------
PEDOMAN KARYA
Senin, 11 Juli 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (35):
Datu
Museng Tantang Tumalompoa Datang Sendiri Sampaikan Maksudnya
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Keesokan harinya, Daeng Jarre datang lagi ke rumah
Datu Museng. Kali ini hatinya tak seperti kemarin lagi ketika ia mula-mula menginjak
rumah itu. Jantungnya memang berdebar-debar juga, tapi ditahannya sekuat
mungkin. Malu dan takut pada kedua tuannya yang memaksanya menahan debaran
dada.
Dan rupanya kali ini langkah baik baginya, karena
Maipa Deapati yang telah menggagalkan usahanya kemarin, tidak tampak di ruangan
tempat karaeng Datu Museng menerima kedatangannya. Dengan leluasa ia mengucap
kata, menuturkan maksud kunjungannya kepada panglima perang Sumbawa ini.
“Apa gerangan maksud Tumalompoa mengutusmu kemari
suro?” tanya Datu Museng, setelah Daeng Jarre memamah sirih-sekapur.
Dengan menelan ludah, membasahi kerongkongan yang
terasa kering, suro mulai mengucap kata, mempergunakan kefasihan lidahnya.
“Karaeng Datu Museng, hamba datang atas kehendak I
Tuan Tumalompoa dan I Tuan Jurubahasa untuk menyampaikan pesannya pada
karaengku.”
“Baiklah, apa pesan itu?” kata Datu Museng sambil
menatap tajam-tajam abdi ini.
“Anu, karaengku...., eee...., anu....”
“Apa, teruskan suro, jangan ragu-ragu!”
“Begini, karaengku. I Tuan Tumalompoa yang berkuasa di
Makassar ini menyuruh supaya karaengku..., menyerahkan segala alat senjata yang
ada pada karaengku, dan..., dan..., anu...”
“Ampun karaengku, hamba hanya bagai parang ditetakkan,
kapak diayunkan.”
“Kumaklumi itu suro, katakan segera apa maksud tuanmu
yang lain!” Datu Museng berusaha menahan amarahnya yang sudah mulai memuncak.
“Ampun terlebih dahulu, karaeng...” Daeng Jarre Daenta
Daeng Jumpandang tertegun bagaikan dicekik lehernya.
“Teruskan, akan kuampuni kau!”
“Anu karaeng... Isteri... karaengku...” suro itu
berhenti lagi, menelan air liur dan menjilat-jilat bibirnya.
“Kenapa isteriku, suro? Katakan apa maksud Tumalompoa
dengan isteriku!” mata Datu Museng sudah mulai membara.
“Ampun, karaeng... Minta diserahkan juga...”
“Apa? Apa betul katamu itu?” kemarahan panglima perang
Sumbawa itu benar-benar telah dipuncak.
Diingsutkannya pantatnya ke depan mendekati Daeng Jarre.
Rasa-rasanya hendak dipatah-patahkannya tubuh abdi ini. Untunglah ia cepat
sadar bahwa Daeng Jarre hanya orang suruhan saja.
“Harap diampuni karaeng... Itulah sabda Tumalompoa,” jawab
Daeng Jarre dengan wajah pucat. Ia sadar, jika Datu Museng tak mampu mengekang
murkanya, entah bagaimana nasibnya sekarang.
“Sombong, pongah!” teriak Datu Museng sambil bangkit
dari duduknya.
Dengan memegang kuat-kuat hulu keris pusakanya yang
bergelar “Matatarampa’na”, ia melangkah ke jendela. Dadanya bergejolak, diamuk
rasa jengkel yang amat sangat. Ia merasa amat terhina dengan permintaan
Tumalompoa itu.
Selama hidupnya, baru kali ini ada sesama manusia yang
berani secara terang-terangan menghinanya. Jika tak cepat sadar bahwa hanya
abdi saja, akan dicincangnya orang ini.
Di ambang jendela ia berhenti. Sambil tangan kiri
bertumpu pada bingkai jendela dan tangan kanan tetap pada hulu keris, ia
mencoba melontarkan pandangan sekilas ke bawah. Lengang dan kosong. Sekosong
dan sehampa perasaannya kini. Ya, tak satu pun benda yang dipandangnya dapat
mengobat sakit hatinya. Semua seakan malah mengejek dan merendahkan martabatnya
yang sudah menggunung.
Tiba-tiba ia membalik menghadapi suro Daeng Jarre.
Matanya kini berwarna saga, ia nampaknya tak tahan menerima penghinaan. Sambil
berusaha mengekang amarahnya, ia melangkah lambat-lambat ke arah Daeng Jarre.
Kira-kira tiga langkah dari suro itu, ia berhenti dan
mengangkangkan kakinya kuat-kuat, lalu berkata setengah berteriak: “Kembali
segera kepada tuanmu. Katakan aku tak mau menyerahkan senjata, apalagi
isteriku. Sampaikan bahwa aku laki-laki. Laki-laki pantang menyerah jika
miliknya hendak dirampas. Suruh tuanmu Tumalompoa datang sendiri kemari
menyampaikan maksudnya, supaya dia tahu siapa aku. Dia boleh membawa serta
sepasukan tubarani. Katakan, ketika Maipa Deapati belum menjadi isteriku, aku
bersedia mati untuknya. Apalagi sekarang, sudah di tangan, lalu hendak dirampas
oleh orang lain. Sungguh tolol tuanmu. Atau barangkali ia terlalu pongah?
Hidupku ini hanya untuk Maipa Deapati, lain tiada. Ha..., begitu rendah budi
pekerti yang dipertuan di Makassar ini! Hei suro, pulang segera. Sampaikan
bahwa senjataku tetap di pinggang sampai maut menjelang. Dan isteri belaian
kasih, tetap dalam lindungan tanganku!”
Ketika Daeng Jarre tetap termenung dungu di tempat
duduknya, Data Museng menghentakkan kaki sambil berteriak: “Hayo berangkat,
atau kupancung lehermu!”
Mendengar perintah itu, abdi Daeng Jarre terperanjat.
Buru-buru ia bangkit berjongkok dan tergopoh-gopoh menuju pintu, langsung menuruni
tangga, tak menoleh lagi. Ia berjalan cepat-cepat agar cepat pula sampai
menyembah di kaki Tumalompoa dan Jurubahasa.
Hatinya amat masygul dan duka tak terkira, karena
tugasnya tak berhasil. Untuk pertama kali dalam sejarah pengabdiannya, ia gagal
dua kali berturut-turut menghadapi seseorang. Apa dayanya sekarang?
Rupa-rupanya Datu Museng bukan sembarang Datu, tapi Datu pilihan yang lulus di atas batu ujian. Dia adalah manusia yang tak gentar pada kekuatan sesama manusia, kendati manusia yang dihadapinya jauh lebih berkuasa dari dirinya sendiri. Akh, sungguh lelaki sejati. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya: