------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 26 November 2022
Catatan
dari Diskusi Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2” (3):
Dinamika
Plot Novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan” Terasa Datar
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Salah satu bagian yang
paling penting dalam sebuah cerita adalah konflik. Konflik bisa disebut juga percekcokan,
pertentangan atau perselisihan. Bentuk peristiwa dalam sebuah cerita, dapat
berupa peristiwa fisik atau batin.
Peristiwa fisik
biasanya melibatkan aktivitas fisik seperti, ada interaksi antara seorang tokoh
cerita dengan sesuatu yang berasal dari luar dirinya, sedangkan peristiwa
batin, yakni sesuatu yang berasal dari dirinya sendiri atau peristiwa yang
terjadi dalam batin, pemikiran dan hati tokoh dalam suatu cerita.
Kedua bentuk peristiwa
itu saling berkaitan, saling menyebabkan terjadinya satu sama lain.
Konflik adalah kejadian
yang tergolong penting dan berfungsi menggerakkan plot (alur cerita), sehingga
konflik merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot. Bahkan
sebenarnya, yang dihadapi dan yang menyita perhatian pembaca sewaktu membaca
suatu karya naratif adalah (terutama) peristiwa-peristiwa konflik, konflik yang
semakin memuncak, klimaks dan penyelesaiannya.
Karena itulah,
kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui berbagai
peristiwa (baik aksi maupun kejadian) akan sangat menentukan kadar kemenarikan
pembaca.
Konflik memegang
peranan penting dalam suatu jalannya cerita, tanpa konflik jalan cerita akan
terasa hambar. Konflik terbagi dua, konflik fisik dan konflik batin. Konflik
fisik melibatkan tokoh dengan lingkungannya, sedangkan konflik batin melibatkan
tokoh dengan dirinya sendiri.
Unsur konflik inilah
yang terasa kurang dalam novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan (jilid 2)” karya
Rahman Rumaday, sehingga kritikus sastra Mahrus Andis mengatakan; “….dinamika
plot terasa datar.”
Mahrus mengatakan, novel
“Maharku; Pedang dan Kain Kafan (Jilid 2)” adalah cerita kehidupan rumah tangga
yang tergolong otobiografis. Rahman Rumaday selaku pengarang menukilkan kisah
dirinya dengan teknik penulisan sastra.
“Unsur-unsur fisik dan
batin sebuah karya sastra, seperti majas atau figurative language, kata
konkret, tema sentral, nada dan amanah, dapat ditemukan di dalam cerita ini. Karakter
pelaku cukup tergarap. Namun demikian, dinamika plot terasa agak datar.
Pergerakan tokoh, suspens, klimaks dan antiklimaks belum terbina secara organis,”
kata Mahrus.
Penilaian itu ia
sampaikan saat tampil sebagai salah satu pembahas dalam acara Peluncuran dan Bedah
Buku “Maharku; Pedang dan Kain Kafan (Jilid 2)” yang digelar Dinas Perpustakaan
dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, di Kantor Dinas Perpustakaan dan
Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu, 23
November 2022.
Bedah buku menampilkan
tiga pembahas, yakni Mahrus Andis (Kritikus Sastra), Yudhistira Sukatanya (Seniman,
Sutradara Teater), Lily Rachim (Pegiat Keadilan Gender), dan dipandu oleh Arwan
Rusli yang lebih dikenal dengan nama Arwan Awing (Pemred Bugispos.com) selaku
moderator.
Hadir dalam peluncuran
dan diskusi buku antara lain S Fatma Assegaf (Aktris, Produser & Sutradara
Film), Zulkarnain Hamson (akademisi, penulis), Fadly Andi Natsif (akademisi,
penulis), Ishakim (seniman), Idwar Anwar (sastrawan, penulis), Anwar Nasyaruddin (cerpenis), sejumlah
wartawan dan undangan lainnya.
Mahrus Andis mengatakan, novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan” adalah seulas kisah rumah tangga yang menggugah. Bolehlah disebut otobiografi bergaya sastra yang dituturkan seorang suami atas kecintaan terhadap istrinya.
