Secara konstitusional Pemilukada tidak bisa ditunda dengan alasan apapun, kecuali dalam keadaan darurat sipil. Oleh karena itu, sengaja menunda Pilkada di luar keadaan darurat sipil atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB) dapat dianggap penyimpangan sistem demokrasi dan mengkhianati kedaulatan rakyat.
- Achmad Ramli Karim -
-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 30 November 2022
OPINI
Menunda
Pilkada di Luar Darurat Sipil Mengkhianati Kedaulatan Rakyat
Oleh: Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik &
Pemerhati Pendidikan)
“Sengaja
menunda Pilkada di luar darurat sipil atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB)
dapat dianggap penyimpangan sistem demokrasi, dan mengkhianati kedaulatan
rakyat.”
Indonesia adalah salah
satu negara dengan bentuk pemerintahan Republik yang menganut sistem demokrasi,
dimana kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, dan semua warga negara
memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan.
Demokrasi mengizinkan
warga negara ikut serta, baik secara langsung atau melalui perwakilan, dalam
perumusan, dan penetapan hukum untuk kepentingan publik.
Istilah demokrasi
sendiri berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “Demos” dan “Kratos” yang memiliki
arti “Kekuasaan Rakyat”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), demokrasi
adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta
memerintah dengan perantaraan wakilnya yang terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu).
Dalam sistem demokrasi terkandung tiga makna, yaitu;
Pertama: Pemerintahan
atau kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana rakyatlah yang
berdaulat,
Kedua: Dalam sistem
demokrasi semua warga negara berhak berpartisipasi dalam proses politik,
Ketiga: Pemilu adalah
sarana demokrasi secara periodik setiap lima tahun sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan.
Hingga saat ini,
implementasi “Demokrasi Pancasila” terdapat perbedaan antara masa Orde Baru
dengan Era Reformasi. Di era Orde Baru, banyak sekali batasan dan rakyat
diwakili oleh perwakilannya di legislative. Oleh sebab itu lebih dikenal dengan
sebutan “demokrasi perwakilan”, sedangkan dalam era reformasi justru ditemukan
kebebasan karena rakyat memilih secara langsung, sehingga disebut sebagai “demokrasi
langsung.”
Sebagai negara yang menganut
sistem demokrasi, tentu Pemilu menjadi ciri khas guna menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara yang demokratis. Bahkan, pendiri bangsa Indonesia dalam
naskah asli UUD 1945, mencantumkan kata “Pemilu.” Namun keadaan darurat (state
of emergency) di awal revolusi Indonesia serta tidak stabilnya sistem kabinet,
memaksa Pemilu harus dilaksanakan 10 tahun pasca-kemerdekaan.
Pemilu 1955 adalah Pemilu
pertama yang menghasilkan 4 partai pemenang Pemilu yaitu; PNI, Masyumi, PKI,
dan Partai NU yang oleh Presiden Soekarno disebut 4 pilar bangsa Indonesia.
Sekaligus dianggap Pemilu terbaik dan konon menjadi “prototipe” atas
penyelenggaraan Pemilu-Pemilu selanjutnya.
Pemilu pertama ini
berdasarkan amanat UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante
dan Anggota DPR. Itulah pertama kali Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan yang
syarat dengan nilai, “keadilan, kejujuran, keragaman dan kedamaian.”
Pemilu kedua dilakukan
pada masa Orde Baru, yaitu pada tahun 1971, dimana rezim Orde Baru hendak
menukar sistem Pemilu mayoritarian dan mempertahankan sistem Pemilu proporsional
sebagai tuntutan partai politik dengan imbalan kursi garis militer di DPR.
Keberadaan Fraksi TNI
di DPR dan DPRD diharapkan menjadi kekuatan penyeimbang untuk tetap menjaga
Pancasila sebagai dasar dan falsafah bangsa dari kemungkinan ancaman, tantangan,
hambatan, dan gangguan (ATHG) dari dalam dan luar. Pemilu kedua ini terjadi
berasaskan UU No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilu.
Pada era reformasi
mulai dilaksanakan pemilihan langsung, baik untuk memilih anggota DPR pusat maupun
daerah, anggota DPD, ,Presiden dan Wakil Presiden, bahkan sampai pada pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh rakyat.
