Makassar ketika itu dikuasai dan diperintah Belanda. Sebenarnya Makassar tempat benteng Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang terkenal dengan julukan “Ayam Jago dari Timur”, untuk mempertahankan Gowa dari serbuan musuh-musuhnya. Tetapi dengan adanya “Perjanjian Bungaya”, benteng itu jatuh ke tangan kompeni. Dan di benteng inilah, orang-orang Belanda menjalankan pemerintahannya untuk menguasai seluruh daratan Makassar.
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 28 Juni 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (30):
Tumalompoa di Makassar Jatuh Cinta kepada Maipa Deapati
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Tumalompoa
dan Jurubahasa
Makassar ketika itu dikuasai dan diperintah Belanda.
Sebenarnya Makassar tempat benteng Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang terkenal
dengan julukan “Ayam Jago dari Timur”, untuk mempertahankan Gowa dari serbuan
musuh-musuhnya.
Tetapi dengan adanya “Perjanjian Bungaya”, benteng itu
jatuh ke tangan kompeni. Dan di benteng inilah, orang-orang Belanda menjalankan
pemerintahannya untuk menguasai seluruh daratan Makassar.
Jika di Sumbawa ada Maggau, di Gowa ada Somba yang
berkuasa negeri, maka di Makassar berkuasa Tumalompoa (orang Belanda yang besar
kekuasaannya). Ia didampingi I Tuan Jurubahasa (seorang anak negeri yang
dipercaya oleh kompeni).
I Tuan Jurubahasa ini sangat besar pengaruhnya pada
Tumalompoa. Jarang kata-katanya tak diturut. Nasihatnya selalu diiyakan.
Demikian besar kepercayaan Tumalompoa sehingga apa kata Jurubahasa, itu pulalah
kata Tumalompoa.
Akan halnya kedatangan Datu Museng dan Maipa Deapati
yang telah menggemparkan penduduk Makassar itu, telah didengar pula Tumalompoa
melalui I Tuan Jurubahasa. Keahliannya melukiskan kemolekan Maipa Deapati yang
telah lama terkenal itu membuat Tumalompoa benar-benar dimabuk angan-angan.
Dalam khayalnya yang tak berkeputusan, ia berupaya membayang-bayangkan
keindahan dan kemolekan sang puteri, isteri Datu Museng itu. Jika malam hari ia
dilanda kesepian, bulan yang sedang purnamalah yang menjadi sasaran
pandangannya. Dibanding-sandingkannya bulan itu dengan Maipa Deapati. Tapi ia
akhirnya merasa bulan itu pun tidak setara dengan wanita yang sedang merajai
pantai kalbunya.
Jika bulan tak muncul, maka yang menjadi sasarannya
bintang-bintang yang sedang temaram. Dipilihnya yang paling cemerlang sinarnya
dan di sanalah ia berupaya mendapatkan bentuk keindahan yang dimiliki Maipa.
Apabila di rembang petang ia ke taman bunga,
dipilihnya kembang terindah dan terharum. Dipetiknya setangkai dari dahan,
diciumnya penuh perasaan, kemudian dibawa untuk dijadikan hiasan biliknya.
Kembang yang sedang mekar dan menyebarkan aroma itu diibaratkannya Maipa
Deapati. Dipandanginya berlama-lama, kemudian diraih lagi untuk dicium seperti
tak pernah merasa puas. Tapi, akhh..., hati kecilnya datang mengejek.
“Hai Tumalompoa..., kembang yang kau pegang dan cium
itu tak sebanding dengan puteri Maipa. Raja dari segala kembang pun tak akan
mampu menyaingi keindahan, kemolekan dan keharuman wanita bangsawan itu. Bahkan
bidadari pun rasanya akan iri-hati jika melihat kecantikan Maipa Deapati.
