Jalan yang dilalui iringan dipadati khalayak yang berjejal berderet mengelu-elukan, kalangan tua-muda, lelaki-perempuan sama bersorak mengucapkan selamat jalan.
Sementara itu, di pantai sudah penuh pula khalayak berkumpul, ingin menyaksikan dari dekat Datu Museng dan isterinya, putri Maipa Deapati yang duduk di atas usungan indah-permai, laksana pengantin yang diarak ke rumah mertuanya.
-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 23 Juni 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (27):
Rakyat
Sumbawa Melepas Kepergian Datu Museng dan Maipa Deapati
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Di relung jiwa kedua
suami-isteri belia ini, tertanam suatu rasa haru yang sangat mendamba pantai
kalbunya. Di halaman, ketika hendak melewati pintu gerbang, putri Maipa Deapati
sekali lagi menoleh ke belakang.
Ingin melihat sekali lagi
rumah tempatnya diasuh dan dibesarkan. Rumah tempat menjalin sejarah hidup masa
remaja, tempat bergembira-ria dan bersuka-duka.
Pada saat itu turun
pengiring-pengiringnya yang terdiri atas gadis-gadis dan beberapa orang tua penghuni
istana yang akan mengikutinya ke Makassar.
Di luar pintu halaman
istana, keduanya disambut oleh para anggota adat yang dipimpin Gelarang. Begitu
pula para anak karaeng dan anak daeng tak mau ketinggalan. Mereka sama-sama
menunggu ingin mengantar sampai ke pantai.
Gendang, pui-pui
(serunai), gong dan bunyi-bunyian lain segera melantun menyemarakkan suasana.
Iring-iringan kian lama semakin panjang, karena banyak khalayak yang ikut
menggabungkan diri dengan para pengantar resmi.
Jalan yang dilalui
iringan dipadati khalayak yang berjejal berderet mengelu-elukan, kalangan
tua-muda, lelaki-perempuan sama bersorak mengucapkan selamat jalan.
Sementara itu, di pantai
sudah penuh pula khalayak berkumpul, ingin menyaksikan dari dekat Datu Museng
dan isterinya, putri Maipa Deapati yang duduk di atas usungan indah-permai,
laksana pengantin yang diarak ke rumah mertuanya.
Dengan susah-payah
rombongan melalui lautan manusia, baru bisa sampai ke tepi pantai. Di sana
telah menunggu perahu kecil yang dihias dengan dedaunan dan bebungaan yang akan
digunakan untuk mengantar kedua sejoli itu menuju bahtera kenaikannya.
Usungan langsung dibawa
ke dekat perahu kecil itu. Datu Museng kemudian turun dari usungan dan
menyambut tangan isterinya, untuk dibimbing ke perahu dan mendudukkannya di
atas kursi beludru indan bersulam.
Sesaat kemudian ia ikut
duduk berhadap-hadapan dengan sang isteri tersayang. Puteri Maipa tersenyum,
manis sekali. Bibirnya yang bak limau-seulas merekah, dan nampaklah gigi-delima
nan putih bak gading mengkilat rata berjajar sempurna.
Setelah sikap duduk sudah
baik tak ada janggalnya lagi, diperintahkanlah pengayuh mendayung sampan menuju
bahtera di tengah laut. Kini sampan itu melaju diiringi berpuluh-beratus sampan
lainnya yang teratur rapih dan berisi khalayak yang ikut mengantar hingga ke
bahtera.
Laut bagaikan penuh
dengan sampan, sementara di tepi pantai menyemut khalayak yang melambaikan
tangan sambil bersorak-sorai mengucapkan selamat jalan. Bunyi gendang, gong dan
pui-pui semakin bertalu-talu, meningkah bagai membelah angkasa. Beriramakan
penggemblengan semangat untuk berbakti kepada ibu pertiwi, dan menguatkan tekad
membaja untuk lebih baik mati daripada mundur walau setapak.
Tiba pada bahtera
kenaikan, Maipa Deapati diangkat oleh suaminya naik tangga, kemudian dituntun
hati-hati, bagaikan anak kesayangan yang baru belajar berjalan tertatih-tatih.
Di atas bahtera ia diantar masuk ruangan tempat beristirahat dan didudukkan di
kursi yang beralaskan permadani dengan jalinan rangkaian kembang aneka ragam.
Datu Museng lalu keluar
ke geladak menemui Gelarang dan para anggota adat yang ikut mengantar sampai di
atas bahtera. Mereka bersalam-salaman dan saling mengucapkan selamat bagi yang
tinggal dan yang pergi.
Sehabis bersalaman dan
semua pengantar turun, Datu Museng memerintahkan sauh diangkat dan layar
dipasang satu persatu. Ketika layar sudah terkembang, seluruh khalayak yang
berada di atas sampan-sampan dan yang memagari tepi pantai, serentak bersorak
menggemuruh mengucapkan kata selamat jalan.
Gegap-gempita suara
mereka membelah angkasa, menggema ke kampung-kampung sampai ke bukit-bukit
sekitar kotaraja. Menjadikan orang-orang yang tak sempat mengantar, tafakkur
sejenak mengucapkan niat dalam hati, do’a selamat bagi panglima perang tiada
tandingan dan puteri termolek tiada saingan.
Bahtera kini bergerak
perlahan dan juru mudi memutar haluan arah ke timur, dimana matahari mulai
mengambang di permukaan laut. Perlahan-lahan sang raja siang muncul bagaikan
bola api. Ia nampaknya tak ingin ketinggalan bahtera kenaikan Datu Museng dan
Maipa Deapati yang kini sedang menyongsong ke arahnya.
Kian saat, bola emas itu
kian menjadi merah, hingga turut mewarnai air laut sekitarnya. Di atas air laut
berwarna merah inilah bahtera dengan megah meluncur, melaju membelah air di
haluan. Tak tertegun, tiada segan-segan maju ke depan ditiup angin buritan pagi
hari.
Ketika melihat air laut
berwarna merah, para kelasi bahtera tercengang. Sudah lama mereka berlayar
mengarungi laut menjelajahi Samudera, namun baru kali ini mereka menyaksikan
pemandangan serupa itu. Warna merah darah yang terhampar di sekitar bahtera,
sekaligus memancangkan suatu pernyataan dalam benak masing-masing, apa gerangan
makna dan artinya.
Datu Museng dan Maipa
Deapati tak berkata sepatah katapun ketika menyaksikan pemandangan itu lewat
jendela bahtera. Mereka benar-benar dihanyutkan oleh pukauan pemandangan yang
sangat fantastis ini. Akan tetapi, akhirnya Maipa merenggut detik-detik
keheningan yang mencekam perasaan itu dengan suatu tarikan nafas panjang, yang
dalamnya ke hati tiada terajuk, tiada terduga.
“Mengapa adinda menarik
nafas sepanjang dan sedalam lubuk hati?” tanya Datu Museng sambil menatap wajah
istrinya tenang-tenang. Ia mencoba menebak isi hati si jantung hati.
“Junjunganku.., warna darah itu membekas benar dalam sukmaku. Ia seakan memberi suatu firasat buruk perjalanan kita,” jawab Maipa sambil balas memandang sayu suaminya. (bersambung)
----
Kisah sebelumnya: