- Badaruddin Amir -
(Sastrawan)
----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 15 Oktober 2022
OPINI SASTRA
Salah Kaprah dalam
Polemik Tentang La Galigo
Oleh: Badaruddin Amir
(Sastrawan)
Polemik tentang “La
Galigo” antara Prof Dr Nurhayati Rahman MHum, kelahiran Bone, 29 Desember 1957
-seorang peneliti La Galigo (La Galigolog), serta Guru Besar Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) versus Linda Christanty, kelahiran Pulau
Bangka 8 Maret 1970, yang dikenal sebagai wartawan dan sastrawati Indonesia,
memang sangat menarik.
Lepas dari
argumen-argumen yang digunakan bersumber dari penelitian para pakar La Galigo,
juga mencoba menguak referensi klasik, titik berat perbedaan pendapat mereka
memang spektakuler.
Selama ini La Galigo
melalui berbagai seminar budaya dan penelitian-penelitian hanya mengungkap
“nilai-nilai” adiluhung yang terkandung pada kanon Bugis klasik itu. Tapi
sekarang, terutama yang diungkap Linda adalah klaim “kepemilikan” La Galigo.
Nurhayati Rahman
mengungkap sejarah La Galigo melalui
penggunaan bahasa yang bukan Bahasa Luwu, melainkan Bahasa Bugis Kuno, karena
menurut Nurhayati Rahman tidak ada Bahasa Luwu.
Sementara Linda mengungkap
bahwa La Galigo tidak dituturkan dalam Bahasa Bugis, melainkan (menurut
prediksinya) dalam Bahasa Luwu Kuno karena tidak satu katapun dalam “La Galigo”
menyebut-nyebut kata “Bugis.”
Saya tidak membaca
tulisan langsung Prof Nurhayati Rahman, yang dimuat pada Harian Kompas sebagai
tanggapan dari tulisan pertama Linda Cristanty yang menjadi pemicu polemik. Demikian
juga saya tidak membaca tulisan Linda pada media cetak yang memuatnya sebagai
tanggapan atas tulisan Prof Nurhayati Rahman. Saya membaca keduanya dari
unggahan di media sosial.
Namun saya percaya
kontennya tetap sama. Karena itulah, saya tidak merasa harus memenuhi kode etik
agar tulisan ini dimuat pada Kompas atau media yang memuat. Dengan
mengunggahnya pada media sosial (dan media daring, red), saya kira tulisan ini
dapat ikut ambil bagian pada polemik tersebut, meskipun Prof Nurhayati Rahman
maupun Linda Cristanty belum tentu dapat membacanya.
Saya memang tidak
berupaya masuk ke persoalan ilmiah, tapi mungkin lebih ke analisis kesalahkaprahan
–terutama dari Linda Cristanty, dalam memahami “Bugis” sebagai salah satu etnis
terbesar di jazirah Sulawesi (Selatan) ini.
Kita tahu bahwa jazirah
Sulawesi (Selatan) ini dihuni oleh empat etnis besar bersama dengan sub-sub
etnisnya. Ada etnis Bugis, etnis Makassar, etnis Toraja, dan etnis Mandar. Dari
empat etnis tersebut, etnis Bugis adalah etnis paling dominan.
Menurut sensus tahun
2010, ada sebanyak 6.359.000 orang Bugis tersebar di seluruh Indonesia. Dan
yang menetap di Sulawesi Selatan mencapai 3.605.639 dari total populasinya.
Nurhayati Rahman, pernah
menjelaskan bahwa ada sekitar 6 juta orang Bugis, tapi tersebar karena banyak
di antara mereka yang menjadi perantau di daerah lain dalam mencari
penghidupan.
Dengan latar belakang
seperti itu-dewasa ini- maka dapat diinterpretasi bahwa sejak dahulu
orang-orang Bugis memang sudah mendominasi wilayah Sulawesi Selatan.
Orang-orang Bugis (baca: etnis Bugis) dapat ditemukan di wilayah (daerah) Luwu,
Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng, Rappang dan daerah-daerah lain.
Bahkan daerah-daerah tersebut (Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto,
Sidenreng, Rappang ) disebut-sebut sebagai daerah-daerah kerajaan Bugis Klasik.
Sebuah catatan yang
dilansir bugiskha.wordpress.com, menyebutkan bahwa “Bugis adalah suku yang
tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah
gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata
"Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan
"ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di
Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La
Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka
menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi.
La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu,
ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo…”.
Jadi sangat masuk akal
jika para “empu” (kalaulah “La Galigo” tidak diciptakan oleh satu orang) di era
sastra kelisanan primer “menurunkan” La Galigo dalam bahasa Bugis (kuno), dan
setelah memasuki era keaksaraan primer, yaitu setelah kita mengenal tulisan,
kemudian disebar-luaskan “La Galigo” itu dalam aksara Bugis (kuno) pula.
Peran penting Colliq
Pujie Arung Pancana Toa dalam penyebaran La Galigo tampak dalam usahanya
menyalin kembali naskah-naskah La Galigo yang dihimpun dari masyarakat atas
permintaan misionaris BF Matthes –saat bertugas di Makassar sekitar tahun
1865-an-- sebajak 12 jilid, yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Leiden
Belanda dengan nomor kode NBG Boeg 188.
Boleh jadi memang masih
ada bagian dari epos panjang I Lagaligo yang lebih tua dari salinan Colliq Pujie,
seperti yang disebut Linda Cristanty tersimpan di Perpustakaan Athenaeum
Belanda dan yang juga dijelaskan oleh Nurhayati Rahman berasal dari tahun 1667,
yang konon dirampas Belanda dari pemiliknya, salah seorang Bugis di Malaka dan
tersimpan di Deventer Belanda.
Tapi semua itu masih
memerlukan penelitian filologis, terutama mengenai asal usul dan tarikh naskah
tersebut. Yang pasti naskah La Galigo yang tersimpan di Perpustakaan Leiden yang
kebanyakan menjadi objek penelitian, dan Prof Nurhayati Rahman tentu tidak asing
lagi dengan ini.
Dengan begitu semua orang
Bugis mengenal La Galigo sebagai karya sastra Bugis karena ia “dituturkan” dan
“ditulis” dalam aksara Bugis (Kuno).
Salah Kaprah
Linda Christanty dalam
tulisannya yang berjudul “Tak Ada Bugis dalam Sureq Galigo” berpendapat
(mengklaim) bahwa La Galigo bukanlah sastra Bugis hanya karena tak satu katapun
dalam naskah La Galigo menyebut-nyebut kata “Bugis”.
Bahkan pada dasarnya juga
menampik keberadaan etnis Bugis hanya dengan tak menemukan kata “Bugis” pada
kitab “𝐷𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑟𝑛𝑎𝑛𝑎”
atau “𝑁𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑔𝑎𝑚𝑎”
yang ditulis Mpu Prapanca pada 1365.
Linda mengatakan: “ekspedisi
Majapahit ke “Bantayan”, “Luwu” dan “Uda”.
Tidak ada “Bugis” di situ.
“Buru”, “Butun”, “Bhima”, “Lombok”, “Sumba”, “Seram”, “Talaud”,
“Ternate”, “Makhasar”, “Jawa”, “Ambwan” (“Ambon)”, “Maloko” (“Maluku”),
“Timor”, dan “Balli”, juga tercantum dalam kitab itu, tetapi “Bugis” tidak
ada. 𝑁𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑔𝑎𝑚𝑎
ditetapkan UNESCO sebagai Memori Dunia pada 2013.”
Dengan mengemukakan
analogi yang sesungguhnya tidak sama untuk menampik asal La Galigi, ia menyebut
Ibnu Khaldun, filsuf dan sejarawan terkemuka Mesir, pertama kali menyalin 𝐸𝑝𝑜𝑠 𝐻𝑖𝑙𝑎𝑙𝑖
pada abad ke-14, tetapi ia tidak pernah mengklaim 𝐸𝑝𝑜𝑠 𝐻𝑖𝑙𝑎𝑙𝑖
adalah sastra lisan orang Mesir atau sastra Mesir.
Ia seolah-olah “menuduh”
bahwa Nurhayati Rahman sangat keliru menyebut La Galigo sebagai karya sastra
Bugis sementara bukti-bukti ilmiah tak dapat dikemukakan. Sampai-sampai ia
mengatakan “Kalangan akademisi, ilmuwan, dan pihak terkait perlu melakukan
sosialisasi bahwa 𝑆𝑢𝑟𝑒𝑞 𝐺𝑎𝑙𝑖𝑔𝑜
atau 𝐼 𝐿𝑎 𝐺𝑎𝑙𝑖𝑔𝑜
atau 𝐿𝑎 𝐺𝑎𝑙𝑖𝑔𝑜
adalah sastra lisan Luwu’ untuk mengembalikan kebenaran kepada tempat yang
seharusnya.”
Dengan begitu,
sesungguhnya Linda salah kaprah dengan klaimnya. Bahwa dengan tidak
disebut-sebutnya kata “Bugis” pada La Galigo, atau pada 𝑁𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑔𝑎𝑚𝑎
bukanlah alasan ilmiah untuk menyebut bahwa La Galigo bukan karya sastra Bugis
sebagai mana yang umum kita kenal selama ini.
Karena, jika demikian
alasan ini jauh lebih tidak ilmiah lagi dari tudingannya bahwa Nurhayati Rahman
bukanlah seorang linguis yang mempelajari dan meneliti bahasa secara mendalam,
termasuk asal-usul, perkembangan, dan kekerabatannya, terkait lontara’ salinan
dan bahasa 𝑆𝑢𝑟𝑒𝑞 𝐺𝑎𝑙𝑖𝑔𝑜.
Linda Cristanty lupa atau
memang tidak mengetahui bahwa sesungguhnya “Bugis” itu bukanlah wilayah daerah
sebagaimana yang disebut-sebutnya seperti “Bantayan” (Bantaeng?), “Luwu”,
“Buru”, “Butun”, “Bhima”, “Lombok”, “Sumba”, “Seram”, “Talaud”, “Ternate”,
“Makhasar”, “Jawa”, “Ambwan” (“Ambon)”, “Maloko” (“Maluku”), “Timor”, dan
“Balli” (Bali?) –dalam Negarakertagama.
“Bugis” adalah etnis,
adalah suku bangsa, bukan wilayah daerah. Etnis “Bugis” (dan juga akar tradisi
dan budayanya) bisa ditemukan di wilayah (daerah) Luwu, Bone, Wajo, Soppeng,
Suppa, Sawitto, Sidenreng, Rappang, dan daerah-daerah lain. Bahkan
daerah-daerah tersebut disebut-sebut sebagai daerah kerajaan Bugis Kuno pada
awalnya.
Analogi Linda sama
fatalnya jika dikatakan bahwa Nurhayati Rahman bukanlah orang Bugis karena ia
adalah orang Bone. Yang benar jika dikatakan bahwa Linda Cristanty bukanlah
orang Bugis karena ia memang kelahiran Pulau Bangka.
Barru, 2022