Abdullah bin Rawahah yang terkenal sebagai seorang ksatria dan pemberani berkata,
“Saudara-saudara apa yang tidak kita sukai justru itu yang kita cari sekarang ini yaitu mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang banyak, melainkan kita memerangi mereka hanyalah karena agama, juga yang dengan itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini menang atau mati syahid.”
-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 17 Juli 2022
Kisah
Nabi Muhammad SAW (132):
Zaid
bin Haritsah dan Ja’far bin Abu Thalib Gugur di Perang Mu’tah
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ
سَيِّدِنَا مُحَمَّد
“Itu hanya semangat jahiliyah. Tetapi sekarang,
setelah kebenaran itu bagiku sudah jelas, demi Allah, aku mengikut agama Islam!”
Abu Sufyan kemudian memanggil Khalid, “Benarkah apa
yang kudengar tentang engkau?”
Ketika Khalid membenarkan, Abu Sufyan memerah
wajahnya, “Demi Latta dan Uzza, kalau
itu benar, niscaya engkaulah yang akan kuhadapi sebelum Muhammad!”
“Dan memang itulah yang benar, dan apa pun yang akan
terjadi,”
Kemarahan Abu Sufyan meledak. Ia maju hendak menyerang
Khalid. Namun lkrimah menahannya seraya berkata,
“Sabar Abu Sufyan, seperti engkau, aku juga khawatir
kelak akan mengatakan sesuatu seperti kata-kata Khalid itu dan ikut ke dalam
agamanya. Kamu akan membunuh Khalid karena pandangan hidupnya itu, padahal
mungkin kelak seluruh Quraisy sependapat dengan dia. Sungguh aku khawatir
jangan-jangan sebelum bertemu Muhammad lagi tahun depan, seluruh Mekkah sudah
menjadi pengikutnya!”
Sejak menjadi seorang muslim, sejarah hampir tidak
pernah mencatat kekalahan pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Ketika
menghadapi 240.000 pasukan Romawi, pasukan muslim yang lebih jauh lebih kecil
jumlahnya menjadi ragu.
Khalifah Abu Bakar berkata, “Demi Allah, semua
kekhawatiran keraguan mereka akan hilang dengan kedatangan Khalid!”
Perang
Mu’tah
Khalid bin Walid segera pergi ke Madinah dan
menggabungkan diri dengan kaum muslimin. Tidak lama kemudian menyusul pula dua
orang pembesar Quraisy Amru bin Ash dan Utsman bin Tolkhah, mereka diikuti juga
oleh banyak penduduk Mekah.
Kemenangan Rasulullah ﷺ terhadap Mekah tampaknya
tinggal menunggu waktu. Namun sebelum itu terjadi, 15 orang yang dikirim ke
perbatasan Syam dibunuh oleh pihak Romawi.
Maka pada bulan Jumadil Awal tahun ke-8 Hijriyah atau
629 Masehi, Rasulullah ﷺ memanggil tiga ribu prajurit pilihan. Beliau
menyerahkan tampuk kepemimpinan pasukan kepada Zaid bin Haritsah sambil
bersabda,
“Kalau Zaid gugur maka Ja'far bin Abu Thalib yang
memegang tampuk kepemimpinan, dan jika Ja'far gugur maka Abdullah bin Rawahah
yang memegang tampuk kepemimpinan.”
Pasukan berangkat diiringi doa dan ucapan selamat dari
masyarakat ramai. Rasulullah ﷺ turut mengantar sampai ke luar kota dan
berpesan,
“Jangan membunuh wanita, bayi, orang-orang buta, dan
anak-anak. Jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pepohonan. Allah
menyertai dan melindungi kalian. Semoga kalian kembali dengan selamat.”
Zaid bin Haritsah merencanakan untuk menyergap musuh
dengan tiba-tiba. Namun ketika tiba di Ma'an mereka amat terkejut.
