“Kuliah hari ini, Kak Fahmi. Kita ditunggu Pak Mangemba sekarang,” sapa saya.
“Ban motor lagi bocor. Nanti minggu depan saya ikut,” jawab Fahmi tanpa beban.
“Tapi Pak Mangemba tidak mau memberi saya kuliah tanpa Kak Fahmi,” saya menjelaskan.
“Ha? Kenapa bisa?” tanya Fahmi heran.
“Saya juga tidak tahu. Yang jelas, Pak Mangemba bilang: maeko rong boyai I Fahmi.”
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 22 November
2022
Dari
Kampung ke Kampus Bersama Fahmi Syariff (2):
Maeko
Rong Boyai I Fahmi
Oleh:
Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan, Kritikus Sastra)
Cita-cita kuliah di
Fakultas Sastra Unhas tercapai. Lebih setahun di kampus Baraya, namun tak
sekali pun saya bertemu Fahmi Syariff di ruang kuliah. Pertemuan saya dengannya
hanya di Dewan Kesenian Makassar (DKM) apabila ada kegiatan budaya.
Suatu hari, ketika
membaca daftar peserta mata kuliah semester ganjil yang menempel di kaca
jendela fakultas, saya menemukan nama Fahmi Syariff. Rupanya, dia pun mengambil
mata kuliah Kajian Sastra Indonesia Kontemporer” dari dosen H.D. Mangemba.
Saya gembira. Sebab, selain
akan satu kelas dengan Kak Fahmi, juga bisa setiap waktu bertemu dengan Pak
Mangemba, dosen senior dan budayawan asli Makassar yang enak diajak diskusi.
“Kajian Sastra
Indonesia Kontemporer” adalah mata kuliah pilihan yang terbilang kurang
peminatnya. Satu hal yang dihindari mahasiswa yaitu tugas mingguan pembuatan
makalah kritik sastra dari dosen. Itulah sebabnya, di semester tiga ini, hanya
saya dan Fahmi Syariff yang berani memilih matakuliah tersebut.
Waktu perkuliahan pun
tiba. Saya duduk di hadapan dosen. Pak H.D. Mangemba yang sedang membaca buku
tebal berbahasa Makassar mengangkat wajahnya. Dia sudah mengenal saya karena
sering bertemu di kantin fakultas dan di forum-forum diskusi. Wajahnya kali ini
tampak tidak ramah. Saya mencoba mengingatkan jadwal kuliah, tapi Pak Mangemba
hanya mengangguk kecil tanpa melihat saya.
“Pak, ...” saya menyapa
kembali.
“Iyo, tayangmi,”
jawabnya seperti biasa, berbahasa Makassar yang artinya: ya, tunggu saja.
Saya hanya diam.
Meskipun di dalam hati seakan ada seribu stone wales yang meratakan batu-batu
kerikil. Tiba-tiba Pak Mangemba memandang saya, lalu berkata:
“Kemaei Fahmi, Mahrus?”
(Dia bertanya, di mana Fahmi Syariff).
“Tidak datang, Pak,”
jawab saya, pura-pura sibuk menyiapkan buku catatan.
“Maeko rong boyai,” katanya
lagi, yang artinya, kamu pergi cari dia dulu.
“Jauh rumahnya, Pak. Di
sana, di Banta-bantaeng,” jawab saya menyebut alamat yang jauh.
Rupanya Pak Mangemba
tidak mempan atas alasan saya. Dia berkeras tidak akan memberikan kuliah jika
saya tidak datang bersama Fahmi Syariff.
“Maemako rong boyai.
Nia’jintu ri DKM,” katanya lagi, yang artinya: pergi cari dulu. Dia sekarang
ada di Dewan Kesenian Makassar.
Tanpa beralasan lagi,
saya langsung berdiri, menancap gas motor, menuju Gedung Societeit De Harmonie,
DKM, tempat mangkal para seniman. Belakangan saya ketahui bahwa antara Fahmi
Syariff dengan H.D. Mangemba, ibarat anyaman daun lontar yang keakrabannya
mengelopak. Setiap saat mereka bersama-sama di forum diskusi kebudayaan.
Dan benar, di salah satu
ruang gedung bangunan Belanda itu, saya menemui Fahmi Syariff. Duduk merenung,
terpisah dari teman seniman lainnya.
“Kuliah hari ini, Kak
Fahmi. Kita ditunggu Pak Mangemba sekarang,” sapa saya.
“Ban motor lagi bocor.
Nanti minggu depan saya ikut,” jawab Fahmi tanpa beban.
“Tapi Pak Mangemba
tidak mau memberi saya kuliah tanpa Kak Fahmi,” saya menjelaskan.
“Ha? Kenapa bisa?” tanya
Fahmi heran.
“Saya juga tidak tahu.
Yang jelas, Pak Mangemba bilang: maeko rong boyai I Fahmi.”
Mendengar penjelasan saya, Fahmi Syariff langsung berdiri sambil melepaskan ketawanya memenuhi ruangan. Kami pun berboncengan menuju kampus, mengikuti kuliah pertama dari Pak Hamzah DaEng Mangemba. (bersambung)
----
Artikel Bagian 1: