan Maggauka sembahan kita bersama. Yang dipertuan
mengharap sangat agar diusahakan diletakkan kembali kepalanya di atas bahunya,
dihapuskan malu yang mencoreng mukanya, yang menjatuhkan nama, menurunkan
martabat keturunan. Tiada lain yang dapat melaksanakan kecuali anak kita Datu
Museng I Baso Mallarangang.”
Gelarang berhenti sebentar. Ia memandang wajah lawan
bicaranya. Kemudian, terdengar suaranya yang tegas.
“Maggauka agar anak kita Maipa Deapati dipulangkan ke
istana mengharap sangat dahulu, kemudian kita beramai-ramai mengantar anak kita
Datu Museng menjemput isteri belahan jiwanya di istana. Disahkan penghulu,
disaksikan imam-khatib, anggota syarat, direstui ayah-bunda, diaminkan oleh
anggota-anggota adat, anak karaeng dan anak daeng. Diramaikan seluruh rakyat,
diikuti doa selamat sejahtera pengantin baru.”
Gelarang berhenti lagi. Ia batuk-batuk kecil sembari
mengerling, untuk melihat reaksi Kakek Adearangang. Dilihatnya, orangtua itu
manggut-manggut dengan wajah cerah, tanda maklum dan simpatik. Gelarang menarik
napas panjang, lega.
Ia pun kemudian menambahkan, “Kukira jelaslah sudah
ucapan ini. Mudah-mudahan pesan Maggauka yang bijaksana ini dapat diterima dan
diiyakan agar baiklah barang yang retak, tertimbunlah malu kita semua.
Suka-dukanya adalah suka-duka kita pula. Jadi bijaksanalah kiranya, jika
permintaan ini diterima dengan segala senang hati. Karena buruk tidak, janggal
pun bukan.”
“Kami sungguh sangat bersyukur atas pengharapan
Maggauka yang amat luhur itu,” akhirnya Kakek Adearangang menukas.
Ia melanjutkan, “Bagi hamba, usul itu tak ada lagi
jeleknya. Namun demikian, ada baiknya juga kita tanyakan kepada anak kita Datu
Museng.”
Sambil menoleh ke belakang, kakek memanggil cucunya,
agar segera datang menemaninya. Setelah berpakaian selengkapnya, Datu Museng
keluar. Ia duduk bersila di sisi kakeknya dan bersalaman dengan para utusan.
Kakeknya kemudian menyampaikan soal yang dibicarakan tadi. Dan meminta
jawabannya.
Sambil memperbaiki duduknya, Datu Museng berkata, “Harapan
Maggauka Datu Taliwang sangat hamba setujui. Cuma hamba mohon semoga usul dan
harapan itu suci dan ikhlas, keluar dari sanubari Tuanku Maggauka. Karena jika
kemudian ternyata tidak demikian, pulang maklumlah tuanku sekalian. Tekad hamba
sudah bulat, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup harus
berputih-mata!”
“Percayalah Datu, anakku,” tukas Gelarang, “Hati suci
Maggauka dalam niat ini tak perlu diragukan lagi.”
Ia pun menceritakan lebih jauh, apa yang telah terjadi
dengan pertunangan antara Maipa dengan Mangngalasa yang diputus oleh Maggauka.
Dan disetujui seluruh anggota adat. Ini agar Datu Museng lebih yakin lagi
terhadap maksud baik itu.
“Baiklah hamba percaya niat suci Maggauka,” kata Datu
Museng.
Lalu, kakek pun menyela, “Dan penyelenggaraannya kami
serahkan semua kepada Maggauka. Apa yang dirasakan baik, itulah disetujui
bersama.”
“Terima kasih atas persetujuan saudara. Baiklah kami
mengundurkan diri, pulang ke istana untuk menyampaikan persetujuan kita ini
kepada junjungan kita. Supaya lekas dibuktikan laku yang baik ini,” kata
Gelarang, lalu minta diri.
Ketika utusan sudah meninggalkan rumah, Datu Museng
masuk ke bilik menyampaikan kabar gembira itu pada Maipa. Akan tetapi di luar
dugaannya, Maipa ternyata tidak terlalu gembira mendengar kabar itu.
“Kanda, aku masih sangsi dengan niat itu.
Jangan-jangan hanya jebakan!” kata Maipa sambil memeluk Datu Museng.
“Tak mungkin, dinda. Tak mungkin Maggauka mengkhianati
janji yang telah diucapkannya. Beliau adalah tauladan agung bagi anak negeri.
Tapi jika kemudian memang ternyata hanya perangkap, maka percayalah dinda, aku
akan menghancurkan istana jadi puing-puing berserakan bukan saja, tetapi juga
menenggelamkan Sumbawa ini ke dasar laut!” sumpah Datu Museng.
Disingkat cerita, puteri Maipa Deapati diboyonglah ke
istananya kembali. Maggauka dan Permaisuri, inang pengasuh serta seluruh
dayang-dayang datang merangkulnya. Ditangisi, dipeluk cium seperti seorang
prajurit yang akan berangkat berlaga di medan perang untuk tidak kembali lagi.
Beberapa hari kemudian, dilangsungkanlah perkawinannya
dengan Datu Museng, sebagaimana adat diadatkan, bagi anak karaeng. Meriahnya
tak terkira, maklum puteri satu-satunya. Upacara berlangsung empat-puluh hari
empat-puluh malam. Diramaikan dengan aneka ragam kesenian yang menyemarakkan
suasana. Cita-cita kedua sejoli itu terlaksana sudah, hidup bahagia dalam arti
yang sesungguhnya. (bersambung)
Kisah sebelumnya:
Sultan Lombok Menerima Pemutusan Perjodohan Maipa Deapati dengan I Mangngalasa