Datu Museng terkepung di tempat terbuka. Ia terpaksa berkelahi laksana kerbau mengamuk. Mereka mengerubuti Datu Museng seperti kawanan semut yang memperebutkan sekerat kecil makanan. Keris Matatarampa'na menyambar terus dari dada yang satu ke dada yang lain. Dan jerit musuh yang jatuh sebelum tewas, terdengar sambung menyambung.
----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 04 Agustus 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (42):
Karaeng
Nyikko dan Karaeng Mangemba Tewas, Karaeng Galesong Melarikan Diri
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Mendengar raungan suro itu, Karaeng Galesong dan
kawan-kawannya bergegas masuk ruang tengah. Didapatinya Datu Museng sedang
berjongkok di depan mayat Daeng Jarre. Tanpa dapat lagi menahan amarahnya,
Karaeng Galesong berteriak lantang.
“Hei kawan, palingkan dirimu supaya kita berhadapan.
Akan kuambil nyawamu, kuseberangkan hidupmu, kuarak kepalamu keliling kota,
kugantung di tengah-tengah lapangan Karebosi.”
Ketika dilihatnya Datu Museng belum juga berpaling,
seakan tidak gentar mendengar kedatangannya, ia berteriak lebih keras lagi.
“Datu Museng keparat...! Aku Karaeng Galesong yang
sakti dan digdaya. Aku datang untuk mengakhiri riwayat hidupmu. Bersiaplah, aku
tidak biasa mengambil nyawa seseorang secara pengecut!”
Mendengar itu Datu Museng berpaling cepat. Ditatapnya
Karaeng Galesong tajam-tajam. “Benarkah kau Karaeng Galesong? Jika benar, aku
sangat gembira. Aku bersyukur kepada Tuhan karena dapat berjumpa denganmu
sebelum aku meninggalkan dunia fana ini. Aku rela mati di tanganmu, di tangan
salah seorang keluargaku yang cukup sakti dan perkasa. Hanya sayang,
kehadiranmu terlalu cepat. Aku belum ingin mati sekarang. Aku masih hendak
membalaskan dendam isteriku. Oleh karena itu, minggirlah hai Karaeng Galesong!”
“Tidak! Aku tidak akan menyingkir!” balas Karaeng
Galesong, “Keluarga, tetap keluarga. Aku datang bukan untuk berbincang tentang
keluarga. Kau perusuh, pemberontak terhadap kekuasaan Tumalompoa yang hak di
daratan Makassar ini. Ya, aku datang untuk bertempur denganmu, bersiaplah
saudaraku!”
Datu Museng heran mendengar ia dituduh sebagai perusuh
dan pemberontak. Rupanya Karaeng Galesong tidak mengerti duduk soal yang
sebenarnya. Tapi baiklah, ia akan menerima kenyataan ini sebagaimana adanya. Ia
tidak punya kesempatan lagi untuk menerangkannya. Bahkan ia merasa tak ada
gunanya hal itu diterangkan. Ia tokh tak butuh belas-kasihan. Bukankah ia harus
menyusul isterinya nanti, seperti yang telah dijanjikannya?
Dengan menarik nafas panjang, Datu Museng menerjang
yang disambut dengan tikaman keris dan tombak oleh kawanan tubarani. Keris
pusaka Matatarampa'na kembali menyambar ke kiri dan kanan. Sepak terjang kedua
kekuatan yang berlawanan ini menggemuruh membuat ruang tengah berderak-derak,
laksana akan rubuh rumah dibuatnya.
Akhirnya Karaeng Nyikko ri Kanaeng tertikam lambungnya
dan jatuh berdebam menentang maut. Kemudian menyusul jatuh tersungkur Karaeng
Mangemba ri Dengga, menggelepar meregang jiwa.
Melihat amukan Datu Museng itu, I Bage Daeng Majjanji
melarikan diri. Disusul Karaeng Lewa ri Popo dan I Taga ri Mangindara. Mereka
meninggalkan tempat pertarungan dan cepat-cepat menuruni tangga. Entah karena
takut, atau bermaksud mencari bantuan.
Kini Datu Museng dan Karaeng Galesong
berhadap-hadapan. Kedua orang sakti itu saling mengincar. Laksana dua ekor ayam
jantan yang intip mengintip, mencari kelemahan lawan.
Tiba-tiba Karaeng Galesong menyerang dengan keris
terhunus dan kedua orang perkasa itu terlibat dalam suatu pertarungan seru.
Tikam menikam dan hempas menghempas, laksana kerbau yang berlaga mati-matian
memperebutkan betina.
Menghadapi serangan bernafsu Karaeng Galesong, Datu
Museng hampir lupa bahwa ia berkelahi dengan tubarani kompeni yang satu ini sekadar
untuk melemahkannya saja, tidak untuk dibunuh. Untung ia cepat sadar, lawan ini
tak boleh dianggapnya sebagai musuh yang sebenarnya.
Dengan lebih banyak menggunakan jotosan daripada
tikaman, Datu Museng memperhebat serangannya, membuat Karaeng Galesong larat
mundur ke pelataran rumah. Serangan Datu Museng yang semakin gencar, memaksa
tubarani utama kompeni itu tak mampu bertahan secara sempurna. Ia terus mundur
dan turun tangga sambil bertahan sekuat tenaga. Ketika sampai di tanah, ia
melarikan diri ke sebelah timur, dikejar Datu Museng setengah hati. Karena agak
lelah, panglima perang Sumbawa itu menghentikan pengejarannya, dan mundur
sambil mengatur nafasnya lagi.
Ketika melihat pengejarnya berhenti, Karaeng Galesong
segera memerintahkan lasykar pimpinannya yang ikut lari, agar kembali melakukan
serangan. Mereka dibantu serdadu kompeni yang berdatangan dari segenap penjuru.
Datu Museng terkepung di tempat terbuka. Ia terpaksa
berkelahi laksana kerbau mengamuk. Inilah situasi yang diinginkannya, musuh berkerumun
di sekitarnya tanpa seorang pun yang berani melepaskan tembakan, karena peluru
pasti akan menerpa kawan sendiri.
Mereka mengerubuti Datu Museng seperti kawanan semut
yang memperebutkan sekerat kecil makanan. Keris Matatarampa'na menyambar terus dari
dada yang satu ke dada yang lain. Dan jerit musuh yang jatuh sebelum tewas,
terdengar sambung menyambung.
Tiba-tiba kepungan ketat itu terbuka di bagian barat.
Musuh rupanya sadar, akan banyak korban yang jatuh percuma jika mereka
berkelahi seperti itu. Dibiarkannya Datu Museng lolos ke pantai. Tapi sebelum
panglima perang sakti itu mundur ke pantai, ia sempat merampas dua pucuk bedil
dari serdadu kompeni.
Sambil mengatur kembali nafasnya, ia bertahan di bawah naungan leleri (tanaman merambat yang tumbuh di tepi pantai), di samping pohon dende-dendeya (pohon yang kembangnya berduri dan bergulir jika ditiup angin). Di sanalah ia terus menembaki musuh sambil sebentar-sebentar berguling ke tempat lain untuk menghindari salvo yang dapat membahayakan ketahanan tubuhnya. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya: