Dalam dunia kepenyairan, makna senior dan junior dibatasi oleh kompetensi dan keahlian seseorang. Kadang-kadang usia kita jauh lebih tua dari orang lain, namun dari sisi kompetensi atau keahlian tentang suatu ilmu, kita berada di level bawah. Begitu pula sebaliknya.
Fahmi Syariff, seorang teaterawan, sutradara, penulis buku dan naskah drama yang terbilang produktif di Sulawesi Selatan, membuktikan sinyal saya di atas. Pensiunan dosen di fakultas sastra (FIB) Unhas tersebut mengirim puisi di email saya.
------
PEDOMAN KARYA
Senin, 11 Juli 2022
Reposting
Puisi Fahmi Syariff:
Sulsel
Butuh Kritikus Sastra
Oleh: Mahrus Andis
(Seniman, Sastrawan,
Budayawan)
Dalam dunia kepenyairan,
makna senior dan junior dibatasi oleh kompetensi dan keahlian seseorang.
Kadang-kadang usia kita jauh lebih tua dari orang lain, namun dari sisi
kompetensi atau keahlian tentang suatu ilmu, kita berada di level bawah. Begitu
pula sebaliknya.
Fahmi Syariff, seorang
teaterawan, sutradara, penulis buku dan naskah drama yang terbilang produktif
di Sulawesi Selatan, membuktikan sinyal saya di atas. Pensiunan dosen di
fakultas sastra (FIB) Unhas tersebut mengirim puisi di email saya.
Dia membumbui kalimat
seperti ini:
“Andi Mahrus; Th 2011,
saya pernah menulis, yg saya anggap puisi, satu-2nya, sampai sekarang tidak ada
lagi:
Tuhanku
Kau padaku
yakin aku
aku pada-Mu
ombak pada pantai
masihkah ada
ampunan
bagiku? "
Saya paham, pasti beliau
meminta tanggapan atas puisinya itu. Maka saya pun menulis kritik singkat
sebagai berikut;
“Puisi, hanya ada dua
jenis, yaitu: puisi yang baik dan puisi yang bagus. Puisi yang baik adalah
produk otak kiri, sedang puisi yang bagus lahir dari otak kanan.
Ciri khas puisi yang
baik, yaitu; (1) Praktis (konvensi linguistik menonjol), (2) Kaku (datar nilai semiotiknya),
(3) Ranggas (estetikanya kering) dan, (4) Kurang filosofis (kadar transcendental
/ perenungannya rendah).
Ciri khas puisi bagus,
yaitu: (1) Indah (memelihara tata sintaksis), (2) Kaya imaji (menata pilihan
kata, simbol-simbol bahasa atau metafora secara tepat), (3) Komunikatif (menyentuh
rasa batin pembaca), dan (4) Filosofis (mengundang perenungan atau mengandung misteriusitas).
Puisi Fahmi Syarif yang
tanpa judul di atas, tergolong puisi yang baik. Ia lahir dari otak kiri. Karena
itu, puisinya nyaris gagal menjadi puisi. Untung saja masih diselamatkan oleh
ungkapan metafora “ombak pada pantai.”
Dari analisis moral,
puisi ini tidak menggugah batin pembaca. Larik “masihkah ada ampunan bagiku?”
adalah pertanyaan klise yang sudah kehilangan getah puitiknya karena terlalu
sering dipakai dalam bahasa sehari-hari.
Tentang metafora “ombak
pada pantai”, ini cukup memiliki kekuatan dari aspek konvensi sastra. Pantai
dan ombak adalah satu kesatuan dengan habitat laut. Namun filosofinya rancu dan
kurang logis bagi pemahaman agama seorang muslim.
Diksi ombak dan pantai
tidak jelas. Siapa “ombak” dan siapa “pantai”? Jika ombak adalah “aku lirik”
(baca: Fahmi Syariff) dan pantai “Kau lirik” alias Tuhan, maka itu berarti
penyair merendahkan derajat kemahakuasaan Tuhan. Mengapa? Karena ombak dan
pantai adalah bagian kecil dari habitat laut yang mahaluas:
Tuhanku
Kau padaku
yakin aku
aku pada-Mu
ombak pada pantai
Koherensi transenden
(aqidah) seorang hamba kepada Tuhannya amat kokoh (baca: Kau padaku/ yakin
aku). Namun, dari dimensi imanen (realitas manusiawi), penyair merasa ada “jarak”
antara dia dengan Tuhannya (baca: aku pada-Mu/ombak pada pantai). Catatan: ombak
hanya pecah di pantai, lalu surut ke pelukan laut. Dan “jarak” ini, seketika,
menghadirkan keraguan di hati penyair :
“masihkah ada
ampunan
bagiku?”
Bait terakhir inilah yang
menggerus getah sastra puisi tersebut. Akibatnya, yang tampak lebih berperan
dalam struktur puisi itu adalah semiotika sintaksis (konvensi linguistik)
dibanding semantik-filosofisnya (konvensi literer). Bertanya, memang sebentuk
perenungan. Namun itu perenungan yang klise, dangkal dan melabilkan sikap istiqamah
seorang hamba terhadap Zat Yang Maha Pengampun.
Atas kritik saya di atas,
Fahmi Syariff membalas singkat:
“Alhamdulillah. Bertambah
pengalaman batin saya tentang puisi. Terima kasih. Saya terharu. Sulsel memang butuh
kritikus sastra dan teater yang pada decade kedua abad XXI hilang dari permukaan.”
Saya tiba-tiba merenung,
lalu membatin; “Fahmi Syariff seorang budayawan senior yang sangat arif.
Dia tidak malu menyatakan diri berguru
puisi pada juniornya.”
Selamat Hari Raya Idul
Adha 1443 H/2022 M. Sehat selalu bersama keluarga. Mohon maaf lahir-batin. *
Makassar, 11 Juli 2022