-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 25 Agustus 2022
60
Tahun TVRI: Hadiah Buku “Kematian” Buat Daeng Nojeng
Oleh:
Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan)
Bertemu dengan teman, Dr
Azis Nojeng, di Kafefaca, saya teringat TVRI (Televisi Republik Indonesia) yang
saat ini berusia 60 tahun. Profil DaEng Nojeng (panggilan akrab dosen Unismuh
Makassar ini) sangat dikenal di banyak kalangan. Selain aktif di seni panggung,
dia pun pembawa acara di Radio Gamasi dan pengisi siaran seni-budaya TVRI Sulsel.
Kemunculannya di Meja
Solusi Fosait (Forum Sastrawan Indonesia Timur), Rabu, 24 Agustus 2022, dipicu
rasa kerinduan bertemu dengan teman-teman diskusi. Maka riuhlah seketika
beranda depan Kafebaca.
Penyair Muhammad Amir
Jaya, pelukis Ishakim Arts, cerpenis Anwar Nasyaruddin, dan Wartawan Rusdy
Embas, langsung menyambut DaEng Nojeng dengan ucapan hangat: “Selamat Datang
Wahai Anak Hilang.”
Ucapan itu sekadar
basa-basi atas “menghilang”-nya DaEng Nojeng, beberapa saat, di beberapa
kegiatan literasi Fosait. Saya pun ikut menyambutnya dengan sebuah buku cerita
panjang berjudul “Puisi Kematianku.”
Buku ini menjadi hadiah
buat DaEng Nojeng dalam rangka Hari Ulang Tahun TVRI ke-60.
“Tapi, kenapa buku
kematian? Dan apa kaitannya dengan HUT TVRI?” protes DaEng Nojeng sebelum
menerima buku itu.
“Terima saja dulu. Soal
TVRI dengan usianya yang ke-60, nanti dijelaskan,” celetuk Ishakim Arts.
“Maaf, ini hadiah biasa.
Tak ada hubungan antara TVRI Sulsel dengan cerita kematian,” sergah saya.
“Anggaplah buku itu
menjadi koreksi atas matinya dinamika ideologi seni budaya TVRI Sulsel di usia
60 tahun,” sambar Amir Jaya.
Kami pun tertawa, namun
wajah DaEng Nojeng tampak bingung, tidak paham di balik guyon teman Fosait.
“Begini, DaEng. Buku itu
tidak ada kaitannya dengan TVRI. Kebetulan saja Anda hadir dan saya ingin
menghadiahkan buku itu sebagai dakwah mengingat kematian,” jelas saya, dan mata
DaEng Nojeng tiba-tiba terbelalak mendengar kalimat peringatan kematian itu.
Maka, Ishakim pun kembali turun tangan.
“Tadi, kami menonton
siaran TVRI. Ternyata hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-60. Banyak
hal yang membuat hati kami bertanya-tanya, antara lain, mengapa siaran budaya
di Stasiun TVRI Sulsel terlalu miskin? Bahkan boleh disebut mati dinamika
ideologinya,” kata Ishakim.
“Maksud elu?” tanya DaEng
Nojeng dengan gaya humornya.
“Kita yang ada di Fosait
ini umumnya pengamat TVRI sejak tahun 1970-an. Ada banyak hal yang hilang di
acara Seni dan Budaya TVRI Sulsel, di usianya yang ke-60 tahun ini,” timpal
saya.
“Betul. TVRI Sulsel perlu
instrospeksi, khususnya pada rubrik siaran seni-budayanya,” seruduk Si
Wartawan, Rusdy Embas, dan mendapat anggukan dari cerpenis Anwar Nasyaruddin.
“Terus apa masalahnya
dengan saya? Na saya bukanka’ orangnya TVRI kodong?” protes DaEng Nojeng.
“Anda orang dekatnya TVRI
Sulsel, karena sering dikavling mengisi siaran budaya di situ. Ya, paling tepat
bisa menjadi pipa penyalur aspirasi penonton untuk siaran seni-budaya,” jawab
Amir Jaya.
“Aspirasi apantumae?”
tanya DaEng Nojeng dengan tetap dialek Mangkasaraqnya.
Saya mengerling Ishakim.
Rupanya dia tahu isyarat mata saya itu. Maka, dengan gaya seorang diplomat
Belanda, Ishakim memaparkan apa harapan Fosait terhadap Stasiun TVRI Sulsel di
usianya yang ke-60 tahun itu.
“Begini, kami di Fosait
ingin menitipkan beberapa masukan kepada TVRI Sulsel. Antara lain, rubrik Apresiasi
Seni-Budaya pada setiap Minggu itu agar mengubah waktu siarannya. Diupayakan tidak
bertepatan dengan shalat Magrib. Idiom budaya yang ditampilkan pun harus sesuai
dengan latar budaya masyarakat Sulsel. Misalnya, sapaan ‘Opa’ pada pembawa
acaranya kurang pas. Mungkin bisa diganti dengan sapaan DaEng, Tetta, atau
Ambo' na, supaya lebih akrab di hati masyarakat penonton,” kata Ishakim memulai
titipannya.
“Ya. Sependapat dengan
usulan itu,” celetuk Amir Jaya, seraya menambahkan, “Juga perlu pengembangan
metode penyajian siaran. Di Sulsel ini tidak hanya ada kesok-kesok untuk
sinrilik, tapi ada juga musik lainnya seperti gambus, kecapi, ganrang poce,
rabbana, pui-pui, basing-basing, dan banyak lagi jenis musik lokal yang tidak
boleh dilupakan.”
Mendengar itu, DaEng
Nojeng manggut-manggut. Dia bersedia menjadi pipa penyalur berbagai saran
Fosait itu.
“Dulu, di tahun 1980-an,
ada acara Apresiasi Sastra dalam bentuk pembacaan dan pembahasan puisi para
sastrawan di daerah ini. Ada juga Bina Teater, Belajar Menggambar dan Drama
Remaja. Kenapa rubrik siaran yang mengedukasi penonton seperti itu, saat ini
hilang?” geledah Anwar Nasyaruddin.
“Menurut saya, sebaiknya
TVRI Sulsel kembali menyempurnakan siaran Seni-Budayanya seperti dulu. Ulang
tahunnya ke-60 ini tidak cukup tampil dengan slogan besar ‘Terus Merawat Negeri’,
tapi harus membuktikan slogan itu dengan kreativitas yang semakin dinamis membangun
bangsa melalui apresiasi seni-budaya lokal dan nasional,” simpul saya.
Bincang lepas yang
berkonten imajinasi itu berlangsung dengan santai. Sesekali Kafebaca
menggelegar oleh suara ketawa kami yang, sepertinya hidup ini, tanpa
permasalahan.*
Makassar, 24 Agustus 2022