“Ambillah ajimat ini, dan laksanakan niat yang terkandung dalam hati saudara. Sekaranglah saatnya aku harus menunaikan janji...”
Ketika ajimat sudah di tangan, Karaeng Galesong menikam Datu Museng dengan tombak. Dadanya tembus, dan ia jatuh terkulai disambar maut, dijembah mati. Maka bersoraklah para serdadu kompeni dan lasykar tubarani kawan Tumalompoa karena gembira.
------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 05 Agustus 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (43):
Datu
Museng Serahkan Ajimatnya kepada Karaeng Galesong
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Ketika ia menengadah ke cakrawala, dilihatnya matahari
telah jauh condong ke barat. Ia yakin ashar telah tiba. Untuk kembali ke rumah
mendirikan sembahyang, rasanya tak mungkin lagi. Musuh telah mengepungnya ketat
sekali dari jarak dekat. Pertahanan musuh telah berlapis-lapis. Tak ada lagi
celah yang dapat diterobos.
Dengan menyebut nama Tuhan berkali-kali, ia berdoa dan
memohon ampun karena tak dapat melaksanakan shalat ashar sebagaimana mestinya,
dihalang manusia-manusia bengis yang akan merampas nyawanya secara paksa.
Diniatkannya dalam hati puja-puji kepada Tuhan, semoga
kelalaiannya ini dapat dimaafkan. Setelah itu ia mulai menembaki lagi musuh
yang kian maju. Mereka nampaknya sudah bertekad tak akan memberi ampun panglima
perang Sumbawa itu yang kini bertahan beberapa puluh meter saja di depannya.
Mereka yakin, Datu Museng akan kehabisan peluru
sehingga makin mudah menghancurkannya. Ya, mereka juga yakin, Datu Museng
adalah manusia biasa. Kendati sakti, tentu akan kehabisan tenaga jika tak
diberi kesempatan melepaskan lelah.
Oleh sebab itu, ketika bedilnya tak meletup lagi
karena kehabisan peluru, dengan bersorak gemuruh, serdadu-serdadu kompeni
bersama lasykar tubarani kawan Tumalompoa, serentak berdiri dari tempat-tempat
pertahanan mereka, lalu menyerbu gegap-gempita laksana banjir
dari hulu sungai yang dahsyat menerjang dan menumbangkan apa saja yang
menghalanginya.
Beberapa saat saja Datu Museng sudah dikerubuti lagi.
Tubuhnya yang sudah hampir-hampir telanjang karena baju koyak-koyak, kini
menjadi sasaran terbuka tikaman keris dan tombak yang membadai. Kendati ia
mempertahankan dirinya sekuat tenaga dengan menerjang dan menikam, musuh tak
mau lari lagi.
Mayat terus-menerus jatuh. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh,
empat puluh..., tapi mereka terus menghantamnya. Bedil tak lagi ditembakkan,
tetapi digunakan memukuli kepala panglima perang sakti itu.
Akhirnya, perlawanan Datu Museng perlahan-lahan
mengendur. Ia amat lelah, karena tak diberi kesempatan melepaskan letih. Namun
la merasa puas, telah membalaskan dendam isterinya, seperti yang dijanjikannya.
Sekonyong-konyong ia sadar, hari berangsur gelap.
Magrib telah di ambang pintu. Batas waktu janjinya untuk menyongsong isterinya
telah tiba. Dan benarlah, kini terbentang di hadapannya samudera mega
berpancarkan sinar keindahan gilang-gemilang.
Maipa Deapati, intan zamrud kesayangannya telah datang
menggapai, mengulurkan tangan mengajak berjalan seiring ke tempat yang lama
dicita-citakannya. Didorong keyakinan yang kuat, letih cinta pada janji dan
sumpah terhadap kekasih di seberang -- di alam baqa ia segera mengambil
keputusan terakhir, menanggalkan ajimat penjaga diri dari tubuh. Kemudian
digapainya Karaeng Galesong dan menyerahkan ajimat itu padanya.
“Ambillah ajimat ini, dan laksanakan niat yang
terkandung dalam hati saudara. Sekaranglah saatnya aku harus menunaikan
janji...”
Ketika ajimat sudah di tangan, Karaeng Galesong
menikam Datu Museng dengan tombak. Dadanya tembus, dan ia jatuh terkulai
disambar maut, dijembah mati. Maka bersoraklah para serdadu kompeni dan lasykar
tubarani kawan Tumalompoa karena gembira.
Datu Museng yang telah membunuh ratusan teman-teman
mereka, kini sudah tewas. Karaeng Galesong kemudian memisahkan kepala Datu
Museng dari tubuhnya, lalu diarak keliling kota, diikuti serdadu dan lasykar
tubarani sambil bersorak gembira atas kemenangan ini. Mereka bersukaria,
menyanyi sepanjang jalan:
Sampailah
kini apa di angan
Bahagia
sudah hati tertawan
Sampailah
pula cita harapan
Bahagia
selalu sepanjang jaman
Tumalompoa dan Jurubahasa girang tak terkira ketika
Karaeng Galesong datang menghadap dengan seluruh lasykar sambil membawa kepala
panglima perang Sumbawa itu. Tercapailah sudah satu dari dua keinginannya.
Keinginan yang kedua ialah menguasai isteri Datu
Museng yang cantik jelita itu, kini teramat mudah untuk dicapai. Bukankah
penghalang satu-satunya hanya Datu Museng seorang? Sekarang penghalang itu
sudah disingkirkan. Jalan yang akan dilalui sudah lempang.
Tanpa dapat menahan keinginannya, Tumalompoa
memerintahkan Jurubahasa cepat-cepat ke rumah Datu Museng, membawa usungan
indah permai, menjemput Maipa Deapati. Tuan Jurubahasa girang alang kepalang
menerima perintah itu. Rasa bahagia memenuhi rongga dadanya karena mendapat
kesempatan menerima puji-sanjungan dari I Tuan Tumalompoa. Apalagi jika
diingat-ingat, dialah yang pertama-tama akan menyaksikan dari dekat kecantikan
wanita yang tersohor itu.
“Ah, aku akan memandang puteri molek itu
sepuas-puasnya sebelum kuantar ke hadapan Tumalompoa,” katanya di dalam hati.
Ia berjalan bergegas-gegas, menirukan lenggang Tuan
Tumalompoa yang perkasa. Beberapa pengiring dan sebarisan pengusung berpakaian
indah, mengikutinya dari belakang. Setiba di depan rumah yang dituju, ia
memerintahkan para pengiring menanti di anak tangga terbawah.
Ia pun melangkah menaiki tangga dengan gerak yang
dibuat sedemikian rupa agar indah kelihatan, supaya Maipa memandangnya sebagai
lelaki sopan, gagah dan terhormat. Di pelataran rumah, tiada seorang manusia
pun yang dijumpainya.
Ia melanjutkan langkahnya masuk ruang tengah. Di sana
ia berhenti sejenak, menengok ke kiri dan kanan. Akhirnya matanya tertumbuk di
tiang tengah, di atas sebuah kursi. Di sana, matanya terpesona beberapa jenak.
Betapa tidak, di kursi itulah Maipa sedang duduk termenung merunduk memejamkan
mata. Lehernya dibebat dengan kain merah.
“Aduh, sungguh indah karunia Tuhan kepada perempuan ini,” pikirnya. (bersambung)
----
Kisah sebelumnya: