-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 28 Juli 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (39):
Serdadu
Kompeni dan Tubarani Merasa Tak Dihiraukan Kedatangannya oleh Datu Museng
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Dalam pada itu, serdadu kompeni dan para tubarani
sahabat Tumalompoa mulai bergerak lagi menuju kampung Maloku. Tiba di sana,
mereka berhenti lagi menunggu berita dari pengintai bagaimana gerak-gerik Datu
Museng setelah mendengar kedatangan mereka yang sebanyak itu.
Mereka ingin agar derap langkah dan sorak-sorai
gemuruh lasykar dapat melemahkan semangat juang panglima perang yang terkenal
keberaniannya ke mana-mana itu, supaya dengan mudah menyerah tanpa syarat.
Mereka mengerti jika perang urat-syaraf ini tak berhasil, pasti banyak di
antara mereka yang menjadi korban, tamat riwayat hidupnya di ujung keris pusaka
sang Datu.
Ya, untuk menangkap atau membunuhnya, mereka harus
menyediakan nyawa sebagai tebusannya. Jika tidak, jangan harap pula usaha akan
berhasil.
Sesudah mendapat keterangan bahwa di sana keadaan tetap
tenang, tak nampak kesibukan sedikit pun, seperti tak dihiraukan kedatangan
mereka yang berbilang ribuan itu, ada yang merasa ciut perasaannya. Ada pula
marahnya serentak mendidih karena dipandang enteng, dipandang sebagai pasukan
kanak-kanak yang tak perlu ditakuti.
Di antara mereka yang ciut hatinya, ada yang lemah
sudah semangatnya untuk maju ke medan laga. Yang ciut nyalinya yakin Datu Museng
bukan sembarang musuh, tapi musuh perkasa tiada tandingan. Mereka yakin pula,
Datu itu diam tak sembarang diam, tapi merasa besar dan kuat dari mereka.
Ketika matahari mendekati garis tengah perjalanannya,
serdadu dan tubarani kompeni membagi diri. Kemudian maju ke kampung Galesong di
mana rumah Datu Museng terletak. Mereka lalu mengadakan pengepungan dari
segenap penjuru, dan perlahan-lahan mendekati rumah itu.
Maipa Deapati yang sejak tadi mengintip keadaan
sekitar rumah melalui celah jendela, menyampaikan pengepungan itu kepada
suaminya.
Datu Museng meraih isterinya yang bercerita sambil
mendekat itu. Dipeluknya di atas haribaan. Dibelai-belai rambutnya rambutnya
yang panjang menghitam ikal dan menyebarkan harum semerbak. Diciumnya penuh
mesra, kemudian berbisik.
“Adindaku..., apalah kehendakmu sekarang. Katakanlah
agar kanda bertarung tiada ragu, menyabung nyawa tiada bimbang. Waktu yang
dinanti-nantikan telah tiba. Kanda sudah siap turun ke medan laga. Katakanlah
segera apa kehendakmu, sayang!”
Ditatapnya wajah isterinya dalam pangkuan sambil
tangan masih tetap membelai-belai rambutnya, seakan tak akan pernah puas
mengusapnya.
“Kanda junjunganku... Jangan ragu tentang ketulusan
hati adinda. Aku rela pergi mendahului, merintis jalan membuka pintu tempat
kita berdua di seberang, di tempat kekal abadi. Dimana tidak satu pun makhluk
datang menggoda, mengiri bersakit-hati menyaksikan kebahagiaan kita. Kakanda,
sudah terbayang kampung halaman, rumah indah tiada bertara. Surga firdausi
janji Nabi Besar Muhammad Sallallahu Alaihissalam junjungan kita, telah tercium
keharumannya. Dinda tak ragu lagi menuju ke tempat yang sudah dijanjikan, dimana
hidup akan tenang dan abadi!”
“Adinda sayang..., jika sudah kuat kukuh hati dan
keyakinanmu, mari relakan dirimu mati. Karena dengan jalan itulah baru kita sampai
ke seberang, ke tempat alam abadi!”
“Mati? Oh, Datu ku, dinda tak akan bimbang pada mati,
tak akan ragu pada maut. Sebab hidup di dunia memang singkat tak abadi. Apalagi
jika cuma hidup jadi tertawaan dan ejekan sepanjang masa. Datu, tak rela
kulitku ini disentuh orang lain, apalagi orang yang berkulit putih berbelang
mata, berkopiah lebar dan beralas kaki kulit kerbau. Lebih baik kulitku ini
hancur, tubuh terbujur dihimpit tanah dimakan cacing. Biar mereka yang gila
memeluk tubuh merangkul mayat yang tak berarti apa-apa lagi. Agar mereka
mengerti bahwa kekuasaan duniawi yang tidak abadi itu, tak akan dapat
menaklukkan keengganan seseorang yang kuat iman di dada. Datu, suamiku
sayang.... Laksanakan secepat kilat kehendak adinda, karena rinduku Dada Batara
(Tuhan) tak terkira lagi!”
“Kalau sudah demikian teguh maksud di hati, marilah
adinda sayang,” kata Datu Museng sambil merebahkan kepala isterinya ke
pangkuannya, dan berbisik lagi.
“Ah, intanku, buah hati sayang. Inilah jalan
satu-satunya untuk menyeberang ke tempat abadi....”
Tapi sebelum keris pusaka tercabut dari sarungnya,
Maipa Deapati berkata: “Kanda, izinkan adinda mengambil air sembahyang...!”
Ia lalu bangun dan menuju ruang belakang mengambil air
sembahyang. Setelah selesai, ia kembali tidur di pangkuan suaminya.
“Datu, pejamkan matamu... Jangan tatap wajah adinda
yang tiada kekal, tiada abadi ini. Nanti kakanda tertipu dengan wajah yang akan
hancur dimakan zaman. Inilah tanda kasih dan cintaku padamu. Jangan gagal…!”
Hati Datu Museng serasa hancur berkeping-keping ketika
mendengar kata-kata isterinya. Namun ia sadar, tak ada jalan lain. Dicabutnya
keris pusaka Matatarampa’na, kemudian berkata pilu:
Adindaku
sayang
Jangan
gentar menentang maut
Ragu
bimbang pada mati
Nanti
sesal hidup di akhirat
Dunia
tertawa kian menjadi
Dengan tersenyum Maipa menyambut, katanya:
Kanda
buah hati sayang
Tidak
kugentar jiwa melayang
Raga
bimbang pada mati
Sebab
perahu sudah kunaiki
Sudah
berputar kemudi di tangan
Kuingin
segera mengambil haluan
Menuju
maksud tempat tujuan
(bersambung)
-----
Kisah sebelumnya:
Serdadu Kompeni dan Para Tubarani Bergerak Menuju Rumah Datu Museng
Diejek dengan Kata-kata Menusuk Perasaan, Tumalompoa Sakit Hati kepada Datu Museng