-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 31 Oktober 2022
Jejak Sastrawan Sulsel
(Bagian 5):
Mochtar Pabottingi: Karaeng,
Darah Yang Harus Terbaca
Oleh: Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan, Kritikus Sastra)
Kata Pembuka
Di Sulawesi Selatan,
khususnya daerah Bugis-Makassar, ada gelar kebangsawanan yang disebut Karaeng.
Tidak jelas asal-usul istilah itu. Namun sebuah desas-desus yang, boleh jadi
mitos, mengatakan bahwa Karaeng berasal dari bahasa Arab.
Konon, di awal Islamisasi
kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke-16 Masehi, pedagang yang juga ulama dari Arab
menghadap Raja. Terjadi dialog di antara mereka. Pimpinan rombongan yang
berbicara langsung dengan Raja sering terlihat manggut-manggut, seraya dari
mulutnya keluar kalimat: “Ya, karim.”
Ucapan “Ya, karim” ini
bermakna semiosis meng-iya-kan sesuatu, yang artinya: “baik, yang mulia”. Dari
frasa inilah terjadi proses morfofonemik, menyesuaikan karakter bahasa
Makassar, menjadi “Yo’, Karaeng.”
Narasi di atas hanya
sekilas pengantar memasuki gagasan puitik Mochtar Pabottingi, seorang sastrawan
nasional asal Sulawesi Selatan.
Di masyarakat luas,
lelaki kelahiran Bulukumba, 17 Juli 1945, tidak banyak dikenal sebagai
sastrawan. Kehadirannya sebagai peneliti ahli di satu lembaga ilmiah terkemuka
di Indonesia, seakan menutupi kreativitas seninya di bidang penulisan sastra.
Di kalangan budayawan,
Mochtar dikenal sebagai penyair “suara alam sunyi”. Belum jelas mengapa ia
berjuluk seperti itu. Boleh jadi karena puisinya berjudul “Suara-suara”
(Jakarta 1986) yang selalu mengusik dirinya di rahim malam (?).
Selain Peneliti Utama di
LIPI dan Analis Politik terkemuka di negeri ini, Prof Dr Mochtar Pabottingi
juga seorang pengarang yang kreatif menulis puisi, cerita pendek, dan esai di
berbagai media cetak.
Terakhir ia menulis buku
otobiografi berjudul “Burung-burung Cakrawala” (Gramedia, 2013). Buku ini
berkisah tentang dirinya, sejak kecil di salah satu kampung bernama
Barebba-Bulukumba Sulsel, hingga menyelesaikan pendidikan di Luar Negeri
(University of Hawaii Amerika Serikat, 1991).
Puisi “Karaeng”
Salah satu puisi Mochtar
Pabottingi berjudul “Karaeng” ingin saya bicarakan di sini. Puisi tersebut
ditulis di Honolulu, 1986, dan saya petik dari buku “Lima Puluh Seniman
Sulawesi Selatan dan Karyanya”, terbitan Disbudpar Sulsel, 2005, penyusun
Yudhistira Sukatanya. Puisi ini
terbilang panjang, sebagai berikut:
KARAENG
I
Karaeng tegak di hulu
kapalnya
Memandang ke ufuk yang
gemetar
Oleh riuh badai. Di balik
samudera
Dilihatnya dasar
gelombang
Yang berpacu
Didengarnya lagu darah
Yang mengembangkan
layar-layar pinisi
Hingga ke pantai-pantai
asing
Hingga ke benua-benua
yang jauh
Dibiarkannya laksana kata
yang meletup-letup di sekitarnya
Bagai gelembung-gelembung
pecah
Dia rindu pada kata
Yang menampakkan wajahnya
Seperti nama leluhurnya
yang tewas di ujung tangga
Seperti nama leluhurnya
yang ditebas batang lehernya
Seperti nama leluhurnya
yang bersemayam di balai palangnya
Dia rindu pada kata
Yang masih setia
Leluhurnya tidak
memperalat kata
Tidak menunggangi kata
Tidak memantra kata
Jadi sampah. Bersama
dirinya
II
Karaeng tegak di hulu
kapalnya
Memandang ke ufuk yang
gemetar
Oleh riuh badai. Di balik
samudera
Setelah kilat dan gelegar
Setelah pengembaraan di
tujuh benua
Dia tak memerlukan gita
Untuk jadi nyata
Dia perlu jadi partha
Darah yang menggenggam
tubuhnya adalah sisa murni
Setelah harga dikukuhkan
Setelah sele' dan kawali
Setelah leluhur menatap
wajah sejarah yang dahsyat
Di depan armada Kompeni
Yang menikamkan keris
saudara-saudaranya sendiri
Dan darah pun mengalir ke
sepanjang Tanah Jawa
Di sepanjang Malaka dan
Sumatra
Di mana-mana ia memberi
kehidupan
Harganya yang sebenarnya
III
Hanya yang berdarah
berhak berkata
Sebab hanya dengan darah
kehidupan ditegakkan
Secara terhormat
Hanya dengan darah
kehidupan mereka
Dan mengalir bukan
sebagai buih
Atau barang rongsokan
Pada waktunya
Darahnya akan mengalir
pada lembar-lembar buku
Pada puncak-puncak gunung
Pada tanah-tanah
persawahan
Pada pabrik-pabrik yang
gemuruh
Pada taman-taman bunga
Pada medan-medan baja
Pada bunyi dan gerak
Pada bintang-bintang
Yang selalu dibaca
leluhurnya
Maka Karaeng menengok
kembali ke samudera
Yang bergolak dalam
tubuhnya. Menangkap sayup denting musim
Sebab hari kian tak
pasti.
-Honolulu,1986-
Struktur puisi ini cukup
panjang. Terdiri dari tiga bagian. Masing-masing bagian berbicara sesuai amanah
yang dititipkan oleh penyairnya. Bagian I, penyair menggarisbawahi makna
filosofi Karaeng sebagai konsep diri manusia yang mulia (Al karim),
berkarakter, berani dan jujur. Karaeng, di mata penyair, adalah nakhoda di laut
lepas, tegak di anjungan memandang masa depan yang penuh optimisme.
Dalam perspektif
kehidupan modern, analogi Karaeng bermakna pemimpin atau tokoh penting di
tengah masyarakat. Mari kita simak salah satu bait dari Bagian pertama puisi
tersebut:
“Dia rindu pada kata/
Yang masih setia/
Leluhurnya tidak
memperalat kata/
Tidak menunggangi kata/
Tidak memantra kata/
Jadi sampah/ Bersama
dirinya ..."
Penyair menekankan makna “kata”
di bait puisinya. Seakan puisi di atas ingin berbicara kepada kita bahwa harga
diri di balik nama besar seorang Karaeng adalah perilaku istiqamah: satunya
kata dengan perbuatan.
Leluhur para Karaeng
sangat pantang memanipulasi kata-kata. Bagi seorang Karaeng, setia pada
kata-kata adalah sumpah. Dan Karaeng (baca: turunan bangsawan, pemimpin, pemuka
masyarakat atau tokoh agama) yang sering memainkan kata-kata menjadi mantra
kemunafikan, hakikatnya adalah sampah.
Darah leluhur yang
mengalir dalam tubuh seorang Karaeng berisi amanah kehidupan yang murni. Amanah
yang lahir dari komitmen kemanusiaan atas nama “sirik na pace” (baca: martabat
dan kepekaan rasa).
Karena itu, di mata
penyair, Karaeng tidak hanya bermakna status dalam konteks strata sosial,
tetapi juga, Karaeng adalah pejuang pembebasan nilai-nilai universal
kemanusiaan dari penjajahan hawa nafsu. Karaeng harus selalu tampil menawarkan “harganya”
untuk kehidupan yang luas.
Pada Bagian II puisinya,
penyair mengangkat nilai kepribadian luhur yang wajib ada di dalam diri seorang
Karaeng, seperti berikut:
“Darah yang menggenggam
tubuhnya adalah sisa murni/
Setelah harga dikukuhkan/
Setelah sele' dan kawali/
Setelah leluhur menatap
wajah sejarah yang dahsyat/
Di depan armada Kompeni/
Yang menikamkan keris
saudara-saudaranya sendiri/
Dan darah pun mengalir ke
sepanjang Tanah Jawa/
Di sepanjang Malaka dan
Sumatra/
Di mana-mana ia memberi
kehidupan/
Harganya yang sebenarnya
... “
Karaeng yang sesungguhnya
adalah darah yang berwujud dalam kiprah manusia. Mochtar Pabottingi tampaknya
amat memahami filosofi agama “khalifatan fil ardhi” pada diri seorang Karaeng.
Darah, dalam visi
penyair, bukanlah sekadar simbolisme derajat manusia di tengah kearifan lokal.
Melainkan, nilai-nilai keberdayaan individu untuk tampil menjadi khalifah
(pemimpin) dan membangun kehidupan secara terhormat.
Di bait awal puisinya
Bagian III, Penyair menulis :
“Hanya yang berdarah
berhak berkata/
Sebab hanya dengan darah
kehidupan ditegakkan/
Secara terhormat ...”
Sebagai analis politik
(secara luas, perspektif kebangsaan), Mochtar Pabottingi tentu tidak kosong
dari ekspektasi masa depan yang diinginkan. Harapan manusiawi penyair
dilekatkan pada keniscayaan sosok Karaeng menjadi darah kehidupan yang lebih
konkret dan universal.
Darah yang hidup dengan
cita-cita. Darah yang mengalir bukan sebagai buih. Atau darah yang membeku
bagai barang rongsokan. Tetapi darah yang dimaksud penyair adalah seperti pada
bait akhir Bagian III puisinya berikut:
“Pada waktunya
Darahnya akan mengalir
pada lembar-lembar buku/
Pada puncak-puncak
gunung/
Pada tanah-tanah
persawahan/
Pada pabrik-pabrik yang
gemuruh/
Pada taman-taman bunga/
Pada medan-medan baja/
Pada bunyi dan gerak/
Pada bintang-bintang/
Yang selalu dibaca
leluhurnya ...”
Kata Penutup
Penyair mengantar
apresiasi kita dengan menghadirkan flashback sesosok Karaeng di bagian akhir
puisinya. Pada dimensi semiotika-kultural inilah Mochtar Pabottingi menitipkan
bahasa kerinduan manusiawinya. Dia menulis di ending “Karaeng” sebagai berikut:
“Maka Karaeng
menengok kembali
ke samudera/
Yang bergolak dalam
tubuhnya.
Menangkap sayup
denting musim/
Sebab hari kian tak
pasti.”
Di “hari kian tak pasti”
ini, pembaca merasa tercubit. Para Karaeng, di level status apa pun namanya,
dituntut turun gunung. Mochtar Pabottingi mengajak para Karaeng agar istiqamah
menghadirkan “darah”-nya untuk kehidupan yang terhormat dan penuh kemuliaan (Al
karim). Darah yang selalu mengalir dan terbaca oleh leluhur (sejarah
peradaban). *
-
Makassar, 30 Oktober 2022