Di depan rumah, di ujung anak tangga terbawah, berkaparan mayat bersusun tindih dari manusia berkulit putih dan coklat yang bercampur-baur. Ada satu-satu di antara mereka yang masih menggelepar laksana ayam yang baru disembelih. Ada yang menangis mengerang memanggil ibu, menahan sakit perih luka parah.
------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 30 Juli 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (40):
Datu
Museng Mengamuk, Mayat-mayat Berkaparan
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Datu Museng kemudian berkata lagi: “Pergilah adinda,
tunggulah kanda di tanah seberang, di alam indah permai di surga firdausi.
Tunggu aku di waktu lohor. Jika kanda belum datang, nantikan di waktu ashar.
Apabila aku belum juga tiba, nantikanlah pada waktu magrib, ketika matahari
sedang bersiap-siap masuk ke peraduannya. Di waktu itulah kanda pasti datang
menjemput, dan kita bergandengan tangan beriring bersama diapit dielu-elukan
oleh bidadari, berjalan di atas kursi keemasan bertatah intan baiduri. Ya, di
sanalah kita hidup kekal abadi, tak ada lagi yang mengantarai kita berdua, tak
ada lagi tangan akan mengusik kebahagiaan kita. Tak ada lagi kebathilan datang
menyiksa."
Dengan mengucap nama Tuhan, sambil mata dipejamkan,
Datu Museng menggerakkan keris terhunus itu menyembelih leher isterinya, dan
beberapa detik kemudian, tibalah Maipa Deapati, isteri kesayangannya ke alam
baqa dengan tenang. Ia menyeberang ke alam impian yang menjadi tujuan hakiki
mereka, dimana cinta dan kasih sayang akan bertemu kekal abadi.
Kini, ia duduk merunduk terharu. Ada sesuatu rasa yang
mendamba dadanya keras sekali, yang tak dapat ditanggungnya. Tiba-tiba saja,
untuk pertama kali selama ia dewasa, air matanya mengalir.
Kemudian, sesuatu bentuk nada datang mengiang di
telinganya. Nada yang belum pernah didengarnya. Begitu sentimental, perpaduan
antara nada-nada haru dan keriangan. Nada itu datang menggelombang, meninggi
laksana lengkingan biola yang menyayat hati, lalu merendah bergetar bertalu-talu.
Kemudian, laksana ada beratus suara perempuan yang menyanyi sayup-sayup sampai
dan berangsur-angsur pudar, lalu menghilang sama sekali dan keheningan datang
mencekam.
Datu Museng kini sadar dari rasa harunya. Ia berdiri
dan masuk kamar belakang. Sesaat kemudian datang lagi membawa air, lalu duduk
di samping jasad isterinya. Dibersihkannya tubuh Maipa, kemudian didudukkan di
kursi, leher dibebat kain merah, agar tak kentara bekas lukanya.
Di atas kursi itulah ia duduk bagai semasa hidupnya.
Matanya terpejam, muka tunduk seperti pengantin yang malu menunggu mempelai lelaki.
Sepintas lalu orang akan melihatnya seperti perempuan yang sedang tidur dalam
kelesuan.
Datu Museng sejenak berdiri kaku di depan jasad isterinya.
Hatinya sungguh pedih, jantungnya seakan diiris-ira sembilu. Rasanya ia tak
kuat lagi hidup lebih lama tanpa Maipa. Ya, untuk pertama kalinya pula ia
merasa hidupnya sabatang kara. Dahulu, dua puluh dua tahun lampau, ketika kedua
orang tuanya tewas, ia merasa kehilangan sesuatu, namun tak sampai
menggoncangan lubuk kalbunya. Kakeknya yang telah mengasuhnya sejak lahlr, mampu
menggantikan kedudukan kedua orang tuanya.
Tapi kehilangan isteri kesayangannya Maipa Deapati, benar-benar
telah menghancurkan hatinya. Ia merasa kehilangan segala-galanya. Tak ada
gunanya hidup lebih lama dalam kesepian. Segera datang pikirannya yang nekad
untuk segera menyusul isterinya ke alam baqa. Dan keris pusaka segera dicabut
kembali dari sarungnya. Namun sebelum keris sempat dibenamkan dalam dada
sendiri, terdengar letupan lela dan malela, dan rumahnya bocor-bocor.