Syuhrabil, Gubernur Heraklius, telah menghimpun
pasukan yang terdiri atas orang-orang Yunani dan orang-orang Arab. Heraklius
sendiri mengerahkan pasukan Romawi untuk membantu pasukan lawan yang tengah
menanti pasukan muslimin yang berjumlah 200.000 orang!
Para pemimpin tentara muslimin agak ragu. Apakah
mereka harus maju atau meminta bala bantuan dari Madinah. Namun, Abdullah bin
Rawahah yang terkenal sebagai seorang ksatria dan pemberani berkata,
“Saudara-saudara apa yang tidak kita sukai justru itu
yang kita cari sekarang ini yaitu mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan
karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang
banyak, melainkan kita memerangi mereka hanyalah karena agama, juga yang dengan
itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan
memperoleh satu dari dua pahala ini menang atau mati syahid.”
Kata-kata Abdullah bin Rawahah ini melambungkan
semangat pasukan.
“Ibnu Rawahah memang benar!”
Abdullah bin Rawahah ini adalah seorang penulis dan
penyair yang untaian syair-syairnya meluncur dari lidah yang kuat dan indah
didengar. Semenjak memeluk Islam dibuktikannya kemampuan bersyair itu untuk
Islam.
Rasulullah ﷺ menyukai dan menikmati syair-syairnya dan
sering beliau minta Abdullah untuk lebih tekun lagi membuat syair.
Gugurnya
Tiga Pahlawan
Di Desa Masyarief, kedua pasukan bertemu. Namun dengan
cerdik, pasukan muslim membelok ke Mu’tah. Tempat itu dianggap jauh lebih baik
sebagai tempat bertahan. Di Mu’tah inilah terjadi pertempuran dahsyat yang
jarang disaksikan sejarah karena jumlah kedua pasukan berbeda begitu jauh.
Zaid bin Haritsah bertempur dengan gagah berani. Saat
itu hampir tidak ada satu pahlawan pun yang bisa menyaingi kehebatannya. Ia
bertempur dan bertempur sampai akhirnya sepucuk tombak menghantamnya dengan
telak. Zaid bin Haritsah jatuh ke tanah dan gugur sebagai syuhada.
Sesuai dengan pesan Rasulullah ﷺ, Ja'far bin Abu Thalib
mengambil bendera Zaid dan maju memimpin pasukan. Usia kakak Ali bin Abi Thalib
ini baru 33 tahun. Ja'far benar-benar pemuda tampan cerdas dan berani. Ia maju
dan bertempur dengan semangat menyala bagai api yang mengamuk.
Ketika tangan kanannya ditebas hingga putus Ja'far
meraih bendera dengan tangan kiri namun tidak lama kemudian tangan kiri ini
juga lepas karena sabetan pedang. Dengan kekuatan yang tersisa Ja'far
mempertahankan bendera dengan kedua pangkal lengannya sampai seorang prajurit
Romawi membelah tubuh Ja'far. Pemuda tampan ini gugur.
Ibnu Umar yang saat itu bertempur di sampingnya mengatakan,
“Kuhitung ada 50 luka di tubuhnya, namun tidak satu pun yang terdapat di bagian
punggung.”
Kedua lengan Ja'far yang putus diganti Allah ﷻ dengan
sepasang sayap sehingga Ja'far dapat terbang kemana pun ia mau. Karena itulah
Ja'far dijuluki Ath Thayar atau penerbang atau Dzuljanahain atau orang yang
memiliki dua sayap.
Kini giliran Abdullah bin Rawahah yang menjadi
panglima. Ia yang mengibarkan bendera, tetapi hatinya ragu sejenak sambil
berkata,
“Oh diriku! Mengapa engkau masih ragu atau terpaksa?
Jika pertempuran telah dimulai dan genderang bertalu-talu, mengapa kulihat
engkau masih membenci surga?”
Kemudian Abdullah bin Rawahah maju dengan gagah sampai akhirnya juga gugur. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya: