-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 01 Oktober 2022
Obituari
Usdar Nawawi (5-habis):
Menerbitkan
Tabloid Bugis Pos, Majalah Mitos, dan Buku Esai “Ngopi Rong”
Oleh:
M Dahlan Abubakar
(Wartawan)
Tahun 1996, Usdar keluar
dari Bina Baru dan menjadi Wakil Direktur Makassar Promo, anak perusahaan Fajar
yang bergerak di bidang promosi (1996-1997), lalu pindah ke PT Maupa Utama
milik Fajar Group (1997-1998) sebagai GM. Perusahaan ini bergerak di bidang
perpajakan, tapi kemudian gulung tikar.
Usdar kemudian mencoba
keluar dari Fajar Group dengan membuat surat kabar sendiri, yakni Tabloid
BugisPos, tahun 1999. Saat itu, izin terbit berupa SIUPP (Surat Izin usaha
Penerbitan Pers) sangat mudah diurus, maka bagi Usdar, tak ada salahnya ngurus
SIUPP.
“Kalau punya koran
sendiri, tak ada yang bisa memecat, kecuali Tuhan. Memecat diri sendiri juga
bisa, dengan cara buang handuk bila sudah tak mampu terbit,” kata Usdar, sambil
ketawa.
Di akhir tahun 2009,
Usdar yang punya kawan banyak dari dunia paranormal, tertarik memanfatkan
mereka untuk membuat majalah khusus dunia gaib. Ternyata berhasil. Desember
2009, majalah yang diberi nama MITOS setebal 64 halaman tersebut, telah terbit.
Dan ternyata sangat diminati banyak pembaca. Cuma saja pada setiap wartawan
MITOS membuat berita tentang dunia gaib, pasti bulu kuduk pada merinding.
Edisi perdana MITOS,
antara lain berhasil mengungkap misteri Makam Tujua Karebosi. Padahal, sejak
berabad-abad lamanya, tak ada yang bisa mengungkap rahasia di makam yang berada
di tengah lapangan Karebosi tersebut.
Dalam Lontara Kerajaan
Gowa sekalipun, tak ada penjelasan yang cukup soal Tujua di Karebosi. Tapi
kemudian Majalah MITOS di tangan Usdar yang berhasil mengungkapnya.
Dengan perjalanan panjang
Usdar Nawawi menjadi wartawan selama 30 tahun, rupanya ada yang terlupa. Dia
lupa menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Unhas. Dia aktif kuliah cuma
sampai tahun 1993.
Selebihnya, dia mencari
penghidupan di dunia jurnalistik, dan membiayai istrinya, Putriani Etna, yang
kuliah di Fakultas Sospol Unhas. Sekarang, sang istri tercinta yang bekerja di
lingkup Pemkot Makassar, sudah memberinya empat anak, yakni Ahmad Ainul Yaqin,
Dewi Musfira, Dzill Ihzani (almarhumah), dan si bungsu, Ahmad Nurul Haq. Ketiga
putra Usdar ini sudah bekerja di kantor pemerintah.
“Saya tak ingin anak-anak
saya jadi wartawan. Takutnya mereka tak mampu menderita. Jadi wartawan, harus
siap menderita. Kalau jadi wartawan, jangan mimpi jadi kaya. Hanya sedikit
wartawan yang kaya di Indonesia. Di Sulsel, hanya Alwi Hamu yang kaya, itu pun
bukan karena dia wartawan, tapi karena dia pengusaha media,” kata Usdar.
Hanya saja, katanya, kalau
sudah terlanjur jadi wartawan yang benar, maka akan menjadi candu. Sangat sulit
meninggalkannya. Enaknya juga banyak. Wartawan bisa ke mana-mana, bisa menemui
siapa saja, dan mudah berkomunikasi dengan banyak orang. Terhadap pejabat,
apalagi. Berkenalan dengan mereka tak terlalu sulit, antara lain karena mereka
banyak yang senang dipublikasikan.
Ada juga yang mau kenalan
dengan wartawan, supaya tidak dikritik kerjanya. Tapi kadang juga ada pejabat
yang sulit ditemui wartawan, misalnya kalau lagi bermasalah. Mereka banyak yang
menghindari wartawan.
Ketika Usdar pertama
masuk ke Unhas, dia ditanya oleh seorang seniornya:
“Coba jawab, apa definisi
wartawan?”
Usdar tidak tahu, tak
bisa menjawab. Sambil tersenyum sang senior pun berkata:
“Wartawan ialah, sejenis
mahluk yang selalu mau gratis.”
Usdar menyelesaikan
pendidikan dasar di Bulukumba tahun 1971. Dia kemudian melanjutkan studinya ke
SMEP Negeri di kota yang sama tahun 1974. Mestinya, dari SMEP sambungannya yang
pas adalah SMEA. Tetapi, dia malah masuk ke SMA Negeri 1 Bulukumba dan tamat
tahun 1977. Tahun berikutnya, dia diterima sebagai mahasiswa bebas tes di
Fakultas Hukum Unhas.
Modal pengetahuannya
sebagai wartawan diperoleh melalui Pendidikan Dasar Pers Mahasiswa di Fakultas
Hukum Unhas tahun 1981. Setelah berkiprah sebagai wartawan, dia mengikuti
Orientasi Kewaspadaan Nasional (Orpadnas) yang digelar PWI Cabang Sulsel (1988).
Kemudian ikut Karya Latih
Wartawan (KLW) Tingkat Dasar dan KLW Tingkat Lanjutan antara Agustus dan
September 1995.
Dia juga mengikuti Pekan
Orientasi Komunikator Semangat dan Nilai-nilai
45, Mei 1996, Ujungpandang, Penataran P4 Pola 45 Jam Bagi Wartawan
Anggota PWI Sulsel, 4-9 Maret 1996, di
Ujungpandang, Penataran P4 Calon Penatar Tk.I Sulsel, 9-24 Desember 1996,
Ujungpandang.
Usdar termasuk salah
seorang wartawan yang organisator. Seabrek organisasi pernah digelutinya.
Misalnya, sebagai Ketua Umum Remaja Emmy Saelan Makassar (1981-1984), Sekum
Ikatan Pemuda Penulis Indonesia (IPPI) Makassar (1979-1983), Sekretaris II
Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Bulukumba (IPMAH) Makassar (1982-1986).
Pengurus Pleno Bidang Hukum dan Hankam PWI Sulsel
(1997-2001), Ketua Umum Perhimpunan Pekerja Pariwisata Makassar (P3M) tahun
2000-2005.
Ketua Umum AUHM Kota
Makassar (2002-2007), Satgas Pers Golkar pada Pemilu 1987, Anggota Bappilu
Golkar Ujungpandang (1997), Sekum Pemuda Justitia Sulsel (1994-1999).
Ketua I Kerukunan
Keluarga Bulukumba (KKMB) Makassar (1994-2002), Sekretaris II FKBM Makassar
(2003-2008), Wakil Ketua II Generasi Penerus Bangsa (GPB) Makassar (2003-2008),
Ketua PPK Kec,Manggala Makassar (2004), Ketua Bidang Hukum dan HAM PWI Sulsel
(2006-2010), dan Ketua ARKES Kota Makassar (2005-200).
Usdar Nawawi sudah
melakukan perjalanan jurnalistik antara lain ke Singapura dan Malaysia (1994)
dan keliling Jawa dan Bali pada tahun berikutnya.
Sahabat kita, Usdar
Nawawi telah tiada. Yang tertinggal buat para sahabatnya hanyalah “Ngopi Rong”,
seratus esai karyanya yang sudah menjadi buku. Selamat jalan Sahabat, Anda
telah ikut memberi warna yang khas bagi jagat wartawan di daerah ini.
---
(Artikel ini diambil dari buku, “Menerobos Blokade Kelelawar Hitam” 2010, oleh M. Dahlan Abubakar)
Artikel sebelumnya:
Menghidupkan Koran Bina Baru Yang Kemudian Berubah Menjadi Harian Beritakota Makassar
Wartawan Menyamar Jadi Tamu Warung Remang-remang
Usdar Nawawi Jadi Wartawan Mimbar Karya dan Tugas Pertama Meliput KUD Mattirobulu Bulukumba
Usdar Nawawi: Membuat Majalah Kampus dan “Berpolemik” tentang RRI di Pedoman Rakyat