-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 22 Juli 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (37):
Diejek
dengan Kata-kata Menusuk Perasaan, Tumalompoa Sakit Hati kepada Datu Museng
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
“Kanda..., sudah terbentang bahaya di hadapan kita,” kata
Maipa Deapati lembut sambil merebahkan diri di pangkuan suaminya.
“Adinda sayang... Tak usah takut pada bahaya. Bahaya
yang mulai membentang di hadapan kita itu adalah jodoh kita. Sudah ditakdirkan Tuhan,
kita berangkulan dengan bahaya itu di Makassar. Di sinilah adinda tempat kita
berkubur. Rupanya kompeni dan kawan-kawannya telah memasang perangkap untuk
kita. Dan yang dijadikan umpan ialah Datu Jarewe, yang akan merebut kekuasaan
di Sumbawa.”
“Apalah usaha kita mencegah hal yang tak diingini itu?”
“Usaha satu-satunya ialah membela diri sambil
menyerahkan nasib pada Ilahi Rabbi. Kita sudah dalam kurungan, adinda. Mundur
tak dapat, maju pun tak mungkin. Membela diri sampai maut menjelang, itulah
jalan yang harus kita tempuh. Balik kembali ke Sumbawa, jika kita mau, memang
bisa. Tapi itu berarti mencorengkan arang ke wajah kita sendiri. Nama kita akan
ternoda sepanjang masa. Ayahanda Maggauka yang telah menumpukkan harapannya
pada kita, juga akan menanggung malu. Bukankah aku telah bersumpah di hadapan
beliau yang disaksikan seluruh anggota adat bahwa aku tak akan pulang jika
tugas tidak terlaksana dengan baik? Ya, malah aku telah bersumpah, akan
berkubur di daratan Makassar jika maksud yang dikandung tak kesampaian. Sumpah
adalah sumpah, tak boleh dilanggar atau dikhianati, adinda. Kukira adinda juga
tak rela jika aku menjadi pengecut dan pengkhianat. Dunia ini hanya tempat
persinggahan sementara, tempat manusia diuji oleh Tuhan, apakah kita sanggup
berbuat kebajikan atau hanya menumpuk dosa. Dan kita termasuk manusia biasa
yang tidak akan kekal hidup di dunia ini. Hidup abadi di akhirat, di taman
firdausi, sorga nilakandi bagi manusia yang sanggup berbuat kebajikan. Sedang
bagi manusia yang berfoya-foya dan melupakan Tuhan, akan mendapat ganjaran maha
dahsyat di kemudian hari. Kukira dinda mengerti apa yang kumaksudkan.”
“Ya, aku mengerti yang kanda maksudkan. Sungguh luas
pandangan kanda. Aku bangga denganmu. Jika takdir Ilahi sudah akan berlaku,
adinda tak akan menolak,” kata Maipa sambil mengusap-usap dada suaminya.
Diserbu
Setiba suro Daeng Jarre di benteng dan menyampaikan
segala tutur Datu Museng dan Putri Maipa Deapati kepada Tumalompoa, tak terkira
murkanya gubernur Belanda itu. Ia murka karena tak dituruti kehendaknya. Ia
juga merasa malu karena Datu Museng berani menentang perintahnya. Hatinya
sangat sakit akibat diejek dengan kata-kata yang menusuk perasaan.
Selama hidupnya, ia tak pernah mendapat perlakuan
semacam itu. Baru kali ini ia ditantang terang-terangan oleh seorang pribumi
yang secara kasar tak punya kekuatan apa-apa, kecuali rasa harga diri dan sifat
kejantanan yang berlebihan.
Ia mundar-mandir menggigit bibir, meremas-remas tangan
menahan amarah dan rasa jengkel yang amat sangat. Keringat dingin membasahi
tubuhnya. Ia tak menyangka, gertaknya kena imbang. Dan terbayanglah pertumpahan
darah di ruang matanya.
“Jurubahasa...! Jurubahasa...!” teriaknya tanpa dapat
lagi rasa membendung rasa gelisah. Ia lalu duduk di kursi menunggu kedatangan
bawahan kepercayaannya itu yang kemudian datang tergopoh-gopoh.
“Jurubahasa..., kini tiba waktunya kita bertindak!”
kata Tumalompoa dengan mata yang berwarna merah.
“Daeng Jarre gagal lagi, tuan besar?” tanya I Tuan
Jurubahasa kecut.
“Ya, gagal lagi. Datu Museng memang terlalu keras
kepala. Kita harus menghajar kerbau liar itu supaya tahu diri. Suruh bersiap
menyerang sahabat-sahabat kita Karaeng Galesong, Bolebolena Tallo, Pallakina
Mallengkeri, Passikkina Parangtambung, I Bage Daeng Majjanji, Kareng Lewa ri
Popo, I Taga ri Mangindara, Karaeng Nyikko ri Kanaeng dan tubarani pilihan
lainnya. Jangan lupa sampaikan salamku pada mereka. Katakan, Datu Museng yang
hendak memberontak terhadap kedaulatan kita, harus ditumpas secepat mungkin,
jangan sampai dapat memberi angin bagi orang-orang Gowa!”
“Hamba akan laksanakan perintah tuanku!” sambut I Tuan
Jurubahasa sembari menundukkan kepala. Tak berani menentang tatapan mata
Tumalompoa yang sedang menyorot tajam.
“Kali ini kau harus ikut sahabat-sahabat kita
menyerang Datu Museng, supaya dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
kepalanya diceraikan dari tubuhnya. Aku tak mau mendengar berita orang lain
yang kau sampaikan padaku. Ya, aku ingin kau menyaksikan sendiri peristiwa
bersejarah itu. Kalau perlu kau harus turun tangan membantu sahabat-sahabat
kita. Dan kau pulalah yang harus membawa kemari Maipa Deapati. Ingat, tidak
boleh orang lain. Inilah perintahku, berangkatlah sekarang juga. Atur segala
persiapan penyerangan sebaik mungkin, jangan sampai gagal. Aku tak mau
mendengar penyerangan terhadap Datu Museng yang hanya dikawal beberapa orang
joa itu gagal!” kata Tumalompoa sambil melontar pandang ke tempat lain.
“Baik tuanku, hamba berangkat sekarang.” Jurubahasa minta diri, lalu melangkah meninggalkan kamar gubernur Belanda itu. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya: