-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 24 Juli 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (38):
Serdadu
Kompeni dan Para Tubarani Bergerak Menuju Rumah Datu Museng
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Kini tinggal yang dipertuan di Makassar itu di
kamarnya. Ia tetap duduk di kursi memandang lurus ke depan di jendela, dimana
alam luas nampak terbentang di langit yang sedang cerah bening. Sesekali awan
tipis yang berarak memaksa pandangannya membuntuti awan yang semakin menjauh.
Tanpa sadar khayalnya ikut menerawang, mengelana ke
masa depan yang akan dihadapinya. Terbayang kebahagiaan hidup sebagai orang
yang berkuasa, kenikmatan sorga yang diperolehnya di samping Maipa Deapati yang
telah menggetarkan segala tali biola hayatnya sejak lama.
Ingatannya melayang terus, sebentar ke alam tanah
tumpah-darahnya negeri Belanda. Kemudian kembali lagi ke Makassar, tempat ia
berkuasa sekarang. Perjuangan suka duka menegakkan tanah-tanah jajahan dan
mengibarkan panji-panji negerinya di mana-mana.
Kini ia akan meletupkan lagi perang. Perang kepada
Datu Museng, panglima perang sakti dari Sumbawa. Demi nafsu binatangnya dan
demi kesentosaan tanah airnya, tak terpikir lagi bahwa tindakan-tindakannya itu
tidak benar. Ia malah berpikir tindakan-tindakan yang akan dilakukannya nanti
benar adanya, dan namanya akan semakin harum juga di tanah leluhurnya.
Pengorbanan jiwa tidak terpikir pula. Ia hanya
berpikir tentang kekuasaan, jangan sampai hilang dan digantikan kekuasaan lain.
Sekali orang Belanda berkuasa di Makassar, maka kekuasaan itu harus
dipertahankan. Jika bisa, lebih diluas-ratakan ke mana-mana. Kalau perlu,
segala daratan nusantara ini berada di bawah perintah kerajaan Belanda.
Bukankah raja Belanda sudah memberikan kepercayaan penuh padanya untuk
bertindak setiap saat guna kepentingan kerajaan?
Kini ia telah mengambil tindakan tegas terhadap Datu
Museng yang mencoba menentang kemauan dan perintahnya. Itu berarti menentang
pula kemauan dan kehendak kerajaan Belanda.
Jiwa Datu Museng sudah berada dalam jangkauannya
sekarang. Besok, kepala panglima perang Sumbawa ini sudah bercerai dari
tubuhnya dan akan diarak keliling kota. Dipertontonkan kepada khalayak agar
mereka mengerti, barang siapa berani menentang kekuasaan dan perintahnya, akan
menemui nasib serupa. Biar penduduk tahu, bagaimana kekuatan dan kekuasaannya.
Dan Maipa Deapati akan menjadi isterinya atau piaraan kesayangannya. Oh,
sungguh indah dan bahagia hidupnya kelak.
Sepanjang waktu ia repot dirintang angannya yang
muluk-muluk, bagaimana jika Maipa Deapati sudah berada di sampingnya. Bila
wanita itu sudah menghiasi biliknya, semua mata pasti memandang iri padanya.
Karena telah berhasil memetik kembang dari segala kembang. Berhasil memeluk
ratu dari segala ratu, merangkul mesra bulan-Purnama di pangkuannya.
Begitu hebat pengaruh Maipa, sehingga ia tak dapat
tidur dengan nyenyak. Jika pun tertidur, ia hanya bermimpikan perempuan itu,
lain tiada.
Keesokan harinya pagi-pagi benar, serdadu kompeni
telah mengatur dalam benteng Makassar. Siap sedia menunggu perintah penyerangan
dari kapitan mereka. Ketika mereka sedang ramai mempersiapkan diri, datang pula
lasykar bantuan dari sahabat Tumalompoa.
Mereka dipimpin oleh tubarani pilihan seperti, Karaeng
Galesong, Bolebolena Tallo, Pallakina Mallengkeri, Passikkina Parangtambung, I
Bage Daeng Majjanji, Karaeng Lewa ri Popo, I Tara ri Mangindara, Karaeng Nyikko
ri Kanaeng. Benteng Makassar akhirnya penuh sesak dengan prajurit-prajurit yang
akan menyerbu Datu Museng.
Ketika Matahari naik sepenggalah di atas puncak gunung
Lompobattang, serdadu dan tubarani itu mulai bergerak menuju sasaran. Bunyi
trompet dan tambur bercampur baur dengan bunyi gendang dan pui-pui, membelah
angkasa dan merangsang semangat mereka untuk bertempur menyabung nyawa, melawan
musuh yang hanya berbilang puluhan orang saja di bawah pimpinan panglima perang
Sumbawa yang sakti dan digdaya.
Setiba di kampung Beru, pasukan berhenti dan mengatur
barisan serta sorai pui, menyusun siasat pengepungan. Ketika berhenti, mereka
bersorak bagaikan hendak runtuh Makassar dibuatnya. Gendang dan pui-tambur dan
gong tak henti-hentinya berbunyi bertalu-talu, menambah riuh rendahnya
kebisingan. Apalagi trompet yang nyaring seakan merobek dan menggelitik hati
untuk bertempur. Mereka bergembira, bersukacita bagaikan kanak-kanak yang
menghadapi permainan kegemaran.
Sorak-sorai ini terdengar nyaring menembus angkasa,
menggema ke kampung Galesong ke rumah Datu Museng. Mendengar gema suara bising
itu, naik-turunlah Maipa Deapati dari pembaringannya, keluar masuk bilik, lalu
mendekati kekasih jiwa, sembahan batin, pahlawan satrianya. Ia kemudian duduk
menyandarkan diri pada dada suaminya itu.
“Wahai Datu, mengapa kanda masih diam membisu? Musuh sudah
berada di kampung Beru. Sebentar lagi mereka tentu sudah tiba di sini. Serdadu
Belanda itu sedang mempersiapkan penyerangan yang menentukan, dan kanda masih
diam tak bersiap menyambut mereka.”
Mendengar teguran isterinya yang bernada cemas itu,
Datu Museng menjawab tenang.
“Adinda sayang..., tenanglah menunggu saat-saat yang
bersejarah itu. Mereka tidak akan tiba kemari jika belum waktunya. Kita pun tak
dapat bertindak apa-apa jika belum sampai waktunya. Sabarlah adinda, nasib tetap
tak akan berubah. Takdir kita yang telah diberikan Tuhan sejak lahir, tak
mungkin ditolak, tak dapat disanggah. Tenanglah seperti biasa. Berbuatlah
seakan-akan tak ada apa-apa yang akan terjadi. Biarkan mereka ribut bersorak,
riang-gembira laksana anjing yang sedang menghadapi paha ayam. Ya, biarkanlah.
Itu adalah hak mereka. Jangan hiraukan juga, karena itulah watak serdadu sewaan,
tubarani-tubarani yang hidup di ujung telunjuk, yang keberaniannya karena
terdorong upah dan sanjungan. Mereka bergerak bukan kehendak bukan imbauan
kesucian batin. Mereka cuma boneka permainan, dipermainkan oleh tangan-tangan
najis dari manusia-manusia terkutuk. Adinda, biarlah mereka kemari. Karena
memang hajat dan tujuannya demikian. Tak dapat ditolak, tak mungkin dilarang.
Kendati kita bergegas bercepat-cepat, tak ada juga gunanya. Karena mereka
datang pada waktunya, tiba pada saat nyawa kita akan terbang ke alam nirwana.
Apabila saat itu tiba, maka tak ada yang dapat menangguhkannya sesaat pun. Yang
perlu kita ingat hanyalah kebesaran Ilahi dan menyerahkan pada-Nya, karena di
tangan Tuhan kita berada.”
Mendengar kata suaminya itu, Maipa Deapati diam termenung, tafakur di pangkuan suami kesayangan. Sepintas lalu memang hatinya jadi cemas menghadapi bahaya yang telah datang menyongsong. Tapi jika dipikir-pikir apa kata suaminya, tabahnya datang menumpuk ke hati. Imannya semakin tebal dalam dada. Kini ia rela berkorban bersama suami junjungannya untuk terbang ke alam nila kandi dan hidup kekal abadi berdua di sana. Tiada yang mengusik, tiada yang mengganggu. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya:
Diejek dengan Kata-kata Menusuk Perasaan, Tumalompoa Sakit Hati kepada Datu Museng