“Rahman Rumaday
menuliskannya dengan bahasa yang rapi, sehingga buku jilid kedua ini menawarkan
keindahan yang lentur dan menyentuh batin. Walaupun dirasakan adanya ganjalan
dari beberapa aspek, terutama dinamika plot, yang masih lemah dan belum
terbangun secara cerdas,” kritik Mahrus.
Terlepas dari semua
itu, dimensi moral cerita ini sangat jelas. Ada kesan pembangkangan tradisi
leluhur yang dinilai tidak Islami. Dan di tataran ini daya tariknya: ada
dialektika yang mengundang perenungan.
Buku “Maharku; Pedang
dan Kain Kafan (Jilid 1) yang sudah dibincangkan sebelumnya, memuat gagasan
penulis yang membuat pembaca harus berhadapan dengan nilai syariat agama
(Islam) dan tradisi budaya masyarakat (Bugis-Makassar).
“Pada jilid dua ini pun
cukup masif memfreming eksistensi sebuah rumah tangga yang bersyariat. Hal ini
dapat dilihat pada struktur bagian-bagian episudnya,” kata Mahrus.
Malam
Pertama Pernikahan
Bagian 1, penulis
memaparkan suasana malam pertama pernikahannya. Di masyarakat Bugis-Makassar,
malam pertama pernikahan merupakan suasana yang dianggap sakral. Karena itu,
sesudah selesai mempelai bersanding di pelaminan, keduanya harus dipisahkan dan
dianggap tabu berduaan secara langsung di dalam kamar.
Menurut filosofi
leluhur, malam pertama sesudah mempelai duduk pengantin, adalah momentum pesta
pora para iblis di dalam kerajaan nafsu. Karena itu, sebelum kedua mempelai
memasuki kamar pengantin pada malam pertama, maka gejolak hawa nafsu (birahi)
yang ditunggangi oleh iblis harus diredakan melalui satu ritual khusus yang disebut
“mattamaq ri biliq.”
“Prosesi ritual ini
biasanya diisi dengan doa-doa keluarga ketika si istri akan bermalam selama
tiga malam (maqbenni tellumpenni) di
rumah suaminya,” kata Mahrus.
Di bagian ke-1 buku “Maharku;
Pedang dan Kain Kafan”, penulis membangkang terhadap tradisi leluhur itu.
Namun, perilaku pembangkangannya tetap bersifat rasional, yakni kedua mempelai
langsung memasuki kamar pengantin yang diisi dengan dzikir, shalat tahajud dan
bahkan penandatanganan komitmen perjanjian keluarga.
Bagian ke-1 cerita ini
menyodorkan sebuah gagasan yang bisa disebut sebagai konsep diri penulisnya.
Bang Maman menulis: “Jodoh terindah adalah jodoh yang didapatkan dari sejauh
mana orang itu memperbaiki keimanan dalam dirinya.”
“Dengan konsep diri
ini, penulis seakan ingin menjelaskan sebuah kontradiksi pemahaman aspek
syariat dan aspek budaya tentang perjodohan,” ulas Mahrus.
Secara kultural
(pemikiran budaya), jodoh tidak perlu dicari karena sudah ditetapkan takdirnya
oleh Tuhan (dalam istilah Bugis disebut “totoq mannessae, selain kelahiran dan
kematian).
Namun dari aspek
keagamaan, jodoh itu harus dicari berdasarkan kriteria yang dianjurkan oleh
Nabi, yakni: kaya (li maaliha), cantik (li jamaaliha), keturunan baik
(linasaabiha) dan beragama (lidiiniha).
“Apabila keempat
kriteria ini harus dipilih salah satunya, maka pilihlah agamanya. Dalam cerita
ini, rupanya Bang Maman selaku penulis, telah ditakdirkan memilih seorang istri
yang mungkin sempurna memenuhi keempat kriteria tersebut,” kata Mahrus.
(bersambung)