BELUM LELAH MENCINTAI. Sastrawan dan sutradara teater, Yudhistira Sukatanya (kanan) didampingi Rahman Rumaday, tampil sebagai salah satu pembicara pada acara Peluncuran dan Diskusi Buku “Maharku; Pedang dan Kain Kafan (Jillid 2)”, di Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu, 23 November 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 25 November 2022
Catatan
dari Diskusi Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2” (2):
Mencintai
adalah Menerima Apa Adanya Orang yang Kita Cintai
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Rahman Rumaday sebenarnya
bukan siapa-siapa. Dia bukan pejabat negara, bukan pengusaha kaya, bukan
jenderal, dan juga bukan selebriti, tetapi mampu memberi pelajaran, memberi
inspirasi, dan juga memberikan motivasi kepada banyak orang lewat karya
bukunya.
Bukunya yang berjudul “Maharku;
Pedang dan kain Kafan” (jilid 1, yang diluncurkan pada November 2021), dan “Maharku;
Pedang dan Kain Kafan” (jilid 2, yang diluncurkan pada Rabu, 23 November 2022),
memberikan begitu banyak pelajaran, serta inspirasi dan motivasi kepada setiap
orang yang membacanya.
Dari kedua bukunya
tersebut, pria kelahiran Desa Sera, Kecamatan Pulau Gorom, Kabupaten Seram
Bagian Timur, Provinsi Maluku, 04 Agustus 1986, juga tergambar betapa ia
seorang yang sangat religius.
Gambaran itu antara
lain terlihat dari kisah malam pertama pernikahannya yang dilalui dengan shalat
berjamaah bersama istrinya, Heliati Eka Susilowati (Esti).
Dalam bukunya, Maman,
sapaan akrab Rahman Rumaday, menulis;
“Malam nan indah. Baru
pertama kali, aku salat malam berduaan dengan seorang perempuan, ditemani
suasana penuh romantis, dalam ruangan berukuran 4x5 meter.”
Kemudian ia berdo’a; “Ya
Allah, aku berlindung kepadaMu, dari rasa sedih serta duka cita ataupun
kecemasan, dari rasa lemah serta kelemahan yang ada pada diri hamba.”
“Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang… wahai Tuhanku, bagaimana aku
memohon kepada-Mu, sementara aku adalah aku, dan bagaimana aku memutus
harapanku, sementara Engkau adalah Tuhanku.”
Selanjutnya ia menulis;
“Engkau belah lautan untuk Nabi Musa (keselamatan atasnya) dan Engkau
selamatkan dia dari tenggelam. Wahai Tuhanku, selamatkan aku dari apa yang
sedang aku berada di dalamnya. Wahai Tuhanku, berilah aku kemudahan dan jalan
keluar dengan rahmatMu… wahai Zat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih.”
Penggambarannya tentang
kebaikan istrinya sebagai seorang muslimah, juga memberikan pelajaran dan
inspirasi.
“Hingga bab akhir pada
beberapa halaman buku ini, diimbuh dengan beberapa Qoutes, lalu ada 10 halaman
Catatan Pribadi Esti dan sejumlah 27 halaman berisikan ungkapan perasaan dari
kenangan para sahabat,” ungkap Yudhistira Sukatanya (sastrawan dan sutradara teater).
Hal itu ia ungkapkan
saat tampil sebagai salah satu pembicara pada acara Peluncuran dan
Diskusi Buku “Maharku; Pedang dan Kain Kafan (Jillid 2)”, di Kantor Perpustakaan
dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu, 23
November 2022.
Selain Yudhistira, juga
tampil dua pembahas lainnya yakni Mahrus Andis (Kritikus Sastra) dan Lily
Rachim (Pegiat Keadilan Gender), dan dipandu oleh Arwan Rusli yang lebih
dikenal dengan nama Arwan Awing (Pemred Bugispos.com) selaku moderator.
“Apakah dengan
berakhirnya buku MPdKK (Maharku; Pedang dan Kain Kafan) jilid 2, juga menjadi
akhir kenangan Maman? Mungkin ya, mungkin pula tidak. Tak seorang pun tahu,
kecuali dia dalam ruang rahasia bersama Tuhan-nya. Apalagi jika menyimak statusnya
di Facebook,” kata Bung Yudhi, sapaan akrab Yudhistira Sukatanya.
Dalam statusnya di
Facebook, Maman menulis, “MASIH BANYAK INGATANKU TENTANGMU.”
Kemudian melanjutkan
dengan kalimat, “Caramu berbeda... Tak seperti aku pahami, kau tuntun aku keras
untuk mengenal si lembut. Kau bimbing aku lantang menantang maut dan pantang
berlutut, kau tinggalkanku sendiri agar manja tak lama terpaut, kau tuntun aku
kuat hingga lemah pun takut.”
“Halusmu... Candamu...
Tegasmu... Semua demi aku.
Hangatmu... Suaramu...
Tegarmu... Segala demi aku
mungkin itu yang
tergambar dalam maharmu yang kau
minta kepadaku waktu
itu KAIN KAFAN DAN PEDANG DAN CINCIN MAHARMU YANG KAU DONASIKAN UNTUK PALESTINA.”
“Kutitipkan rinduku
lewat jembatan Fatihah di setiap aku mengingatmu, mungkin ini satu-satunya
jembatan yang bisa dilewati untuk menyampaikan rinduku padamu, semoga kelak di
pertemukan di alam sana, suatu alam yang dijanjikan Allah yaitu surga.”
“Begitulah Maman belum
lagi lelah mencintai,” kata Bung Yudhi, seraya mengutip kalimat Maman Rumaday
berikutnya dalam bukunya;
“Mencintai adalah menerima apa adanya orang yang kita cintai, lihat dia sebagai anugerah dan berkah bagi kita.” (bersambung)
----
Artikel sebelumnya: