PELUNCURAN DAN DISKUSI BUKU. Maman Rumaday (kedua dari kiri) menyerahkan buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2”, kepada tiga pembicara yakni Yudhistira Sukatanya (kedua dari kanan), Mahrus Andis (paling kanan), dan Lily Rachim, pada avara peluncuran dan diskusi buku di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu, 23 November 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
-------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 24 November 2022
Catatan
dari Diskusi Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2” (1):
Hidup
Tak Hanya Berkisah Hari Ini, Di Sini, Lalu Mati
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Setelah sukses dengan
penerbitan Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, pada November 2021, Rahman Rumaday (Founder
Komunitas Anak Pelangi disingkat K-Apel) meluncurkan lanjutan bukunya yang
diberi judul “Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2.”
Peluncuran yang dirangkaikan
diskusi buku dibuka oleh Kadis Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi
Selatan diwakili Pustakawan Zahir Juana Ridwan, di Kantor Dinas Perpustakaan
dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu, 23
November 2022.
Bedah buku menampilkan tiga
pembahas, yakni Yudhistira Sukatanya (Seniman, Sutradara Teater), Mahrus Andis (Kritikus
Sastra), Lily Rachim (Pegiat Keadilan Gender), dan dipandu oleh Arwan Rusli yang
lebih dikenal dengan nama Arwan Awing (Pemred Bugispos.com) selaku moderator.
Hadir dalam peluncuran
dan diskusi buku antara lain S Fatma Assegaf (Aktris, Produser & Sutradara
Film), Zulkarnain Hamson (akademisi, penulis), Fadly Andi Natsif (akademisi,
penulis), Ishakim (seniman), Idwar Anwar (sastrawan, penulis), serta sejumlah
wartawan dan undangan lainnya.
Buku “Maharku: Pedang
dan Kain Kafan, Jilid 2” merupakan lanjutan dari buku “Maharku: Pedang dan Kain
Kafan” yang diluncurkan tahun 2021. Pada buku jilid 1, dikisahkan perjalanan
hidup seorang Maman Rumaday (Rahman Rumaday), perkenalannya dengan Heliati Eka
Susilowati (Esti), proses ta’aruf (pendekatan), hingga menikah dengan mahar
pedang dan kain kafan.
Pada jilid 2, buku “Maharku,
Pedang dan Kain Kafan” yang diterbitkan oleh Pustaka Sawerigading, bulan
November 2022, yang berisi 110 halaman, berkisah tentang malam pertama hingga
malam terakhir kebersamaan keluarga Maman Rumaday - Heliati Eka Susilowati.
“Suatu bacaan yang
sensasional, siap menenggelamkan pembacanya dalam lautan kenangan Maman,” kata
Yudhistira dalam pembahasannya.
Dia menunjuk halaman 93
buku tersebut, dan mengutip kalimat; “Merindukanmu adalah sesuatu yang datang
dalam gelombang. Dan malam ini aku hanya tenggelam.”
Bung Yudhi, sapaan
akrab Yudhistira Suktanya, juga mengutip kalimat; “Kupinang Kau Dengan Kain
Kafan dan Pedang” Bertemu denganmu atas izin Rabbku. Bersatu dengan mu atas
ridho Rabbku. Namun, mengapa Dia mengambilmu secepat ini? Bahkan ketika aku
berusaha menjadi imam terbaik untuk mu.”
“Buku ini merupakan
wujud persembahan sang penulis buat istrinya tercinta yang telah ‘pergi’, memenuhi
panggilan Allah SWT. Maman telah berupaya menyalin kenangannya dalam
kalimat-kalimat yang indah dan menyengat perhatian,” kata Bung Yudhi.
Genre buku “Maharku,
Pedang dan Kain Kafan” (MPdKK), bisa diklasifikasikan sebagai memoar atau
memoir. Memoar adalah kenang-kenangan yang menyerupai autobiografi dengan
menekankan pendapat, kesan dan tanggapan pencerita atas peristiwa-peristiwa
yang dialami serta tokoh-tokoh yang berhubungan dengannya. Meski seluk-beluk
sejarah dalam memoar tidak mutlak benar. (Wikipedia.org)
“Maman, dalam buku ini
tidak hanya mengungkapkan bagian kenangan pada istrinya yang diakuinya sebagai
tanda pemuliaan dan penghormatan terhadap wanita dari sudut pemahaman duniawi
dan ukhrawi-akhirat. Ia pun sesungguhnya memapar rangkaian kenangan itu dengan
maksud membagikan kisah inspiratif dengan membuka jendela-jendela kenangan yang
dapat menjadi bukaan pemahaman atas hikmah kehidupan, bahwa hidup tak hanya
berkisah hari ini, di sini, lalu mati. Maman, menyadarkan bahwa manusia hidup
untuk hari ini, esok, hingga setelah mati,” tutur Bung Yudhi.
Sebagai memoir, buku
ini boleh dikata mengandung nilai sastra yang tinggi. Diksinya dirangkai indah
dalam kalimat melankolik berkedalaman perasaan. Membuka ruang petualangan
imajinasi, memasuki ruang dalam riwayat yang dituliskan.
“Penulis memoar
sebagaimana biasa adalah orang-orang yang berperan sangat lekat dengan apa yang
ditulisnya. Oleh sebab itu ruang-ruang imaji yang dipaparkannya dapat menelusup
hingga kedalaman lahir batin,” kata Bung Yudhi.
Ia mengutip rangkaian paragraph;
“Aku berjalan menghampiri sang bidadari itu dengan ayunan langkah yang begitu
berat, seberat rasa grogi yang ada dalam dadaku. Bidadari itu tenang, duduk di
atas ranjang. Aku lalu duduk di sebelahnya, menolehkan wajahku, mencoba menatap
wajah sang bidadari itu. Namun, bidadari itu masih menunduk malu. Dengan
perasaan malu dan juga canggung, aku berusaha memulai pembicaraan.”
“Hai, apakah kamu
seorang bidadari yang ada dalam istikharahku beberapa waktu lalu?” tanyaku
dengan suara pelan.
Sang bidadari hanya
tersipu malu dan menunduk semakin dalam.
“Tetapi penulis dengan
tangkas mengecoh pembaca pada paragraf akhir Bab I, dengan kalimat; Malam
pertama ini, kami lewati dengan bermusyawarah. Aku dan dia membicarakan hal-hal
penting, yang akan kami jalani untuk kehidupan pernikahan ke depannya. Jadi,
ternyata malam pertama pernikahan Bung Maman dan Esti hanya dilalui dengan
musyawarah,” ungkap Bung Yudhi sambil tertawa dan hadirin pun turut tertawa.
(bersambung)