- Mahrus Andis -
-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 24 Juli 2022
Jejak
Sastrawan Sulsel:
Husni
Djamaluddin: Dengan Apa Kusebut Namamu, Toraja?
Oleh:
Mahrus Andis
(Seniman, Sastrawan,
Budayawan)
Penyair nasional asal
Sulawesi Selatan, Husni Djamaluddin, dikenal sebagai penulis puisi bercorak
naratif dengan kekuatan diksional yang luar biasa. Istilah diksional, saya
gunakan untuk menyebutkan bahwa puisi-puisi Husni Djamaluddin bukanlah tumpukan
kata-kata pilihan, melainkan telah berproses menjadi pilihan kata-kata (baca:
diksi) yang menampung makna-makna misterius.
Bersama penyair nasional
lainnya: Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Leon Agusta, dan Hamid Jabbar;
Husni tampil membungai khazanah perpuisian Indonesia di era 70-an.
Tentu dengan gayanya
sendiri, yakni; penguatan pada diksi-diksi puitik yang enak dicerna dan selalu
mengusung makna misterius. Misteriusitas
yang saya maksudkan adalah makna-makna filosofis di balik diksi puisi yang
mengundang perenungan.
Dalam buku kumpulan
puisinya yang diberi judul “Bulan Luka Parah” (selanjutnya dibaca; BLP), Abdul
Hadi WM menulis pengantar sebagai berikut:
“Seperti halnya Sutardji
Calzoum Bachri -- yang kemudian diikuti antara lain oleh Hamid Jabbar, Abrar
Yusra, Ibrahim Sattah, F. Rahardi, Slamet Sukirnanto, dan dalam beberapa hal
juga oleh Afrizal Malna -- penyair asal Mandar ini mencoba memanfaatkan corak
persajakan mantera yang penuh perulangan. Namun selain bentuk yang mengingatkan
pada persajakan mantera, pada Husni Djamaluddin kita dapati pula lirik-lirik
yang merdu dan cukup menyentuh.”
Sinyalemen Abdul Hadi WM
di atas, memang, tampak mendominasi wajah keseluruhan puisi-puisi Husni
Djamaluddin. Buku BLP setebal 63 halaman dan berisi 37 puisi itu diterbitkan
oleh Puisi Indonesia, Jakarta 1986.
Meski bercorak naratif,
dimensi yang paling tampak pada karakter puisi Husni, yaitu intensitas yang
teramat kuat dalam pergumulan diksi-diksi puitik. Selain enak dikunyah,
diksi-diksi pilihan Husni cukup kental, bergetah namun terasa licin mengalir,
menyodorkan tawaran renungan-renungan filosofis.
Salah satu puisi Husni
Djamaluddin yang saya maksudkan itu dapat dibaca di bawah ini:
Dengan
Apa Kusebut Namamu: Toraja
dengan apa mudik ke Hulu
dengan perahu memuat amal
dengan apa balik ke Asal
dengan patung selamat tinggal
dengan apa pulang ke Alam
dengan makam di bukit terjal
dengan apa kusebut namamu
dengan pesta berminggu-minggu
dengan apa kubalas budimu
dengan seribu babi
dengan seratus kerbau
dengan sesungai tuak
dengan sehutan bambu
dengan apa kulepas dikau
dengan selembah luka
dengan segunung murung
dengan selaut duka
dengan selangit
hormat pada kerabat
yang berangkat lebih dulu.
(BLP, hal. 46)
Sebagai penyair yang
dekat dengan alam, puisi Husni di atas mencoba menangkap momen ritual budaya
masyarakat adat Toraja di Sulawesi Selatan. Ia melakukan kondensasi spiritual
sebagai bentuk penghayatan terhadap makna sebuah kematian yang luhur.
Memahami makna di balik
irama diksi-diksi puisi tersebut, tentu saja pembaca dituntut memiliki bekal
dasar, yakni harus mengenal kode budaya (cultural code) sebagai papan bicara
tentang tradisi kematian bagi masyarakat adat Tana Toraja.
Coba perhatikan lagi
larik-larik puisi berikut;
“... dengan apa
kusebut
namamu dengan
pesta
berminggu-minggu/
dengan apa kubalas
budimu dengan
seribu babi/
dengan seratus
kerbau/
dengan sesungai
tuak/
dengan sehutan
bambu ..."
Tradisi budaya Rambu
Solo' dalam masyarakat Toraja adalah ritual penghormatan terakhir bagi keluarga
yang meninggal dunia. Lewat puisinya, penyair mencoba memotret dari sudut
hakikat kematian dalam perspektif masyarakat adat Toraja.
Kematian adalah proses
menuju kesempurnaan hidup pada dimensi lain. Karena itu, kematian mendapat
penghormatan yang sangat menonjol, terutama menjelang ritual pemakaman jenazah
yang disebut Rambu Solo’.
Kesemua itu dilakukan
dengan berbagai bentuk prosesi adat, disertai kearifan berkorban berupa harta
kekayaan sesuai stratifikasi sosial. Diksi-diksi seperti: pesta
berminggu-minggu, seribu babi, seratus kerbau, sesungai tuak, dan sehutan bambu,
adalah pilihan simbol-simbol penghormatan masyarakat sebagai bentuk balas budi
kepada keluarga yang berduka.
Husni Djamaluddin
tergolong penyair yang jeli. Dia amat peka menentukan power semiotik puisinya
sesuai tuntutan realitas alam dan suasana batin yang dirasakannya. Pada aspek
inilah tercermin kecerdasan seorang Husni memainkan imaji pembaca melalui ritme
dan keindahan bahasanya.
Umumnya puisi yang
bercorak naratif (baca: paparan imaji) sulit melepaskan diri dari desakan
naluri “kemerdekaan berwacana”. Pada tataran ini, seorang penyair sering
terbawa arus untuk melakukan pemborosan kata-kata di saat menuliskan puisinya.
Husni Djamaluddin rupanya
jauh dari perilaku kepenyairan seperti itu. Dia amat hemat berkata-kata. Boleh
dibilang, Husni menulis puisi naratif setelah bergelut dengan tumpukan
kata-kata yang, pada pilihan terakhir, kata-kata itu mengalami proses kondensasi
menjadi diksi-diksi yang “bertuah.”
Dari kehematan kata-kata
menjadi kekayaan diksi itulah, Husni berhasil menemukan bahasa kepenyairannya
yang khas. Husni mampu berimaji panjang tentang lingkungan sekitarnya, tentang
kehidupan dan kematian. Bahkan, tentang Tuhan yang dirindukannya lewat
pengulangan larik-larik yang manis dan mengalir.
Mari kita nikmati salah
satu puisi Husni Djamaluddin berikut
ini:
Sebuah
Danau di Toraja
di sini Toraja di sini
tak ada danau/ di sini Toraja di sini tumbuh enau/
tumbuh di kebun/
tumbuh di hutan/
tumbuh di pinggir
jalan/
di sini beribu-ribu pohon
enau bersatu jadi sebuah danau/ danau tak jangkau di ilmu bumi danau tak
jangkau di ilmu puisi/
danau apa danau itu
sebuah danau/
jernih airnya
manis mulanya/
tuak jadinya pahit
rasanya/ mabuk
akhirnya/
beribu-ribu batang bambu/
berisi air dari danau
itu/ beribu-ribu orang di Toraja di lepau/ di pasar di ladang di pematang di
dangau/
di rumah di pesta-pesta
duka/
minum tuak dari
bibir bambu/
beribu-beribu orang
Toraja/
menenggelamkan
duka/
dalam danau itu.
(BLP, hal. 15)
Bagi masyarakat di luar
Toraja, bisa saja terkecoh oleh puisi ini. Tana Toraja adalah sebuah daerah
pegunungan di Sulawesi Selatan yang di wilayahnya tidak terdapat danau. Husni
Djamaluddin sengaja memilih diksi “sebuah danau” untuk melukiskan perilaku
kultural masyarakat Toraja yang amat akrab dengan minuman khas leluhur bernama;
tuak.
Dua puisi Husni yang saya
petik dari buku BLP di atas mengajak kita berpikir keras tentang “apa” dan “seperti
apa” Toraja itu. Ada sesuatu yang khas di wilayah imaji penyair. Karena itu
pula, pertanyaan Husni Djamaluddin seperti pada judul tulisan ini, bukan
pertanyaan lugu. Melainkan, sebentuk penggeledahan atas keunikan satu wilayah
kultural-religius di Sulawesi Selatan yang bernama Tana Toraja.
Husni Djamaluddin bukan
saja penyair yang terampil mendendangkan suasana alam sekitarnya. Akan tetapi,
dia pun sangat piawai memanfaatkan rimbunan kata-kata menjadi diksi yang nikmat
dan menggiring pembaca untuk menggali hikmah di baliknya.
“Bulan Luka Parah” adalah
kumpulan puisi Husni yang ke-11 dan pernah dibacakan di Teater Arena Taman
Ismail Marzuki, Jakarta, 1981. Pada tahun yang sama, ia mewakili sastrawan
Indonesia menghadiri Asian Writers Conference di Manila, Filipina.
Penyair Husni Djamaluddin
lahir di Tinambung, Mandar Sulawesi Selatan (sekarang, Sulawesi Barat), 10
November 1934. Wartawan dan anggota PWI sejak 1955 ini adalah salah seorang
pendiri Dewan Kesenian Makassar (DKM).
Bulukumba, 20 Juli 2022
-----
Baca juga:
“Bimbang”, Puisi Ejekan Sosial A. M. Dg. Miyala