-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 06 Juli 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (34):
Makassar
Bisa Tenggelam Jika Maipa Deapati Tersenyum
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Ketika memasuki benteng, pengawal pintu gerbang
melongo menyaksikan prilaku abdi Daeng Jarre. Seperti orang yang sudah
kemasukan setan, tak menoleh kiri-kanan seperti yang sering dilakukannya
apabila hendak memasuki kamar kedua tuannya.
Tanpa mengetuk pintu memberi isyarat lebih dahulu,
suro itu melangkah masuk kamar I Tuan Jurubahasa, lalu duduk bersila dekat kaki
tuannya.
Melihat suro demikian, Jurubahasa menyelidiki tanpa
berkedip. Suro ini nampaknya tak sempurna lagi. Didorong hati ingin tahu apa
yang telah terjadi, ia lalu bertanya.
“Hai suro..., apa yang terjadi hingga keadaanmu
seperti ini? Adakah Datu Museng menganiayamu? Katakan, supaya kita bertindak
mencari balas. Jika kau dipukuli, berarti kitalah yang dipukuli. Serdadu kita
siap mempersilang senjata jika perlu. Katakanlah!”
Kata-kata yang dikeluarkan I Tuan Jurubahasa penuh
emosi itu meletup-letup hingga terdengar sampai ke kamar kerja I Tuan Tumalompoa.
Gubernur Belanda itu lalu mendatangi kamar Jurubahasa untuk mengetahui apa
gerangan yang terjadi.
Dalam pada itu suro Daeng Jarre belum juga menjawab. Ia
masih mencoba mencoba mengumpulkan ingatan. Kini Tumalompoa sudah memasuki kamar
Jurubahasa. Diambilnya sebuah kursi dan duduk dekat bawahan kepercayaannya.
Kedua pembesar itu kemudian memandangi suro yang kini berangsur-angsur menjadi
tenang.
“Suro, ceritakan apa yang telah terjadi, agar
Tumalompoa mendengarnya pula!”
“Ampuni hamba, tuan besar, di bawah kaki paduka tuan
besar... Hamba sudah menjalankan tugas, datang ke rumah karaeng Datu Museng.
Tapi apa yang hamba saksikan adalah....” Daeng Jarre berhenti berkata sesaat,
lalu sambungnya lagi, “Ampuni hamba, duli tuanku!”
“Ya kami mengampunimu, bicaralah!” bujuk I Tuan
Jurubahasa.
“Tuan besar, hamba telah melihat apa yang belum pernah
hamba saksikan.”
“Apa yang kau lihat?” Tumalompoa menyela.
“Hamba melihat bulan purnama sedang duduk di samping
karaeng Datu Museng,” Daeng Jarre menundukkan kepala tersipu-sipu ketika
selesai mengucapkan kata-kata itu.
“Apakah kau tidak salah lihat? Apakah itu bukan
bintang?” tanya Jurubahasa.
“Jika pun bintang, maka itulah bintang dari segala
bintang, tuanku!” jawab suro sambil memperbaiki sila kakinya.
“Jika ia kembang, hamba yakin dialah kembang dari
semua kembang. Mata hamba masih percaya, mungkin itu adalah jelmaan bidadari
dari kayangan. Sebab matanya kemilau laksana bintang kejora yang mengasyikkan
mata, melebur hancur hati untuk menyerah bulat-bulat. Pipinya..., oh tuanku, putih
kemerah-merahan, halus terasa dalam hati dijamah mata. Bibirnya…., aduh….., bisa
menenggelamkan Makassar jika ia tersenyum. Belum lagi hidungnya yang mancung,
manis tegak di antara pipi yang montok, menggelitik mata untuk memandangnya
kendati hanya sekejap. Apalagi keseluruhan bentuk tubuhnya yang molek padat
berisi itu. Buana ini bisa tenggelam dibuatnya. Ampun tuan besar, kelu rasanya
lidah hamba untuk menggambarkan semuanya. Hamba kehabisan kata-kata. Cukup
rasanya jika hamba katakan, Maipa Deapati sayang jika mati, sayang jika hilang
dari dunia ini, sayang apabila maut menjembanya. Apalagi jika tanah memeluknya
dan cacing mengerubutinya. Ah, sungguh sayang.... Menurut hemat hamba, tak
seorang pun yang bisa sadar jika tegak dan memandang wajah puteri itu. Iman
semua lelaki tanpa kecuali, pasti akan runtuh jika sanggup memandang wajahnya
sedikit lama. Barangkali puteri itu bidadari yang menjelma manusia, tuanku.
Itulah sebabnya hamba gagal mengucapkan kata biar sepatah pun. Otak hamba
menjadi buntu, ingatan hilang dan pulang kembali dengan tangan hampa. Tuanku,
hamba kembali mencari pesan yang telah hilang dalam ingatan, untuk memungut
kata yang tercecer di tengah jalan. Sudah lama hamba menjadi suro, mahir
bertutur mengucap kata, bersilat lidah, tapi baru kali ini hamba hilang dan
hanyut dalam pikiran. Semoga tuan besar memahami keadaan hamba. Oh tuan
besar..., hamba hilang dalam silauan cemerlangnya surya di pagi hari.”
Daeng Jarre berhenti berkata dan merenungi ujung sepatu
Jurubahasa, seakan-akan sepatu itu yang diajak berbincang.
“Suro, pulanglah dahulu ke rumahmu untuk menenangkan
pikiran. Yakinlah, yang kau saksikan itu adalah manusia biasa, bukan jelmaan
bidadari. Besok laksanakan kewajibanmu dengan baik!” kata I Tuan Jurubahasa
ketika dilihatnya pesuruh kepercayaannya termenung sedih.
“Tapi ingat, kewajiban jangan dilalaikan lagi,” sela
Tumalompoa, yang sedari tadi mengawasi suro itu dengan dada gemuruh, karena
tidak berhasil usahanya.
Lama juga suro Daeng Jarre termenung, baru minta diri.
Dengan setengah jongkok ia mundur ke belakang dan hilang di balik pintu kamar I
Tuan Jurubahasa.
Setelah suro meninggalkan kamar, Tumalompoa dan Jurubahasa berunding mengenai siasat yang akan dipergunakan andaikata usaha secara damai tak berhasil. (bersambung)
----
Kisah sebelumnya: