- Maman A Majid Binfas -
(Akademisi, Sastrawan, Budayawan)
------
PEDOMAN KARYA
Senin,20 Juni 2022
Nabi Pun Diludahin
Oleh:
Maman A Majid Binfas
(Akademisi, Sastrawan, Budayawan)
Dulu, ilmuan Socrates
pernah menyadarkan orang-orang agar tidak terpaku pada opini (doza), melainkan
mengarah kepada pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan (episteme). Atas
langkahnya itu, penguasa Yunani pun menganggap Socrates menyesatkan masyarakat.
Akibatnya, Socrates
dihukum mati oleh penguasa Kota Athena. Filsuf itu memilih tidak melarikan
diri. Menerima kenyataan dengan prinsipnya yang benar sekalipun nyawa menjadi
taruhannya.
Dengan memperjuangkan
gagasannya, Socrates tentu saja tidak gila. Jurstru orang-orang yang
menghukumnya yang gila. Karena, pemikiran Socrates itu justru pada akhirnya
dapat membawa perubahan yang besar terhadap perkembangan filsafat di Yunani.
Menurut Foucault dalam
Republika 2019 diungkap oleh Zainul Maarif, ada kuasa pengetahuan yang mendikte
kategori kegilaaan, sehingga kategorisasi itu tak selamanya objektif.
Subjektivitas penilaian tentang kegialaan itulah yang juga dicatat dalam buku
terjemahan kitab Uqala al-Majanin ini.
Buku ini dapat mengubah
cara padang dan perlakuan seseorang terhadap orang-orang gila yang cerdas.
Sebab, sebagaimana dicatat dalam poin ke-441 buku ini, bahwa pada dasarnya
semua manusia itu gila. Hanya kadar dan objek kegilaannya saja yang membedakan
antara manusia satu dengan yang lain.
Tentu berbeda konteks
yang dihadapi Aslinda, tentang realitas menghadapi orang gila sungguhan,
menjadi karakter obyektivitasnya.
Walaupun, ia mendapat
caci maki dari orang gila yang sedang ditanganinya, sudah menjadi ‘makanan’
sehari-hari yang tak mengendorkan semangatnya untuk tetap memberikan pelayanan
kepada mereka, ungkapan Aslinda, (Tribun Timur, 2022)
Bukan berarti
berhenti melayani, dengan berdo’a sebagaimana do’a Nabi Musa As.
“Ya Tuhanku. Sesungguhnya
aku sangat membutuhkan setiap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS.
Al-Qashas: 24)
Esensi do’a itu juga diyakini oleh Rasulullah SAW, saat dihina dan diludahi orang Yahudi. Dimana saat orang Yahudi memanggilnya dan meludahi wajah Rasulullah SAW. Meski mendapat perlakuan demikian, Rasulullah tak marah atau menghardik si Yahudi.
Besoknya, Rasulullah
kembali berjalan di tempat yang sama. Beliau pun kembali dipanggil dan diludahi
seperti sebelumnya. Demikianlah kejadian itu terus berulang selama beberapa
hari.
Hingga pada satu hari
Nabi tak mendapati lagi si Yahudi yang meludahinya selama ini. Nabi pun
bertanya ke beberapa orang, “Kemana gerangan orang yang selalu meludahiku?”
Setelah menanyakannya,
tahulah Nabi bahwa orang tersebut jatuh sakit. Beliau pun pulang ke rumah untuk
mengambil makanan, serta mampir ke pasar guna membeli buah-buahan, untuk
menjenguk si Yahudi yang tengah sakit.
Sesampainya di rumah si
Yahudi, Rasulullah mengetuk pintu. Dari dalam rumah, terdengar suara lirih
Yahudi yang tengah sakit mendekati pintu sembari bertanya.
“Siapa yang datang?”
“Saya, Muhammad”
“Muhammad siapa?”
“Muhammad Rasulullah.”
Setelah pintu dibuka,
alangkah terkejutnya si Yahudi, menyaksikan sosok yang datang adalah orang yang
selama itu disakitinya dan diludahi wajahnya.
“Untuk apa engkau datang
kemari?” tanya Yahudi.
“Aku datang untuk
menjengukmu, wahai saudaraku, karena aku mendengar engkau jatuh sakit,” jawab
Nabi SAW dengan suara yang lembut.
“Wahai Muhammad,
ketahuilah bahwa sejak aku jatuh sakit, belum ada seorang pun datang
menjengukku, bahkan Abu Jahal sekali pun, yang telah menyewaku untuk
menyakitimu, padahal aku telah beberapa kali mengutus orang kepadanya agar ia
segera datang memberikan sesuatu kepadaku. Namun engkau, yang telah aku sakiti
selama ini dan aku ludahi berkali-kali, justru engkau yang pertama kali datang
menjengukku,” kata Yahudi itu dengan nada terharu (Beritagar, 2017).
Dan hampir semua para
Nabi dan para ilmuwan dituduh gila, juga bukan sekadar ledekan diludahin.
Bahkan dibunuh karena kadar logika yang menerima pesan disampaikannya kurang
berkenan dengan daya kecerdasan memadai, sehingga arogan kebodohan yang dipertuankannya.
Rongsongan mempertuan dan
mempertuhankan kegilaan dengan arogan kebodohan hingga kini masih melata di
dunia belantara ke dunia modern sekalipun.
Tidak mesti dinafikan
sekalipun subjektivitas memandang tentang sesuatu pengetahuan hampir sepadan
dengan orang gila benaran yang dihadapi oleh Aslinda di atas. Menjadi realitas
masa kini, antara objektif dengan subjektif tidak lagi bisa dibedakan, manakala
logika kebodohan brutalan dipertuhankan. Jangankan ilmuwan dan juga orang yang
benar, __Nabi pun diludahin !