----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 02 Agustus 2022
Sulsel
Butuh Pemimpin Yang Paham Seni-Budaya
Oleh:
Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan)
Ahad malam, 31 Juli 2022,
saya menghadiri acara budaya bertajuk “Sipakatau” di Istana Jongayya. Makassar.
Prof A Halilintar Latif, selaku Ketua Penyelenggara, meminta saya membacakan
puisi bertema kesejarahan, bersama aktor panggung lainnya seperti Ahmadi
Haruna, Ishakim Art, Anil Hukma, dan Syahrir Rani DaEng Nassa.
Suasana malam itu cukup
akrab. Banyak undangan yang sempat hadir, utusan bekas kerajaan masa lalu,
komunitas adat, pemuka agama, seniman dan budayawan. Umumnya mereka berbusana adat
Bugis-Makassar.
Prosesi setiap acara
ditingkahi musik tradisional dan dipandu oleh MC dengan retorika Bahasa
Bugis-Makassar. Ada ritual adat, seperti “mattompang” (mensucikan) benda-benda
pusaka kerajaan. Ada pula doa lintas agama, parade puisi, dan pidato
kebudayaan.
Sesekali terdengar
teriakan heroik dan tepuk tangan di sela-sela pidato kebudayaan yang
disampaikan oleh Andi Muhammad Bau Sawa Mappanyukki (Pangdam XIV/ Hasanuddin),
cucu Andi Mappanyukki, Raja Bone ke-32, ahli waris Istana Raja di Jongayya-Makassar.
Satu hal yang penting
dicatat, bahwa acara budaya malam itu, bolehlah disebut sukses. Walaupun ada
keraguan, khususnya di pikiran saya, bahwa itu hanyalah pengulangan cubitan
masa silam. Ya, seakan kita tercubit kembali oleh statemen-statemen politik
budaya di tahun-tahun berlalu.
Terus terang, saya sering
mual (baca: bukan muak) apabila mendengar istilah “sipakatau”. Apalagi jika
istilah itu meluncur dari mulut orang-orang yang, di masa lalu, hidupnya
glamour di bawah ketiak penguasa.
Sekarang ini saya masih
mual, belum sampai ke titik muak. Dan, tentu saja, istilah “sipakatau” sebagai
tematik gerakan budaya malam kemarin, bukanlah sesuatu yang akan menawarkan
rasa muak di hati rakyat.
Ada keyakinan, bahwa di
konsep ideologi Panitia Penyelenggara dengan pembukaan acara dilakukan di
Istana Jongayya, terpendam cita-cita yang mulia. Sebuah harapan manusiawi,
produk pemikiran leluhur Bugis-Makassar yang tergali dari konsep “sipakatau.”
Dalam orasi
kebudayaannya, Andi Muhammad Bau Sawa Mappanyukki sempat mengurai bahwa
terminologi “sipakatau” adalah bahasa Bugis dan Makassar yang bermakna saling
memuliakan antar sesama manusia. Ini penanda bahwa filosofi “sipakatau”
menghadirkan interaksi kemanusiaan berupa komunikasi tiga arah, antara
pemimpin, rakyat dan Tuhan.
Rakyat mewujudkan konsep
luhur “sipakatau” dengan memilih pemimpin yang dinilai amanah menjalankan tugas
pemerintahan. Pemimpin, menjabarkan ideologi “sipakatau” dengan memenuhi
janji-janji politik atas kebutuhan rakyatnya.
Amanah dan janji-janji
adalah konsepsi Ilahiyah yang wajib dipertanggungjawabkan manusia (baca:
pemimpin dan rakyat) di hadapan Tuhan. Hakikat “sipakatau”, sesungguhnya,
adalah saling menempatkan posisi manusia sebagai khalifah, wakil Tuhan di atas
bumi, dengan perspektif amanah dan tanggung jawab yang mulia.
Nah, jika demikian, lalu
apa kaitan antara tema “sipakatau” dengan “politik budaya”? Tentu Prof Halilintar
Latif, selaku Ketua Penyelenggara Gerakan Budaya malam itu, memiliki referensi
yang lengkap untuk menjawabnya.
Bagi saya, dan mungkin
mewakili seniman-budayawan Sulsel juga, ideologi “sipakatau” sangat indah dan
tepat menjadi slogan keruhanian untuk memanusiakan manusia. Terhadap konsep
pemimpin seperti ini, tentu kita sangat mendukungnya.
Yang saya tidak setuju,
jika slogan “sipakatau” kembali mencubit masa silam rakyat hingga mual, dan
bahkan mencapai stadium puncak, yaitu: muak.
Politik budaya sering
membuat rakyat menyesal, termasuk menyesali sikap pembiaran para pemimpin terhadap
seniman yang kehilangan panggung tanpa pembinaan. Atau menyesali tumpukan situs
masa silam yang terbengkalai oleh ketidakpahaman pemimpin terhadap filosofi
sejarah dan budaya bangsanya.
Karena itu, ke depan,
Sulawesi Selatan membutuhkan pemimpin di semua level (baca: Gubernur, Walikota
dan Bupati) yang memahami seni-budaya. Semoga. ***
Makassar, 01 Agustus 2022