Ia segera sadar. Mereka di bawah itulah yang
menyebabkan kematian isterinya. Ya, orang-orang di bawah itu adalah binatang
yang berwujud manusia. Dan amarahnya kini langsung meluap menguasai seluruh
perasaannya. Ia hendak membalas dendam sepuas-puasnya sebelum menyusul
isterinya ke alam nirwana.
Dengan wajah merah-padam, ia mulai bergerak cepat.
Diraihnya bedil di dinding, kemudian disandarkan di jendela. Sambil
bertongkatkan tombak, ia mulai membuang tembakan. Dan seorang kapitan Belanda
tersungkur terkapar menentang maut. Tembakan demi tembakan dilepaskannya, dan
serdadu jatuh seorang demi seorang pula.
Melihat serangan Datu Museng yang langsung meminta
korban beberapa orang itu, musuh maju cepat mengepung lebih ketat sambil
bersorak-sorai membangkitkan semangat sesama kawan. Ada yang langsung naik ke
tangga berdesak-desakan, ingin dahulu mendahului membunuh panglima perang
Sumbawa itu, dan mengambil kepalanya untuk memperoleh pujian dan sanjungan
Tumalompoa.
Joa yang mengawal pekarancgan dan pintu rumah,
mengadakan perlawanan sengit. Tapi mereka yang cuma berbilang puluhan itu tak kuasa
membendung serangan yang demikian banyaknya. Beberapa menit aja, joa yang setia
itu telah tersapu bersih.
Ketika Datu Museng melihat musuh berdesak-desakan di
anak tangga, ia menghunus keris pusaka Matatarampa’na, lalu melompat ke depan.
Gerakannya cepat bagal halilintar yang menyambar. Sekelebatan saja, ia telah
berada di tengah-tengah musuh yang memadati anak tangga. Keris pusaka langsung
ditusukkan bertubi-tubi ke dada lawan yang berdiri di depan, dan kaki yang kuat
perkasa diterjangkan sekuat tenaga ke ulu-hati musuh di kiri-kanan.
Mayat-mayat segera berkaparan. Darah yang memancur
menyirami tangga memerah memuakkan perasaan. Banyak musuh mati diterjang, jatuh
pingsan lupa diri karena tersepak. Tak terbilang yang mati tertusuk keris dari
amukan dahsyat sang Datu nan sakti. Bagai menetak ranting, merambah semak-belukar
layaknya perilaku Datu Museng.
Di depan rumah, di ujung anak tangga terbawah,
berkaparan mayat bersusun tindih dari manusia berkulit putih dan coklat yang
bercampur-baur.
Ada satu-satu di antara mereka yang masih menggelepar
laksana ayam yang baru disembelih. Ada yang menangis mengerang memanggil ibu,
menahan sakit perih luka parah.
Yang belum sempat menaiki tangga, buru-buru angkat
kaki menyingkir dari serangan Datu Museng yang bagaikan topan itu. Mereka lari
kucar-kacir ke arah kampung Maloku. Bunyi langkah mereka yang sebanyak itu
bergemuruh laksana derap kawanan gajah yang lari ketakutan.
Debu mengepul ke angkasa, bercampur baur dengan asap
mesiu dari tembakan serdadu yang mencoba meletup-letupkan bedilnya ke belakang
sambil lari. Di kampung Maloku, dimana pasukan induk berada, mereka segera
bergabung dan bertahan.
Maka berhujananlah peluru bedil ke badan Datu Museng.
Tapi, haram tak satu pun yang berhasil melukai kulitnya. Ia terus mengamuk
laksana setan yang haus darah. Beberapa orang musuh yang lari ke timur
diburunya dan ditikam habis. Begitu juga yang lari ke selatan, dikejar dan
tidak diberi ampun.
Pendek kata, dimana ada musuh melintas dalam pandangan, pasti dihabisinya. Ia akan membunuh sebanyak-banyaknya hari ini, sebelum hidupnya akan berakhir pula. Ya, ia akan membalaskan dendam isterinya yang kini menantinya di tempat lain. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya: