-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 12 September 2022
OPINI SASTRAWI
Kapolri, Sambo Bukan Homo Terorisme
Oleh:
Maman A Majid Binfas
(Akademisi, Sastrawan,
Budayawan)
Homo
sodomi merupakan sebuah perilaku manusia bersifat kelainan jiwa yang
melakukan pelecehan seksual melalui anus, dan bisa juga dikategorikan sebagai
seks anal gaya binatang.
Sifat homo kebinatangan
ini, sebenarnya juga tidak pernah dicontohin oleh binatang bersodomi.
Namun, kebiasaan binatang memang ditakdirkan bergaya hubungan badan
demikian, tetapi tidak melalui anus, baik pada yang berbeda atau sesama
jenisnya.
Lalu, kelainan dicerminin
oleh karakter yang berhomo sodomi, termasuk sensansi diksi “jeruk makan jeruk”
atau polisi tembak polisi. Bahkan, mungkin tidak terlalu keliru, manakala juga
kawin dengan sesama jenis, dan itu hampir sama diidentkkan pemaknaannya.
Termasuk juga di dalam
goresan ini, semua beridentikan pada makna homoseksual yang menyimpang,
dikarenakan logika sungsang atas nama hak asasi dalam demokrasi keliaran yang
sungguh bringasan melebihi animal sekalipun.
Dikarenakan kebringasan,
kesannya sehingga sungguh menakutkan oleh siapapun. Bahkan, Kapolri juga
terkesan terbata-bata saat penyampaian, __untuk menonaktifkan Ferdy Sambo
berbintang dua dan menghabisi ajudannya di rumah dinasnya. Ternyata, berkaitan
kekuasaan dilumatkan pada Ferdy Sambo melebihi Rambo dalam layar lebar,
sebagaimana dikutip Antara/Akbar Nugroho Gumay dalam Warta Ekonomi, Jakarta
11/9/2022, sbb.
“Kapolri Jenderal Listyo
Sigit mengakui Ferdy Sambo punya pengaruh besar sehingga penyidik
ketakutan saat mengusut kematian Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J.”
Hal ini lantaran jabatan
Kadiv Propam yang melekat pada Ferdy Sambo membuat dia memiliki kekuatan besar.
Pertanyaan, kenapa bisa
demikian? Berarti selama ini, manakala tidak diviralkan dan diketahui oleh
publik, maka rambo kekuasaan padanya telah meraja, bahkan mungkin kebringasan
melebihi itu, selain kepada Brigadi J. _dimaksudkan.
Tidak terlalu keliru
manakala publik, dan pengamat memaknai secara bebas tentang dugaan dan motif diidentikkan
kepada F Sambo, dkk, juga kepada Polri selama ini, terkhusus pada Densus 88
berhingga 303, KM 50 dll. Belum lagi, peran komandan merah putih dan hitam
kelam nasib bagi kaum diduga diterorismekan dan diradikalismekan yang
dikesankan selama ini.
Semoga kesan homo sodomi
di atas, tidak terjadi dialamatkan kepada personaliti, dan terlebih di dalam
tubuh secara institusi Polri. Maka, jangan dibiasakan pula ditutupi dengan
gumpalan kegelapan. Nanti juga akan menghanguskan, baik diri dan keluarga
maupun secara institusi pula__bagaikan senjata makan tuan.
Mungkin dapat berakibat
bah polisi tembak polisi yang sedang viral saat ini. Jelas terjadi, sekalipun
tak diidentikkan dengan terorisme, baik di dalam institusi Polri berperintahan
saat ini.
Keanehan itu nyata
dikarenakan pelakunya bukan orang Islam, maka tidak dianggap sebagai tindakan
terorisme, sekalipun dilakoni di rumah dinas dengan penuh kesadisan__ di luar
batas kemanusiaan melebihi tindakan terorisme dikesankan selama ini, baik oleh
Pemerintah di sini maupun Baratisme menghomokadalismenya.
Bahkan para pelakonnya
juga yang berseragam bintang Pacasilais berketuhanan diyakininya, tetap saja
gelap gulita terpanen. Ya, syukurlah pelakunya bukan Islam, andaikan ya, maka
tentu tertuduh terorisme bertuan dipanen juga __ hentakan gumamnya sopir grab
saat itu.
Walau, hentakan gumamnya
sopir tersebut, mungkin terkesan sepele, namun sungguh dahsyat maknanya,
sungguh menusuk dan menampar temperamen perilaku aparat pemerintah selama ini.
Selama ini, terkesan
hanya berdagelan tempramen premanisasi dan juga sensasi menghinati amanat
diembannya. Padahal amanat itu diemban dan esensinya mereka mestinya menaungi
rakyatnya bah pohon thuba di surga firdausin. Gumamnya supir grab bagaikan
sindiran, sebagaimana orang Badui bertanya kepada Nabi Muhammad SAW mengenai
pohon di surga.
Kemudian,
Rasulullah Saw menjawab, yang artinya:
“Ada. Di surga ada sebuah
pohon bernama Thuba.”
Pohon thuba itu selalu
menaungi surga Firdaus. Insya Allah akan dipanen dengan pelita cahaya terang
berbintang tanpa gelap gulita bah penghianatan amanah yang tersistematis di
dunia ini.
Tentu, kesan di atas ini,
jangan pula dianggap lebay terlalu berlebihan oleh tuan pemerintah yang lagi
nikmati berkuasa. Namun, kesan ini menjadi tanda cinta, agar kiranya tuan-tuan
tetap dicinta. Sebagaimana para pemimpin telah tulus mencintai rakyat dan
negerinya berhingga kini dikenang jua. Dikarenakan mereka mengedepankan
kesucian pikiran yang berakar hatinurani.
Berakar logika yang
diyakini tulus, guna menghindari kesan sungsan gaya sodomi. Harapan kami tetap
pada akar hatinurani, dan semoga
Tuan bertuankan kata hati
berakar cinta demi kita
Negeri Indonesia
tercinta.
Dan kepada Kapolri, kini
atas keterbukaannya sebagaimana disarankan oleh Presiden Jokowi__ mesti juga
dijempolin, manakala nanti dapat diwujudkan berhingga hukum mati bukan lagi
dikesan angin surga.
Bahkan begitu juga kepada
siapa saja __termasuk, pemerintah Jokowi yang bertautan hingga akar
rumput. Harapannya, semoga masih punya mata batin bernurani berhingga husnul
khotimah tanpa tembakan homo sodomi yang berakhir su’ul khotimah.
Wollahu 'alam
Uhamka Press, Jakarta
tetap Jaya__