MEMBELOKKAN FAKTA SEJARAH. Sekarang di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, ada upaya terstruktur dan sistematis untuk membelokkan jalan fakta sejarah G30S, dengan menyebarkan informasi menyesatkan bahwa PKI adalah korban.
----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 06 Oktober 2022
OPINI
Kepres
No. 17 Tahun 2022 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Melabrak Undang-Undang
Oleh:
Achmad Ramli
(Ketua Ketua Dewan Penasehat & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel)
Kepres Nomor 17 Tahun
2022 tentang "Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat di Masa Lalu", telah ditanda-tangani oleh Presiden Jokowi
pada tanggal 26 Agustus 2022.
Tugas dari tim yang
dibentuk presiden ini, tertuang dalam pasal 3 (tiga), yaitu; (a) melakukan
pengungkapan dan upaya penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM yang berat masa
lalu berdasarkan data rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM sampai dengan
tahun 2020.
(b) merekomendasikan
pemulihan bagi korban dan keluarganya, dan (c) merekomendasikan langkah untuk
mencegah pelanggaran HAM yang berat tidak terulang lagi di masa yang akan
datang.
Kemudian dalam pasal 4
(empat) bahwa rekomendasi pemulihan meliputi; (a) rehabilitasi fisik, (b)
bantuan sosial, (c) jaminan kesehatan, (d) bea-siswa, dan (d) rekomendasi
lainnya untuk kepentingan korban atau keluarganya.
Salah satu isu beredar
menjadi kekhawatiran publik, adalah; “Pemerintah akan minta maaf kepada PKI dan
akan direhabilitasi hak-hak politiknya termasuk ikut Pemilu dan dapat
kompensasi pengganti social.”
Jika Kepres No. 17 tahun
2022 itu berkaitan dengan G30S/PKI, maka dapat dipastikan bahwa Kepres tersebut
melanggar asas lex superior derogate legi
inferiori, dimana peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih
rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan yang lebih tinggi.
Sebagaimana diketahui,
bahwa Pemerintah RI selama ini menggunakan dua dasar hukum utama untuk
melarang, memberangus, dan mencegah komunisme di Indonesia, yaitu;
Pertama; Ketetapan MPRS
Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan
sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi
PKI, dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran
Komunis/Marxisme- Leninisme.
Dalam pertimbangan TAP
MPRS tersebut, tercantum tiga alasan, yaitu; 1). paham atau ajaran
komunisme/marxisme-leninisme pada hakikatnya bertentangan dengan Pancasila.
2). orang-orang dan
golongan-golongan di Indonesia yang menganut paham atau ajaran komunisme,
marxisme, leninisme, khususnya PKI, dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia, telah
nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintahan yang
sah dengan jalan kekerasan.
3). perlu mengambil
tindakan tegas terhadap PKI dan kegiatan-kegiatan penyebaran atau pengembangan
paham atau ajaran komunisme/marxisme- leninisme.
Ketetapan ini sangat
kuat, karena “secara konstitusional MPR atau lembaga lain tidak dapat
mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966,
sebab saat ini MPR tidak memiliki wewenang untuk mencabut TAP MPR yang dibuat
pada tahun 2003 dan sebelumnya”.
Kedua, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1999 tentang perubahan Kitab-Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan kejahatan terhadap
keamanan negara, sebagaimana tercantum pada pasal 107 pada KUHP, antara lain;
(Pasal 107 d).
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila
sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun.
(Pasal 107 e). Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun : a. barangsiapa yang
mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi,
baik didalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan
maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Menyudutkan
TNI Adalah Pengulangan Sejarah Fitnah
Jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah, “Jasmerah”, adalah judul yang diberikan oleh Kesatuan
Aksi Mahasiswa atas pidato kenegaraan terakhir Presiden Soekarno tanggal 17
Aguatus 1966.
Selanjutnya Pidato
“Nawaksara” yang disampaikan oleh Soekarno pada tanggal 22 Juni 1966 dalam
Sidang Umum ke- IV MPRS sebagai pertanggungjawaban atas sikapnya dalam Gerakan
30 September 1965.
Pidato pertanggungjawaban
Soekarno ini ditolak oleh MPRS dan memberhentikan dari jabatannya sebagai
presiden, selanjutnya MPRS mengangkat Jenderal Soeharto sebagai penggantinya.
Proses pergantian
kepemimpinan ini menandakan lahirnya babak baru pemerintahan yang dikenal
dengan istilah Orde Baru, untuk membedakan dari Orde Lama. Namun yang penting
harus diketahui, bahwa terjadinya pergantian kepemimpinan tersebut disebabkan
oleh dua factor, yaitu; atas desakan tuntutan rakyat melalui tiga untutan
(Tritura), serta dugaan kecurigaan mahasiswa Bersama rakyat atas sikap
keragu-raguan Soekarno mengambil tindakan dalam menyikapi G30S, sehingga dengan
terpaksa presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supesemar).
Sikap pembiaran dan sikap
pembenaran atas gerakan 30 september tersebut, Soekarno diduga melindungi PKI
atas gerakannya. Hal ini bisa dibaca bahwa seakan-akan Presiden membenarkan fitnah dan tuduhan PKI kalua
didalam tubuh TNI-AD ada kekuatan yng disebut "Dewan Jenderal", yang
merencanakan kudeta untuk mengambil alih keluasaan dari tangan Soekarno. Dan
dengan alasan fitnah inilah PKI seperti mendapat respon untuk melancarkan
serangan tengah malam untuk melakukan penculikan hidup atau mati terhadap
perwira TNI-AD yang difitnah sebagai “Dewan Jenderal “.
Sekarang di bawah kepemimpinan Joko Widodo, ada upaya terstruktur dan sistematis untuk membelokkan jalan fakta sejarah G30S, dengan menyebarkan informasi menyesatkan bahwa PKI adalah korban. Caranya dengan menyebarkan informasi publik berdasarkan analisis subjektif berupaya meyakinkan publik, kalau Mayjen Suharto bersama TNI-AD merencanakan melakukan kudeta melalui “Dewan Jenderal”. Sehingga dengan fitnah Dewan Jenderal tersebut, PKI berupaya menggagalkan rencana kudeta itu melalui Gerakan 30 September 1965.
Bahkan salah seorang
politikus partai, akan menggugat TNI-AD atas pelanggaran berat di masa lalu berkaitan
dengan G30S itu.
Oleh sebab itu, rakyat
Indonesi harus hati-hati karena melalui pemutarbalikan fakta sejarah sekarang,
dapat diduga sebagai gerakan mengulang kembali sejarah fitnah dimasa lalu, guna
mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat. Simpati dan dukungan itu terkait
legalitas standing organisasi PKI di masa sekarang dan akan datang.
Gugur
Dengan Sendirinya
Dari aspek yuridis
formil, “ Jika Kepres Nomor 17 tahun 2022 berkaitan dengan pemulihan PKI, maka
hal itu melanggar asas lex superior derogate legi inferiori, karena
bertentangan dengan dua peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
kedudukannya”. Yaitu TAP MPRS No. XXV tahun 1966 dan UU No. 27 tahun 1999.
Oleh karena itu Keputusan
presiden tersebut harus dikesampingkan dan gugur dengan sendirinya demi hukum
yang lebih tinggi.
Kemudian dari aspek sosial
, G30S/PKI merupakan satu bentuk penindasan yaitu, suatu kekerasan, ancaman,
atau paksaan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain
yang menimbulkan ketidak seimbangan kekuasaan social atau orang lain.
Secara historis
pembubaran PKI dan ormas-ormasnya serta pelarangan paham dan ajaran
komunis/marxisme-lenimisme, bukanlah kebijakan Pemerintah Orde Baru semata,
lebih-lebih bukan tuntutan dan kebijakan TNI-AD. Akan tetapi atas desakan dan
tuntutan rakyat banyak saat itu melalui 3 tuntutan rakya (Tritura).
Adapun latar belakang
dari Tritura tersebut, yaitu; Pertama; mengenai pembubaran PKI, hal ini
disebabkan oleh lambannya pemerintah mengambil sikap menindak tragedi berdarah
G30S 1965 yang dituduhkan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan D.N.
Aidit.
Ketika aksi gelombang
demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah tidak segera
mengambil tindakan. Keadaan negara Indonesia sudah sangat parah, baik dari segi
ekonomi maupun politik. Harga barang naik sangat tinggi terutama bahan bakar
minyak (BBM).
Oleh karenanya, pada
tanggal 12 Januari 1966, KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan aksi yang tergabung
dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura tersebut. Empat bulan
setelah penculikan dan pembunuhan para petinggi Angkatan Darat yang dituduh
sebagai “Dewan Jenderal”, Ir. Soekarno selaku Presiden RI masih juga bimbang
untuk mengambil keputusan tegas, padahal gelombang pergerakan masyarakat telah
meluas karena geram dengan sikap presiden tersebut.
Kedua; tuntutan terhadap
perombakan Kabinet Dwikora muncul karena pemerintahan Ir. Soekarno dianggap
tidak becus mengendalikan goncangan terhadap stabilitas nasional, khusnya
stabilitas social ekonomi yang sedang mengalami penurunan drastis.
Perombakan Kabinet
Dwikora juga dituntut karena di tubuh kabiner tersebut terdapat orang-orang PKI,
padahal sebagian besar masyarakat saat itu menghendaki dibersihkannya
orang-orang PKI yang masih bercokol di dalam Kabinet Dwikora.
Ketiga; tuntutan turunkan
harga disebabkan karena kesalahan fatal kebijakan ekonomi saat itu, dimana
Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 27 tahun 1965, untuk
mengatur kembali mata uang rupiah yang diumumkan pada tanggal 13 Desember 1965.
Akumulasi dari berbagai
masalah tersebut menjadikan masyarakat kian geram, akhirnya pada tanggal 10
Januari 1066 ribuan mahasiswa bergerak ke arah Gedung Sekretariat Negara untuk
memprotes ketidakstabilan negara, dan menyuarakan tiga tuntutan rakyat
(Tritura) tersebut.
Dengan demikian “tidaklah
pantas Pemerintah minta maaf kepada PKI serta akan merehabilitasi hak-hak
politiknya termasuk ikut pemilu dan medapatkan hak kompensasi pengganti sosial,
karena pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, serta larangan mengembangkan paham
dan ajaran komunis/marxisme-lenimisme adalah tuntutan dan keputusan rakyat
melalui Tritura”, dan bukan keputusan Pemerintah Orde Baru maupun TNI-AD.***
…..
Penulis, Drs Achmad Ramli SH MH, adalah Ketua Dewan Penasehat & Kode Etik Asosiasi Pengawas Sekolah/Madrasah Indonesia (APSI) Provinsi Sulsel. Alumni Fakultas Hukum 92 UMI Makassar