Mata Daeng Jarre yang direncanakan hanya akan memandang sepintas itu, ternyata terpaku pada wajah sang puteri. Ia seperti lupa diri, mulutnya berubah biru lembayung. Ia tak ingat lagi sedang diajak bicara oleh Datu Museng. Suro ini melongo takjub. Tak disangkanya akan melihat kilatan mata yang bersinar laksana akan menembusi jantung, melumpuhkan segala ingatan dan kekuatan.
Dan beberapa saat kemudian, Daeng Jarre Daenta Daeng Jumpandang tiba-tiba miring ke kanan disusul tubuhnya yang gempal itu berdebam ke lantai, jatuh tiarap tak sadarkan diri.
-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 03 Juli 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (33):
Suro
Daeng Jarre Jatuh Pingsan Menyaksikan Kecantikan Maipa Deapati
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Dalam benaknya terlukis suatu harapan, semoga niat
yang dipertuan terkabul, sesuai yang diinginkan. Apabila harapan itu berbuah,
ia tentu mendapat pujian setinggi langit. I Tuan Jurubahasa tentu akan menepuk-nepuk
pundaknya, karena hasil pekerjaannya yang memuaskan. Ia tentu akan menjadi suro
kepercayaan Tumalompoa dan Jurubahasa yang dikagumi oleh sahabat-sahabatnya. Di
samping itu, nasibnya sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga lebih
terjamin.
Dalam menggantang-gantang asap itu, suro Daeng Jarre
sudah melewati Karebosi. Langkahnya nampak semakin cepat, dan kini sedang
mendekati Kampung Beru. Bahkan tak terasa Kampung Maloku sudah dilaluinya pula.
Kini kampung Galesong tak jauh lagi di depan. Itu
berarti rumah Datu Museng yang menjadi tujuannya, sudah dekat. Semangatnya
menjadi lebih besar lagi hingga mempengaruhi ayunan langkahnya yang kian
panjang. Rasanya ia ingin cepat-cepat tiba ke tempat tujuan untuk menyampaikan
perintah tuannya.
Tak lama kemudian rumah Datu Museng tampaklah, dan ia
semakin memacu langkahnya hingga menyerupai orang yang sedang berlari-lari
kecil. Nafasnya sudah memburu, seperti anjing kelelahan. Dadanya naik-turun tak
beraturan lagi.
Ketika mendekati pekarangan rumah panglima perang
Sumbawa itu, ia sudah bertambah payah. Sebelum masuk pekarangan, suro itu
terpaksa berhenti. Ia berpegang pada daun pintu pekarangan dan berusaha
mengatur nafas yang sengal-sengal. Letak bidak (simpulan kain) yang melilit di
batas perutnya pada tubuh yang setengah terbuka, tak sempurna lagi letaknya.
Sedang peluhnya mengucur membasahi sarung dan celana barocik (celana pendek
yang panjangnya sebatas lutut).
Setelah nafas teratur lagi, lidah dijilatkan ke bibir,
tangan menghapus keringat di dahi yang terus menetes ke pipi dan dagu sehingga
turut melumeri kumis melintang yang seperti tanduk kerbau itu. Matanya yang
nyalang, memandang tajam sekali ke halaman istana Datu Museng.
Setelah sempurna simpulan bidak, ia mulai melangkah
perlahan memasuki pekarangan. Langkah diatur sedemikian rupa sehingga sopan dan
santun tampaknya. Rasa gugup dilempar jauh-jauh, dan ia kini tiba di dekat
tangga.
Sebelum kaki menjejak anak tangga pertama,
bismillahirrahmanir-rahim diucapkan perlahan, dengan harapan, tak akan ada aral
yang melintang yang menghambat maksud dicita. Ia kemudian mulai menapaki tangga,
dan sesaat kemudian sudah berdiri di ambang pintu.
Joa (pengawal) yang berdiri di depan pintu rumah,
menghadang jalannya. Terjadilah sedikit tanya-jawab, lalu joa masuk ruangan
rumah gedang, menyampaikan kedatangan suro Daeng Jarre kepada Karaeng (gelar
kebangsawanan) Datu Museng.