Percayalah, percayalah... Kembang mekar di kamar ini
tak layak bertanding dengan Maipa, karena wanita itu intan baiduri yang
disimpan dalam peti hikmat bertuah. Kembang yang di tanganmu itu tak berdaya
sedikit pun. Sebentar lagi ia akan layu terkulai dan menjadi sampah.
Maipa Deapati? Jika dicari di antara kembang, percuma
juga. Karena tak ada tangan bertuah lagi yang dapat memetiknya, tak ada mata
berhikmat yang dapat melihatnya. Jika pun dicari dari tumpukan bintang-bintang,
di kumpulan para juita ayu, carilah ratu juita dari segala ratu. Di sanalah ia.
Ya, di sanalah kedudukan Maipa Deapati.
Wahai Tumalompoa di Makassar, percuma kembang itu
disimpan di kamar sebagai penyedap mata, pemuas hati. Maipa Deapati tidak
berada dalam kembang itu. Percuma pula kau memandang merenungi bulan, karena
bulan tak akan jatuh ke haribaanmu. Kekuasaanmu tak sampai ke sana. Juga
sia-sia mencarinya di antara bintang-bintang, karena tak ada pula kekuatanmu menurunkan
bintang-bintang itu. Kekuasaanmu di alam sana tak ada, tapi kau berkuasa di
dunia ini.
Di Makassar kau dapat menghitam-putihkan keadaan.
Kaulah yang berkuasa dan dipertuan, maharaja diraja. Apa lagi? Pergunakanlah
kekuasaanmu. Kini hatimu telah rusuh gelisah ingin menguasai pemilik keindahan
itu. Hatimu telah dimabuk kepayan, rindu-sayu pada bayangan.
Akh, bila kau perturutkan kata hatimu tanpa berusaha,
percayalah kau laksana mencoba menggantang asap. Tak akan ada hasil, kecuali
rindu semata, yang akan berlarat berkepanjangan, tak berujung tak berakhir.
Apalah daya jika hati merindu, jiwa merana. Hasilnya cuma merindu dan merana
pula, lain tiada. Dan karena itulah kau akhirnya menjadi lemah dan kecil, bukan
Tumalompoa lagi. Bukan penguasa yang berdaulat. Buat apa segala kekuasaan dalam
tanganmu?
Kau adalah penjajah, kau adalah pemerintah. Di ujung
telunjukmu dan di sudut bibirmu terletak satu kekuatan dan kekuasaan. Ya, kau
cukup menudingkan telunjuk dan mengeluarkan perintah, maka berlakulah satu
kekuasaan dan tercapailah maksud di hati.
Kau Tumalompoa, kau berkuasa dengan
perajurit-perajurit dan sahabat-sahabatmu yang ada di sini. Sekali kau
perintah, mereka serentak menghambakan diri. Apalah kekuatan orang-orang di
sini. Mereka bodoh, tak tahu tipu muslihat, tak maklum arti taktik.
Bukankah kau menjadi wakil kerajaan Belanda di sini
karena kecerdikanmu? Bukankah Sultan Hasanuddin yang terkenal kejantanannya itu
berhasil kau taklukkan dengan tipu dayamu? Ya, dengan kecerdikanmu, kau
berhasil menguasai daratan Makassar yang penuh dengan patriot-patriot tangguh.
Alangkah aneh jika kau tak mampu berbuat sesuatu untuk
menguasai perempuan yang menyiksa hatimu sekarang. Kecerdikanmu tak berarti
apa-apa lagi jika kau gagal dengan soal
sekecil itu. Apalagi yang kau tunggu dan cari, segala sudut kau tempati!”
Selagi ia dihanyutkan kata hatinya, pikirannya yang
waras menyeruak.
“Akh, jangan kau turutkan kata-hatimu yang menyesatkan
itu. Maipa Deapati adalah isteri orang lain. Kau seharusnya mengetahui, tak
pantas menggilai seorang wanita yang sudah bersuami. Itu melanggar adat manusia
yang beradab, dan hukum pun tak membenarkannya. Derajatmu yang tinggi sekarang
akan runtuh bila kau laksanakan niat yang hina itu.
