-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 18 Juli 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (36):
Hei,
Anjing Belanda, Tak Usah Kau Lanjutkan Gonggonganmu
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Ketika suro itu asyik memikirkan Datu Museng, ia tiba
di benteng dan langsung mendapatkan I Tuan Jurubahasa di kamar kerjanya.
“Tuanku, harap hamba diampuni. Datu Museng tak dapat
diajak berdamai. Keris tak dapat lekang dari pinggangnya dan alat senjata yang
lain siap dipersilang. Puteri Maipa Deapati haram disentuh kulitnya oleh lelaki
lain sebelum mayat Datu Museng terhampar terbujur.”
“Apa? Terhampar terbujur, katanya?” sela Jurubahasa.
“Demikian katanya, tuanku,” jawab suro Daeng Jarre.
Jurubahasa terdiam sesaat. Ia berpikir keras mendengar
tutur abdinya itu. Inilah peristiwa yang senantiasa menghantuinya sejak rencana
gila Tumalompoa itu dicetuskan. Pertumpahan darah, ya, pertumpahan darah akan
terjadi apabila rencana itu dipaksakan juga. Hatinya mulai rusuh, perasaannya
tak enak.
Ia memang sudah yakin Datu Museng tak akan tunduk pada
perintah gila itu. Apa dayanya sekarang? Bagaimana dengan Tumalompoa? Tuannya
ini adalah orang yang berkuasa di sini. Kedudukannya yang tertinggi di antara
anak negeri adalah berkat pengabdiannya kepada Gubernur Belanda itu. Kedudukan
empuk itu pasti hancur jika ia mencoba menentang kemauan tuannya.
“Begini saja, suro. Kau ulang sekali lagi ke sana.
Mudah-mudahan kali ini sudah lunak hatinya. Bujuk dengan segala daya,
pergunakan kefasihan lidahmu. Jika kau gagal lagi, apa boleh buat. Katakan,
kedatanganmu adalah yang terakhir. Beri pengertian sebaik-baiknya agar
pertumpahan darah dapat dielakkan. Kau tentu maklum apa yang akan terjadi jika
ia tetap pada pendiriannya. Pasti banyak korban yang akan jatuh.
Kita ingin supaya ia dapat diringkus tanpa perlu mengalirkan darah pihak kita
sendiri. Oleh sebab itu bujuklah sedapat mungkin!”
I Tuan Jurubahasa berhenti sesaat, kemudian tambahnya
lagi: “Jalankan tugas ini besok, mudah-mudahan amarahnya sudah cair. Sekarang,
kau sampaikan pesan Tumalompoa kepada sahabat-sahabat kita Karaeng Galesong,
Bolebolena Tallo, Pallakina Mallengkeri, Passikkina Parangtambung, I Bage Daeng
Majjanji, Karaeng Lewa ri popo dan Karaeng Nyikko ri Kanaeng. Sampaikan bahwa I
Tuan Tumalompoa mengharapkan bantuannya nanti jika maksud-maksud baiknya
terhadap Datu Museng tidak berhasil. Suruh mereka bersiap-siap sambil menunggu
berita dari kita. Suro, kau lihat sekarang, betapa kuatnya kita untuk
menghancurkan panglima perang Sumbawa itu, jika jalan damai tak terbuka. Kau
jangan gentar terhadap Datu Museng. Dia manusia biasa, bukan dewa. Jangan lupa
kau sampaikan padanya besok bahwa jika ia tetap keras kepala, kepalanya akan
bercerai dari tubuhnya, kemudian diarak keliling kota.”
“Ceritakan padanya, benteng-benteng orang Gowa yang
memiliki lasykar banyak dapat kita rebut dan hancurkan, apalagi dia seorang.
Suro, ingat segala kata-kataku ini, dan sampaikan seluruhnya, jangan dikurangi
atau kau tambah-tambah. Sekarang kau boleh berangkat menyampaikan pesan pada
sahabat-sahabat kita tadi. Nah, berangkatlah!”
“Hamba, tuanku!” Daeng Jarre mengundurkan diri.
Lalu berangkat penuh rasa sukacita, karena sudah
terjamin akan mendapat bantuan para tubarani pilihan sahabat Belanda. Ketika
matahari sudah sepenggala tingginya keesokan harinya, Daeng Jarre Daenta Daeng
Jumpandang sudah berada lagi di rumah Datu Museng. Tetapi sebelum abdi ini
duduk bersila, Datu Museng sudah menegurnya.
“Apalagi maksud kedatanganmu kemari. Sampaikan segera,
tak usah berputar-putar lidah!”
“Karaengku Datu Museng. Kedatangan hamba kali ini
adalah yang terakhir untuk mengulangi perintah Tumalompoa yang paling ditakuti
di daratan Makassar. Beliau minta agar karaeng mengabulkan perintahnya dengan
damai, supaya karaeng aman bermukim di Makassar. Jika karaeng menolak, tuan
besar terpaksa turun tangan, dan.... “
“Hei, anjing Belanda!” hardik Datu Museng memotong.
“Tak
usah kau lanjutkan gonggonganmu. Bukankah aku telah menjawab perintah tuanmu kemarin?
Tidakkah kau sampaikan apa kataku padanya? Tulikah kau, anjing? Jawabanku tak
berubah. Semasih matahari terbit di timur dan terbenam di sebelah barat, haram
kuubah kata yang telah kuucapkan. Kembalilah pada tuanmu. Sampaikan bahwa gonggonganmu
tak mempan. Hayo, cepat pergi selama aku masih mampu mengendalikan diri!” kata
Datu Museng sambil mendekati suro Daeng Jarre.
Suro itu sudah siap-siap lari ketika Maipa Deapati tiba-tiba
muncul di ambang pintu kamarnya.
“Tunggu dulu, suro! Jangan lari. Sampaikan pada tuanmu
yang terkulit putih seperti kain kaci, bermata kucing, berambut jagung dan
berkopiah lebar itu bahwa dia harus sanggup memindahkan Pulau Laelae (pulau
kecil di depan pantai Makassar) ke sebelah timur dan daratan Makassar ke
sebelah barat jika hendak duduk setara denganku. Suruh tunjukkan kekuatannya
menahan jalannya matahari, jika ia ingin merebutku dari suamiku tercinta.
Bukankah ia berkuasa? Bukankah ia merasa lebih dari siapa pun? Tapi ketahuilah,
hei anjing kompeni, hidupku dunia-akhirat hanya untuk suamiku, bukan untuk tuanmmu
yang beralas kaki kulit kerbau itu boleh sekehendak hati. Boleh menepuk dada
sekeras-kerasnya. Tetapi dia salah alamat. Kami berdua belum pernah mempan
terhadap gertakan, dan tak pernah ragu bimbang pada marabahaya. Maut mengincar
pun tak akan kami tolak, jika memang harus demikian resikonya. Itulan kata
hatiku, suara sanubariku. Sampaikan pada tuanmu yang bermata belang itu, bahwa
dia tak tahu diuntung. Berangkat segera, aku muak melihat tampangmu!”
“Dasar anjing tak tahu diri,” tambah Datu Museng, ketika melihat Daeng Jarre melangkah cepat-cepat ke pintu, lalu berlari turun tangga dan keluar pekarangan. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya:
Datu Museng Tantang Tumalompoa Datang Sendiri Sampaikan Maksudnya