Tak lama kemudian, joa muncul dan mempersilahkan Daeng
Jarre memasuki rumah. Pesuruh kepercayaan Tumalompoa itu melangkah masuk sambil
membungkuk merendahkan diri. Ia memegang lututnya dan berjalan selangkah demi
selangkah, menuju Datu Museng yang sedang duduk bercengkerama dengan isteri
kesayangannya.
Suro yang patuh itu mendekat dengan
berjingkat-jingkat, seakan takut mengganggu tuan-rumah. Ketika melihat suro itu
duduk agak jauh, Datu Museng menegur sambil menepuk-nepuk tilam permadani di
sampingnya.
“Suro..., dekat-dekatlah di sini,” sapanya.
Daeng Jarre yang duduk merunduk, mengingsutkan
pantatnya untuk mendekat. Ia kemudian menegakkan kepala untuk mengucapkan
terima kasih kepada tuan rumah yang demikian ramah menyambutnya. Akan tetapi
didorong desakan nalurinya untuk melihat sepintas saja wajah Puteri Maipa
Deapati yang konon kabarnya amat cantik itu, pandangannya dialihkan sekilas ke arah
sang puteri yang duduk tak jauh dari suaminya. Kebetulan pula, Maipa Deapati
sedang memandang kepadanya. Terjadilah hal yang luar biasa.
Mata Daeng Jarre yang direncanakan hanya akan
memandang sepintas itu, ternyata terpaku pada wajah sang puteri. Ia
seperti lupa diri, mulutnya berubah biru lembayung. Ia tak ingat lagi sedang
diajak bicara oleh Datu Museng. Suro ini melongo takjub. Tak disangkanya akan
melihat kilatan mata yang bersinar laksana akan menembusi jantung, melumpuhkan
segala ingatan dan kekuatan.
Dan beberapa saat kemudian, Daeng Jarre Daenta Daeng Jumpandang
tiba-tiba miring ke kanan disusul tubuhnya yang gempal itu berdebam ke lantai,
jatuh tiarap tak sadarkan diri.
Menyaksikan kejadian ini, Datu Museng geleng-geleng
kepala yang disambut sekulum senyum oleh Maipa. Ia lalu berdiri mengambil air
dan minta isterinya membasahi ujung rambutnya, kemudian diusapkan ke dahi suro
malang itu.
Ketika ujung rambut Maipa basah itu diusapkan ke muka
Daeng Jarre, suro itu membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya lalu tertumbuk
pada wajah Datu Museng dan Maipa Deapati yang senyum-senyum simpul.
Daeng Jarre mulai berpikir, mengembalikan ingatan dan
semangat yang hilang, sambil mengejap-ngejapkan mata. Setelah sadar apa yang
telah terjadi, ia cepat-cepat bangun, lalu berdiri dan tanpa berkata sepatah
pun, ia berbalik dan angkat kaki meninggalkan suami-isteri itu, seperti sudah
kehilangan akal budi yang waras.
Tak ingat pamit lagi, tak ada sopan santun, dan maksud
yang dituju terlupa sudah. Langkahnya yang panjang-panjang membuatnya sesaat
saja ia sudah melewati pintu rumah, lalu bergegas menuruni tangga tanpa
mengucapkan salam hormat pada joa pengawal rumah gedang. Ia menuruni tangga lebih
cepat ketika datang beberapa saat berselang.
Sarung yang tadinya tersimpul teratur rapih, kini
menggantung kacau di atas kedua pahanya, membuat langkahnya agak terkekang.
Diraihnya sarung itu untuk disandang di atas bahu. Ketika kaki menjejak tanah,
suro itu mengayun langkah panjang-panjang, lebih panjang ketika ia datang tadi.
Entah berapa kali ia terjerembab, bangun lagi dan
melangkah lebih cepat. Bahkan ia sering berlari-lari kecil. Ia ingin benar
tampaknya cepat tiba kembali ke benteng, ke tempat kediaman Tumalompoa dan
Jurubahasa.
Ia telah lupa kewajiban yang diperintahkan tuannya telah dilalaikan. Ingatannya, bagaimana secepat mungkin menyampaikan apa yang disaksikannya dengan mata kepala sendiri di rumah Datu Museng. (bersambung)
----
Kisah sebelumnya: