------
PEDOMAN KARYA
Senin, 27 Juni 2022
Catatan
dari Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” (1):
Sudah
3x Dibedah, Ishakim: Berarti Ada Sesuatu Yang Menarik dalam Buku “Maharku:
Pedang dan Kain Kafan”
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”
karya Rahman Rumaday (Founder Komunitas Anak Pelangi disingkat K-Apel) sudah
tiga kali dibedah atau didiskusikan.
Buku ini bercerita tentang perjalanan
hidup Rahman Rumaday hingga menikah dengan perempuan bernama Heliati Eka
Susilowati yang akrab disapa Esti.
“Buku ini catatan perjalanan hidup saya,
juga sejak diperkenalkan sampai menikah dengan Esti,” kata Rahman Rumaday,
dalam pengantarnya pada Diskusi Buku Maharku, Pedang & Kain Kafan karya
Rahman Rumaday, di Kafebaca, Jl. Adhyaksa, Makassar, Ahad sore, 26 Juni 2022.
Rahman Rumaday lahir di Desa Sera, Kecamatan
Pulau Gorom, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku, pada 04 Agustus
1986. Anak kedua dari tiga bersaudara menempuh pendidikan sekolah dasarnya di
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah Sera, Kecamatan Pulau Gorom, Kabupaten
Seram Bagian Timur.
Setelah tamat, penulis masuk ke Madrasah
Tsanawiyah (MTs) Negeri Fakfak, lalu lanjut ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Fakfak di Papua Barat.
Selama bersekolah di Fakfak, penulis
terbilang cukup berprestasi. Penulis tercatat pernah sebagai pengurus beberapa
organisasi, seperti Ikatan Remaja
Muhammadiyah (IRM) Kabupaten Fakfak, Pelajar Islam Indonesia (PII) Kabupaten
Fakfak, OSIS MAN Fakfak, Saka Kencana Fakfak, dan Ketua Umum Forum Komunikasi
Pelajar Islam (FKPI) Fakfak.
Rahman Rumaday kemudian hijrah ke Makassar
dan selama kuliah, ia aktif dalam berbagai kegiatan kampus maupun kegiatan
sosial di luar kampus.
Ia mendirikan Komunitas Anak Pelangi
(K-APEL) Makassar, juga mendirikan Komunitas Pemuda Islam Parang Tam- bung
(KOPI-P) Makassar, Komunitas Peduli Kita (KPK), dan aktif di organisasi asal
daerahnya sebagai Ketua Umum Himpunan Pelajar Mahasiswa Goran Tubir Tolu (HIPMA
GTT) Maluku-Makassar.
Rahman Rumaday juga tercatat sebagai wisudawan
terbaik Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Pancasakti
(UNPACTI) Makassar, tahun 2019, dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,81.
Diskusi buku di Kafebaca, Jl. Adhyaksa,
Makassar, Ahad sore, 26 Juni 2022, merupakan diskusi atau bedah buku yang
ketiga kalinya terhada buku “Maharku: Pedang dan kain Kafan.
Bedah buk pertama dilaksanakan pada saat
peluncurannya di Warkop Kopi Batas Jalan Syekh Yusuf, Makassar, Ahad, 28
November 2021. Kedua, saat Bazar Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”,
di Figor Cafe, Sabtu, 25 Desember 2021.
Pada bedah buku pertama, tampil sebagai
pembedah yaitu Yudhistira Sukatanya, Muhammad Amir Jaya, Rusdin Tompo, dan Susy
Smita P. Bedah buku yang dipandu Duta Baca Sulawesi Selatan 2018–2020, Rezky
Amalia Safiin, dihadiri pula sejumlah ibu-ibu yang aktif dalam pengajian Komunitas
Anak Pelangi di Parang Tambung, Makassar.
Pada bedah buku kedua, tampil tiga
pembahas yaitu Muhammad Amir Jaya (sastrawan), Indramini (dosen Universitas
Muhammadiyah Makassar), dan Lily Rachim (pegiat keadilan gender), dan moderator
Novian (dari Himpunan Pelajar Mahasiswa Batuatas Makassar, Hipmaskar).
Pada bedah buku ketiga yang diadakan oleh
Forum Sastra Indonesia Timur (Fosait), juga tampil tiga pembahas, yaitu Ishakim
(seniman, sastrawan, pelukis, perupa), Mahrus Andis (kritikus sastra), dan
Muhammad Amir Jaya (sastrawan).
“Buku ini sudah pembahasan yang ketiga. Berarti
ada sesuatu yang menarik dalam buku ini,” kata Ishakim.
Kehadiran sejumlah sastrawan, budayawan, penulis
buku, dan wartawan pada acara Diskusi Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, di
Kafebaca, Jl. Adhyaksa, Makassar, Ahad sore, 26 Juni 2022, juga secara tidak
langsung menunjukkan bahwa buku tersebut memang memiliki daya tarik tersendiri.
Hadir dalam diskusi antara lain Asia Ramli
“Ram” Prapanca (akademisi, teaterawan, sutradara, sastrawan), Suradi Yasil
(sastrawan asal Sulawesi Barat), Yudhistira Sukatanya (seniman, sastrawan,
sutradara), Idwar Anwas (akademisi, sastrawan, penulis buku), Syahril Patakkai Dg Nassa (sastrawan), Andi Ruhban
(akademisi, sastrawan), Arwan Dg Awing dan Rusdy Embas (wartawan). Penulis juga
hadir sebagai wartawan.
Tidak
Ingin Orang Lain Mengalami Hal yang Sama
Ishakim mengatakan, dasar berpikir dalam
menciptakan karya sastra atau karya seni, khususnya dalam seni rupa, ketika
kita sudah membuat sketsa lukisan atau patung, lalu kita bisa menemukan satu dua
kekurangan menuju kesempurnaan, maka itu adalah awal untuk membuat karya yang
baik.
“Kita juga perlu melakukan check up untuk mengetahui ‘penyakit’
sebuah karya sastra, dan obat apa yang dibutuhkan oleh tubuh karya sastra,”
kata Ishakim.
Begitupun dengan buku “Maharku: Pedang dan
Kain Kafan”, katanya, penulis perlu mengetahui dimana letak kekurangannya dan
kemudian menjadi pelajaran agar karya-karya selanjutnya menjadi lebih baik.
Ishakim memberikan catatan dan pendapat
tentang isi buku tersebut, antara lain kutipan salah satu kalimat pada halaman
12-13; “Kehidupan mandiri yang kulalui selama bersekolah, membuat aku memiliki
prinsip hidup yang kokoh. Tapi, di sisi lain, aku tak menginginkan orang lain
mengalami hal yang sama seperti yang kurasakan. Aku tak ingin orang merasakan
perihnya kehidupan, sebagaimana hari-hari yang kulewati.”
“Bung Maman (penulis buku, red) mengatakan,
saya tidak ingin orang lain mengikuti saya. Menurut saya, kalimat ini tidak perlu
ditulis. Kalau itu baik, biarkan saja orang lain juga mengalaminya,” kata
Ishakim.
Dia juga menyoroti penggalan kalimat pada
halaman 46-47; “Qadarullah, gadis yang ingin dipertemukan denganku, ternyata
sedang tidak berada di butiknya, tepatnya dia sedang di RSUP dr Wahidin
Sudirohusodo, tempatnya bekerja. Bukan berarti tak jodoh, hanya saja Allah
sedang mangatur waktu dan tempat yang pas untuk mempertemukan kami berdua.
Karena sejatinya, manusia hanya mampu merancang dan merencanakan, tapi Allah
jua yang menentukan.”
“Di sini ada penggalan kalimat, bukan
berarti tak jodoh. Hati-hati nanti masuk ke wilayah ke-aku-an, nanti bisa jadi
angkuh,” kata Ishakim.
Esti
Menolak Lamaran Maman
Dia pun mengaku tertarik dengan proses ta’aruf
atau perkenalan dan pendekatan antara dirinya dengan Esti melalui pembuatan
proposal atas tawaran Dokter Jihad, dan juga jasa Asni (sahabat Esti) yang
berhasil meyakinkan Esti tentang kebaikan Maman Rumaday, sehingga Esti yang
sebenarnya sudah memutuskan menolak “proposal lamaran” Maman, akhirnya mau
menerima proposal lamaran Maman.
Bagian dari kisah tersebut terdapat pada
halaman 68-70 sebagai berikut;
***
“Masih belum puas, dia kembali membaca
profilku. Dia berusaha memastikan sendiri dari apa yang dia baca dan dari foto
yang dia lihat.
Teringat kembali olehnya memori tentang
pelatihan diksar ketika mendapatkan hukuman yang dianggap ke jam dariku sebagai
instrukturnya. Saat itu, dia diminta menyelam ke dasar laut. Bila kepalanya
nongol di permukaan laut, sebelum diinstruksikan, maka akan dilempari dengan
batu dari darat.
“Hhuuuuh, itu sungguh kejam,” keluhnya,
“hmmm ... iya ini dia orangnya. Sepertinya saya tak mampu untuk menerima
proposal ini.”
Esti langsung membuat keputusan begitu
mengingat pengalaman yang tidak mengenakkan saat mengikuti diksar. Kenangan
yang membuat dia jengkel dan masih memendam marah padaku.
Sebagai sahabat yang baik, Asni berusaha
merasionalkan pikiran sahabatnya, dengan meminta Esti kembali memikirkan
keputusan untuk menolak proposal taaruf tersebut. Beberapa pertimbangan untuk
menerima ta’arufku dikemukakan oleh Asni secara lembut dan perlahan. Asni
mencoba bijak ketika memberi penjelasan.
“Kamu ingat tidak, saat acara jalan sehat,
kita sama- sama satu tim, dan beliau ini koordinator acaranya. Sepertinya
beliau orang baik. Buktinya, ketika kita bekerja dengannya, dia melayani dan
menservis betul anggotanya. Nah, dia baik banget kan?” papar Asni mencoba menyodorkan
bukti tentang kebaikanku.
Belum sempat menjawab apa yang dikatakan
Asni, kembali sahabatnya itu mencecar dengan argumentasi yang logis.
“Mungkin, sewaktu pelatihan diksar itu,
kelihatannya saja dia kasar, dia kejam atau dia jahat. Tapi sebenarnya dia
tidak seperti begitu. Kebetulan saja, pada momen itu dia sebagai instruktur,
yang harus bersikap tegas dan keras. Dia sengaja menonjolkan karakter antagonis
agar para peserta bersungguh-sungguh mengikuti pelatihan,” jelas Asni panjang
lebar.
Suasana hening seketika. Asni sengaja
memberi ruang untuk Esti memikirkan apa yang telah dia sampaikan tadi.
Tiba-tiba Esti menampakkan raut wajah yang mulai bersinar. Senyum kakunya mulai
tertarik, sedikit mengem-
bang. Wajahnya yang awut-awutan mulai rapi
kembali. “So, menurut kamu, aku terima saja? ... atau aku harus bagaimana?”
tanyanya malu-malu.
“Iya, bismillah ... boleh kamu terima
Esti, tapi alangkah baiknya kamu melibatkan Allah dalam setiap keputusan yang
dibuat. Salat istikharah, misalnya. Minta ketetapan hati sama Allah, minta
petunjuk-Nya. Insya Allah akan ada segala kebaikan untukmu dari Allah,” jawab
Asni dengan penuh senyuman.
***
-----
Artikel berikutnya:
Mahar Apa yang Diberikan Nabi Adam kepada Siti Hawa?
Baca juga:
Rahman Rumaday, Lahir di Maluku, Sekolah di Papua, Sarjana di Makassar