----
PEDOMAN KARYA
Senin, 04 Juli 2022
Jejak
Sastrawan Sulawesi Selatan:
“Bimbang”,
Puisi Ejekan Sosial A. M. Dg. Miyala
Oleh:
Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan)
Tidak banyak orang yang
mengenal A. M. Dg. Miyala. Di sekolah-sekolah, para siswa hanya menghapal mati
nama-nama sastrawan Indonesia seperti Charil Anwar, Taufik Ismail, atau W. S.
Rendra. Itu pun bagi mereka yang meminati pelajaran Sastra dan Bahasa Indonesia.
Para sastrawan Angkatan
Pujangga Baru (1933-1942) semisal Sutan Takdir Alisyahbana, M. Yamin, Armijn
Pane, Sanusi Pane, J. E. Tatengkeng, dan yang lainnya, jarang mereka ingat.
Apalagi mau mendiskusikan karya-karya para sastrawan ini. Selain siswa kurang
berminat, guru-guru bahasa Indonesia pun, umumnya, tidak berbakat
mengajarkan apresiasi sastra.
Seorang penyair Indonesia
asal Sulawesi Selatan yang tercatat di dalam sejarah sastra Angkatan Pujangga
Baru, ialah A. M. Dg. (DaEng) Miyala. Penyair ini lahir di Makassar, 02 Januari
1909. Nama lengkapnya, Abdul Muin DaEng Myala. Dia pun pernah menulis dengan
memakai nama A. M. Tahir.
Catatan berupa naskah
cetak tentang diri dan karya sastrawan ini belum ada saya temukan. Dulu, akhir
1970-an, Dewan Kesenian Makassar (DKM) di gedung Societeit De Harmonie, ada
satu ruangan yang diberi nama Sanggar A. M. Dg. Miyala.
Di situ para sastrawan sering
berdiskusi. Tentu dokumen historis, baik buku, majalah maupun kliping surat
kabar yang memuat karya-karya penyair Angkatan Pujangga Baru itu masih
tersimpan rapi di Sekretariat DKM saat ini. Atau setidaknya, ada di antara
seniman-budayawan Sulsel yang memiliki catatan manual tentang kiprah A. M. Dg.
Miyala selama aktif berkesenian di Makassar.
Kemarin, saya
membuka-buka perpustakaan gogelnet. Ada satu puisi A. M. Dg. Miyala yang saya
temukan dan menarik untuk direnung-renungkan. Puisi dimaksud adalah sebagai berikut :
BIMBANG
Sabar! Sabar! Sabar!
Inilah seruan yang acap kudengar:
Heran daku benar-benar,
Adakah ‘ku belum cukup bersabar?
Sadar! Sadar! Sadar!
Inilah seruan yang acap kudengar;
Heran daku benar-benar,
Adakah ‘ku belum cukup tersadar?
Semakin aku bersabar
Semakin aku terlantar
Semakin aku tersadar
Semakin aku kesasar *)
Ini sebuah satire. Namun,
saya cenderung melihat secara verbal bahwa puisi tersebut adalah “ejekan sosial”
penyair terhadap suasana lingkungannya. Boleh jadi lingkungan yang dimaksud
adalah keluarga, masyarakat, atau pun yang lebih luas dalam konteks kebangsaan.
Euforia nasionalisme yang
berangkat dari semangat Sumpah Pemuda, 1928, tentu memunculkan
persoalan-persoalan kebatinan di jiwa penyair. Nilai kesabaran dan kesadaran
tidak jarang hanya menjadi simbol kamuflase untuk memuaskan nafsu kepentingan
tertentu.
Keseringan menerima seruan
vulgar untuk selalu bersabar serta tetap dalam kondisi jiwa yang sadar, membuat
penyair heran dan merasa tersentil:
Sabar! Sabar! Sabar!/
Inilah seruan yang acap kudengar:/
Heran daku benar-benar,/
Adakah ‘ku belum cukup bersabar?/
Sadar! Sadar! Sadar!/
Inilah seruan yang acap kudengar;/
Heran daku benar-benar,/
Adakah ‘ku belum cukup tersadar?/
Petuah-petuah berisi
nasihat kesabaran atau pun kesadaran, oleh sebagian pihak, kadang-kadang dijadikan
sebagai kuda tunggangan untuk menutupi perilaku kemunafikan dirinya di tengah
masyarakat.
Mereka yang terlibat
dalam “persekutuan iblis” seperti itu, di mata penyair, tidak lebih dari sebuah
penyesatan umat manusia, yang akan membuat banyak orang kesasar dalam pikiran
dan perilaku kehidupannya.
Puisi A. M. DaEng Miyala
tersebut adalah pancaran kegelisahan psikologis di sekitarnya. Penyair menjadi
bimbang: “Adakah dirinya selama ini
tidak pernah bersabar dan sadar menerima realitas hidup?”
Kebimbangan yang dialami
penyair boleh jadi kebimbangan atas konsepsi ideologi ke-Indonesia-an, atau
kebimbangan di alam keterjajahan di negeri sendiri. Bahkan, boleh jadi,
kebimbangan dalam perspektif kebebasan berkreasi di bawah “persekusi” Balai
Pustaka pada saat itu?
Di tataran ini, pembaca
luput menangkap pesan detailnya. Puisi yang berjudul “Bimbang” itu tergolong
separuh prismatis. Tidak jelas subjek otoritasnya. Namun yang pasti, puisi
tersebut menyentil nurani kita semua, bahwa tidak semua seruan kesabaran dan
kesadaran (baca: nasihat dari mulut siapa saja) selalu memberikan arah yang
benar bagi orang-orang yang dinasihati.
Sepertinya keadaan yang
dirasakan oleh penyair di tahun 1932 itu, kita pun mengalaminya di era
kemerdekaan ini. Yaitu era, di mana kebenaran melawan kebenaran:
“Semakin aku bersabar/
Semakin aku terlantar/
Semakin aku tersadar/
Semakin aku kesasar”
Demikian diksi “Ejekan
Sosial” lewat puisi A. M. DaEng Miyala. ***
Mks, 1 Juli 2022-
*) Panji Pustaka,1932.
----
Baca juga: