-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 13 Oktober 2022
Hak Inisiatif DPR Dapat
Melumpuhkan MK Seperti UU KPK
Oleh: Achmad Ramli
(Pengamat Politik)
Betulkah DPR akan
melakukan revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu?
Untuk siapa dan siapa yang berkepentingan dari desakan revisi UU MK tersebut?
Sebagai lembaga
legislatif, DPR merencanakan revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
(MK), menjelang Pemilihan Umum (pemilu) tahun 2024. Hal yang sama juga pernah
dilakukan oleh DPR ketika melakukan revisi terhadap Undang-Undang KPK yang juga
memjelang Pemilu tahun 2019 yang lalu.
Ternyata DPR tidak
menjadikan KPK makin kuat sebagai Lembaga independen yang bertugas untuk
memberantas kasus korupsi sesuai “Misi KPK, yaitu; Bersama masyarakat
menurunkan tingkat korupsi untuk mewujudkan Indonesia maju.”
Dimana KPK sebagai lembaga
independen, seharusnya bebas dari pengaruh kekuasaan apapun dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya. Dampak dari revisi UU KPK tersebut, justru menjadikan lembaga
anti rasuah tersebut terjun bebas dan publik menilai DPR sukses melumpuhkan
KPK.
Sebagaimana gugatan
terhadap “revisi UU KPK” dilayangkan karena proses pada pembentukannya diduga
cacat prosedur. Beleid itu juga dianggap mengandung sejumah poin krusial.
Dimana beberapa pasal diduga bermasalah dan justru melemahkan lembaga
anti-rasuah tersebut. Contoh, adalah Pasal 46 UU KPK lama disebutkan bahwa
pemeriksaan tersangka oleh KPK merujuk pada ketentuan UU KPK.
Namun dalam UU baru,
pasal itu diubah dan pemeriksaan tersangka merujuk pada ketentuan yang ada di
kitab hukum acara pidana. Begitu pula jika merujuk Pasal 47 UU KPK yang baru,
kewenangan menggeledah dan menyita harus melalui izin dewan pengawas. Pasal 12B
mengatur penyadapan juga harus melalui izin tertulis dewan pengawas.
Perubahan atau revisi
tersebut menyebabkan UU KPK kehilangan status sebagai aturan yang berlaku
khusus, kemudian dampaknya, “tindak pidana korupsi hukum acaranya, sama dengan
tindak pidana biasa.”
Apakah hal yang sama akan
terjadi pada lembaga Mahkamah Konstitusi? Publik mempertanyakan, kepentingan
apa dan siapa yang berkepentingan perlunya revisi undang-undang MK tersebut.
Untuk mendapatkan jawaban objektif dan rasional, mari kita analisa dari 3
aspek, yaitu; aspek momentum, aspek inisiator, dan aspek kepentingan.
Berdasarkan Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945, tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, antara lain;
menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan hasil pemilu.
Kemudian melalui hak
inisiatif, DPR akan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Dari aspek momentum, Revisi
UU MK dilakukan menjelang Pemilu 2024, momen yang sama ketika DPR melakukan
revisi terhadap undang-undang KPK satu tahun sebelum Pemilu 2019 yang lalu.
Kebetulan kedua kegiatan revisi undang-undang tersebut, dilakukan oleh wakil
rakyat (DPR) pada momen yang sama yaitu, dilakukan sebelum Pemilihan Umum.
Hal ini menunjukkan bahwa
momen tersebut dianggap sangat tepat oleh DPR, sehingga bisa diduga kalau DPR
mengemban kepentingan terselubung atas revisi UU MK tersebut. Lalu kepentingan
siapa yang diperjuangkan oleh DPR? Betulkah kepentingan rakyat yang diwakilinya
atau kepentingan kelompok tertentu.
Selanjutnya aspek
inisiator. Usulan revisi UU MK ini datang dari DPR berdasarkan hak inisiatif
yang dimilikinya, namun perlu diketahui bahwa pengambilan keputusan dilakukan
atas persetujuan dari fraksi-fraksi DPR, sementara fraksi-fraksi tersebut
merupakan perpanjangan tangan dari partai.
Dengan demikian usulan
revisi UU MK pada momen menjelang Pemilu, adalah wujud kepentingan parpol
peserta pemilu melalui kesepakatan kepentingan (politik transaksional).
Rencana revisi UU MK
perlu dipertimbangkan secara moral oleh para legislator, untuk mengedepankan
kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok tertentu, jangan sampai publik
menilai kalau DPR sukses melumpuhkan MK.
Seperti kejadian revisi
undang-undang KPK yang menyebabkan integritas lembaga anti rasuah tersebut
terjun bebas karena telah dilumpuhkan. Adakah kepentingan parpol di balik
revisi UU MK? Sebelumnya, DPR telah melakukan perubahan ketiga UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dimana perubahan tersebut
menimbulkan polemik karena materi muatannya hanya pada aspek syarat usia calon
hakim konstitusi, masa pensiun, dan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK yang
dinilai tidak menjawab kebutuhan Mahkamah Kosntitusi (MK) itu sendiri.
Revisi UU MK juga dinilai
cacat formil karena sejak awal tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) dan tidak memenuhi syarat carry over, yaitu hak untuk menggunakan
anggaran yang tidak dihabiskan selama waktu yang telah ditentukan.
Artinya, lembaga dapat
menggunakan sebagian atau seluruh dari anggaran yang belum dihabiskan dari
alokasi tahun sebelumnya. Demikian juga naskah akademik yang buruk, serta
pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan tidak partisipatif dengan waktu
sangat singkat, yaitu tiga hari.
Oleh karena itu, tim
pembentuk undang-undang tersebut, melanggar empat (4) asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu; (1) asas kejelasan tujuan, (2)
asas daya guna dan hasil guna, dan (3) asas kejelasan rumusan, serta (4) asas
keterbukaan (transparansi).
Kemudian dari aspek
kepentingan. Revisi UU MK pada momen menjelang Pemilu legislatif dan Pilpres
2024, dapat diduga mengandung kepentingan terselubung. Sebab revisi itu tidak
terkait langsung dengan penyelenggaraan Pemilu, melainkan terkait dengan hasil Pemilu
yaitu sengketa hasil Pemilu tersebut.
DPR seharusnya
mengutamakan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, karena UU Pemilu
tersebut banyak menimbulkan kontroversial, khususnya menyangkut Presidential
threshold 20% yang bisa digunakan untuk menjegal hak asasi WNI menjadi Capres.
Ketentuan ambang batas
ini diberlakukan bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh
sekurang-kurangnya 15 persen dari 575 jumlah kursi DPR atau 20 persen dari
perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Dengan demikian,
bercermin dari revisi sebelumnya, rencana DPR melakukan revisi keempat atas
undang-undang MK, akan berpotensi melemahkan dan melumpuhkan MK seperti revisi
UU KPK. Dan dapat diduga kalau DPR telah dimanfaatkan untuk mengokohkan posisi
dan kepentingan oligarki, melalui politik transaksional.
----
Penulis, Drs Achmad Ramli
SH MH, adalah Ketua Dewan Penasehat & Kode Etik Asosiasi Pengawas Sekolah
Indonesia (APSI) Provinsi Sulawesi Selatan, Alumni 92 FH UMI Makassar.