Inilah terobosan baru
atas rumusan demokratisasi di Indonesia, sesuai dengan konstitusi UUD 1945, dan
jati diri demokrasi Pancasila di Indonesia, yang berasaskan kedaulatan rakyat
(Demokrasi).
Pilkada serentak yang
telah dilaksanakan 09 Desember 2015, pada dasarnya merupakan salah satu
alternatif sistem pemilihan kepala daerah langsung dengan tujuan untuk
menghemat anggaran biaya yang cukup signifikan yang dibebankan kepada APBD.
Namun kenyataan berbicara lain, karena dalam pelaksanaannya, Pilkada serentak
pada tahun 2015 disinyalir melahirkan berbagai fenomena yang terkait dengan
“politik transaksional ” yang muncul dalam proses pelaksanaan.
Pemilihan Umum dan
Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) adalah pesta demokrasi secara periodik,
sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat yang wajib dilaksanakan oleh
pemerintah setiap lima tahun. Artinya, pemilihan kepala negara dan kepala
daerah, harus dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian, secara
konstitusional Pemilukada tidak bisa ditunda dengan alasan apapun, kecuali
dalam keadaan darurat sipil.
Oleh karena itu, sengaja
menunda Pilkada di luar keadaan darurat sipil atau Staat van Oorlog en Beleg
(SOB) dapat dianggap penyimpangan sistem demokrasi dan mengkhianati kedaulatan
rakyat.
Karena sejatinya,
setiap kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, bukan pengangkatan, dan
setiap daerah (provinsi, kabupaten/kota) berbeda masa jabatan kepala daerahnya,
sedangkan pengangkatan pejabat sementara kepala daerah, hanya diperbolehkan
bagi daerah yang kepala daerahnya masih maju menjadi calon kepala daerah di
daerahnya.
Ada
Apa?
Secara normatif,
ketentuan Penjabat (Pj) yang ditegaskan dalam UU No. 10 tahun 2016 dapat dimaknai
tidak ada alasan untuk menggunakan skema Plt, Plh, atau Pjs. Dengan demikian
pengangkatan pejabat (Pj) kepala daerah 2022 dan 2023 tersebut dapat tersirat
bahwa pengganti kepala daerah definitif akan memiliki kewenangan yang sama
dengan kepala daerah definitif pilihan rakyat (sisten demokrasi).
Namun perlu diketahui,
Pj gubernur nantinya bakal diajukan Kemendagri, kemudian dipilih oleh presiden,
sementara Pj bupati dan wali kota diajukan gubernur dan dipilih oleh
Kemendagri.
Hal ini mengundang
pertanyaan dan kecurigaan publik, ada apa Pilkada ditunda dan pejabat sementara
ditentukan oleh Presiden dan Mendagri menjelang pemilu 2024? Bisa ditafsirkan
secara subyektif jika kebijakan tersebut mengandung makna tersirat dan
terselubung.
Seharusnya RUU No. 10
Tahun 2016 tersebut tidak lolos dalam proses legislasi (Prolegnas) di legislatif,
karena DPR memiliki hak legislasi untuk menolak atau menunda pembahasannya dan
melakukan uji publik terlebih dahulu, khusunya dalam hal kompetensi dan
pengatuan penyelenggaraan kewenangan yang bertentangan dengan sistem demokrasi Pancasila
dan melanggar kedaulatan rakyat.
Dimana rakyat yang
seharusnya memilih secara langsung kepala daerahnya tanpa penundaan, kecuali
dalam keadaan darurat sipil (state of emergency) memungkinkan penundaan.
Keadaan darurat atau
dikenal sebagai “staat van oorlog en beleg” (SOB) yang dalam bahasa Inggris
disebut sebagai state of emergency
adalah suatu pernyataan dari pemerintah yang bisa mengubah fungsi-fungsi
pemerintahan, memperingatkan warganya untuk mengubah dan atau menunda
aktivitas, atau memerintahkan badan-badan negara untuk menggunakan
rencana-rencana penanggulangan keadaan darurat.
Biasanya, keadaan ini
muncul pada masa bencana alam, kerusuhan sipil, atau setelah ada pernyataan
perang. (bersambung)