TOLAK PERDA. Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Provinsi Sulawesi Selatan menyatakan menolak Perda Perlindungan Guru Kota Makassar yang baru saja disahkan DPRD Kota Makassar. Penolakan itu disampaikan pada aktivis di kantor Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan, Jalan AP Pettarani, Makassar, Jumat, 05 Agustus 2022.
-----
Selasa, 09 Agustus 2022
Koalisi
Masyarakat Sipil Sulsel Tolak Perda Perlindungan Guru Kota Makassar
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Sejumlah aktivis yang tergabung dalam
Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Provinsi Sulawesi Selatan menyatakan menolak Perda
Perlindungan Guru Kota Makassar yang baru saja disahkan DPRD Kota Makassar.
Penolakan itu disampaikan
pada aktivis di kantor Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan, Jalan AP
Pettarani, Makassar, Jumat, 05 Agustus 2022.
“Guru itu bukan kelompok
rentan, berbeda dengan anak yang secara psikis, fisik, dan sosial mesti
dilindungi untuk menjamin tumbuh kembangnya,” tegas Ketua Lembaga Perlindungan
Anak (LPA) Sulawesi Selatan, Fadiah Machmud, yang memimpin pertemuan.
Para aktivis itu kemudian
membuat catatan kritis terhadap substansi Perda Perlindungan Guru Kota Makassar
untuk disampaikan kepada Biro Hukum Setda Provinsi Sulawesi Selatan.
Para aktivis terdiri dari
Fadiah Machmud, LPA Sulsel, Hidayat dari Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib),
Ira Husain dari Institute of Community Justice (ICJ), Umi Lestari dari (Dewi
Keadilan), Itha Karen dari Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Sulsel, dan
Rusdin Tompo, penggiat literasi.
Dalam catatan kritis itu
disampaikan bahwa kebijakan Pemerintah Kota Makassar tentang Perlindungan Anak
telah memberikan capaian yang maksimal. Beberapa kabupten/kota bahkan
terinspirasi dari keberhasilan yang dicapai oleh Kota Makassar.
Capaian yang dimaksud
antara lain telah dicanangkannya Makassar sebagai Kota Layak Anak, sejak tahun
2014. Dengan pencanangan ini, Pemerintah Kota Makassar telah menunjukkan
komitmennya terhadap kewajiban Negara untuk melakukan upaya penghargaan,
pemenuhan, perlindungan dan pemajuan terhadap hak-hak anak.
Bahkan, pada pertengahan
tahun 2022, Kota Makassar telah meraih penghargaan sebagai Kota Layak Anak
kategori Nindya oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KemenPP) RI.
Pemeringkatan ini
merupakan indikator capaian kebijakan perlindungan anak. Salah satu indikator
KLA yang menunjukkan kemajuan signifikan adalah terbentuknya Sekolah Ramah Anak
(SRA) di sejumlah sekolah. Kondisi ini tentunya kontradiktif dengan disahkannya
Perda Perlindungan Guru.
Berdasarkan hasil kajian yang
dilakukan para aktivis, mereka menolak Perda Perlindungan Guru Kota Makassar dengan
beberapa alasan.
Pertama, secara
Filosofis, Sosiologis dan Yuridis Perda Perlindungan Guru bertentangan dengan
spirit, prinsip-prinsip Hak dan Perlindungan Anak, Children Mainstreaming yang dicapai sejauh
ini,
Kedua, materi Perda
Perlindungan Guru secara substantif telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya,
antara lain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2008 tentang Guru, serta Kode Etik Guru Indonesia,
Ketiga, secara substansi,
Perda Perlindungan Guru tidak sejalan dengan sinkronisasi peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yang terkait dengan Perlindungan Anak
Keempat, Perda
Perlindungan Guru bertentangan dengan
semangat harmonisasi dan Implementasi kebijakan Kota Layak Anak,
Kelima, Perda
Perlindungan Guru membuat rancu implementasi Sekolah Ramah Anak (SRA). Pada
bagian ini para aktivis sepakat bahwa dalam konteks SRA, dan sekolah pada
umumnya, maka tanggung jawab perlindungan anak justru berada di pundak guru.
Adanya catatan kritis ini
mengindikasikan Perda Perlindungan Guru memiliki sejumlah kelemahan sehingga
diminta untuk dilakukan uji legislasi. (rt)