Ya, sadarlah bahwa dia telah bersuami, dan suaminya
yang terkenal sakti dan tak pernah menghitung bilangan musuh itu tentu akan
melindunginya sekuat tenaga yang ada padanya. Kau pasti gagal Tumalompoa,
apabila kau paksakan juga kehendakmu. Jika kau telah gagal, maka itu akan
merupakan tamparan ke wajahmu yang akan terus membekas hingga kau masuk liang
kubur.
Kau manusia yang mengenal Tuhan, bukan? Ketahuilah,
perbuatan yang sedang kau angan-angankan itu adalah perbuatan yang dilarang
oleh Tuhan. Sadarkah kau bahwa neraka adalah tempat bagi orang yang melanggar
ajaran Tuhan? Lagipula Tumalompoa, dia berlainan bangsa denganmu. Kau
benar-benar bersifat binatang jika kau lanjutkan juga angan-anganmu itu.
Sebelum kasip, sebaiknya kau hapus angan-angan buruk itu!”
“Apa? Berlainan bangsa?” Hati kecilnya menghasut lagi.
“Kau harus menjadi contoh, perintis jalan bagi
bangsamu dan orang kulit putih lainnya. Manusia di alas dunia ini apakah ia
berkulit putih, kuning, hitam maupun coklat, semuanya berdarah sama, yaitu
merah.
Hai Tumalompoa, pergunakanlah kekuasaan dan
kecerdikanmu. Persuntinglah Maipa Deapati. Percayalah, di negerimu sendiri,
bahkan di mana pun kau mencari, tak akan bersua gadis secantik dia. Di atas
bumi sekarang, Maipa Deapati adalah wanita segala wanita.
Percayalah pula, kehormatanmu semakin tinggi jika
berhasil memperisterikannya. Kau pasti akan lebih dikagumi oleh kawan dana wan apabila
putri Maipa Deapati berada di sampingmu. Semangatmu dalam menjalankan tugas
yang dibebankan oleh pemerintah Belanda di atas pundakmu, akan dapat kau laksanakan
dengan baik. Karena Maipa kuasa membangkitkan semangat yang hampir padam sekali
pun. Dan pangkatmu tentu akan menanjak terus, kehormatanmu semakin, besar,
kepercayaan kerajaan Belanda padamu semakin tebal. Dan yang paling penting, kau
akan puas sepuas-puasnya menikmati hidup ini.”
Tumalompoa menjadi bingung. Resah gelisah dan murung
termenung setiap hari. Dalam berjuang melawan kata hatinya yang tak
berkeputusan itu, belum diperolehnya suatu ketetapan yang dapat menggembirakan
hatinya. Membuat rindunya melanda berlarut-larut.
Suatu hari dikuatkannya hatinya memanggil I Tuan
Jurubahasa yang merupakan penasehat pribadi kepercayaan yang tak ada duanya.
“Jurubahasa..., marilah sejenak duduk di sampingku.
Aku ingin bercerita dan bertanya padamu. Kuingin pula dijawab yang menyenangkan
dan tepat, tak menusuk hati, menekan dada, menyinggung perasaan. Memuaskanlah
dalam menjawab, jangan menjemukan memberi keterangan. Apalagi memuakkan
perasaan yang sudah setengah sakit, menderita batin ini hendaknya kau hindari!”
Mendengar kata Tumalompoa, Jurubahasa arif sudah apa
yang akan ditanyakan tuannya. Baru kali ini ia mendengar yang dipertuan di
Makassar bertanya dan harus dijawab memuaskan dan menggembirakan.
“Baiklah tuanku, tanyalah, dan akan kujawab seperti tuanku inginkan,” kata Jurubahasa, sambil menundukkan kepala berusaha berpikir dalam-dalam. (bersambung)
----
Kisah sebelumnya: