- Andi Sukri Syamsuri -
-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 07 November 2022
Andi Sukri Syamsuri Jadi
Profesor Setelah 16 Tahun Sandang Doktor (6):
Neologisme Diciptakan
Guna Mengisi Kekosongan Leksikal
Penggunaan Kata
Hasil studi yang kami lakukan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bentuk neologisme dari aspek penggunaan
kata antara Indonesia dan Malaysia pada masa pandemi Covid-19.
“Di Indonesia, wujud
penggunaan kata baru pada pandemic Covid-19, tidak ditemukan. Hal ini berbeda
dengan di Malaysia yang menunjukkan beragam bentuk penggunaan kata baru yang
muncul pada masa pandemi Covid-19,” kata Andi Sukri Syamsuri.
Hal itu ia sampaikan
dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Linguistik (Bahasa)
Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar,
Senin, 31 Oktober 2022.
Andis, sapaan akrab Andi
Sukri Syamsuri, membacakan pidato pengukuhan dengan judul “Neologisme
Linguistik di Masa Pandemi Covid-19: Studi Kasus di Indonesia dan Malaysia.”
Hasil analisisnya
menunjukkan bahwa ada delapan kata baru yang muncul pada masa pandemi Covid-19
di Malaysia. Perbandingan penggunaan kata yang terbentuk selama Covid-19 di
Indonesia dan Malaysia disajikan pada gambar 3.
“Dari analisis data yang kami
lakukan, diketahui bahwa di Malaysia ada delapan bentuk neologisme yang muncul
selama pandemi Covid-19. Munculnya delapan bentuk neologisme di Malaysia itu menunjukkan
bahwa bahasa berkaitan erat dengan konteks. Artinya, bahasa (kata) yang muncul
tidak lepas dari konteks situasi yang terjadi,” tutur Andis.
Dalam konteks ini, bahasa
(atau kata) yang digunakan mengekspresikan suatu tujuan atau fungsi proses
sosial di dalam konteks situasi dan konteks kultural (Halliday & Hasan,
1976, 1985; Wiratno, 2018).
Munculnya bentuk
neologisme di Malaysia seperti tular, quarantine, pedeh (sakit), rekong
(tenggorokan), gentayangan, cakna, swafoto, dan sengah (flu), tentu tidak
terlepas dari sosial-budaya yang melatarinya.
Hal ini seperti
dikemukakan oleh Janssen, (2005) bahwa neologisme bahasa merupakan alat untuk
berekspersi dan berbagai budaya.
Di samping itu, bentuk
neologisme di Malaysia digunakan untuk mengatasi masalah kesenjangan linguistik
dalam menyebarkan informasi ilmiah dan menjadi sarana yang menjembatani
komunikasi antara profesional dan orang awam selama pandemi Covid-19 (A. H.
Haddad & Martinez, 2020).
“Penggunaan kata-kata baru
di Malaysia pada masa pandemi Covid-19 itu menunjukkan adanya kekosongan atau
yang disebut dengan ‘rumpang leksikal’. Artinya, terdapat sebuah kebutuhan
leksikal yang tidak terpenuhi bagi pengguna bahasa sehingga diciptakan
neologisme untuk mengisi kekosongan tersebut
Penggunaan istilah atau
kata yang muncul di Malaysia itu umumnya berasal dari istilah medis dan sudah
ada sebelumnya. Hanya saja, beberapa istilah itu digunakan untuk penyebaran
Covid-19 baru-baru ini,” papar Andis.
Kata quarantine,
misalnya, sudah ada sebelumnya di dunia medis, tetapi tidak begitu familiar.
Dengan kata lain, banyak dari kata-kata yang digunakan di Malaysia dalam wabah
Covid-19 itu, tidak sepenuhnya baru, tetapi relatif tidak umum sebelum tahun
2020.
Meskipun begitu, beberapa
kata atau istilah itu termasuk neologisme. Hal ini sesuai pandangan Lee (2010)
yang mengemukakan bahwa (1) neologisme dapat berkembang dari satuan leksikal
yang sudah ada dalam suatu bahasa, tetapi berubah maknanya untuk merujuk objek
atau fenomena baru;
(2) satuan leksikal baru
dapat berkembang dalam suatu bahasa untuk merujuk objek atau fenomena yang
sudah ada preferensinya; dan (3) satuan leksikal baru dapat diperkenalkan dalam
sistem semantik suatu bahasa untuk merujuk suatu objek atau fenomena baru.
“Kata endemik, pandemic,
dan quarantine adalah kata-kata yang merujuk pada fenomena baru, atau kata-kata
dan ekspresi baru yang familiar sebagai akibat dari Covid-19,” kata Andis.
Penggunaan Frasa
Frasa berkaitan dengan
satuan bahasa yang menunjukkan gabungan dua kata atau lebih yang bersifat
nonpredikatif.
“Penelitian kami
menunjukkan bahwa Indonesia dan Malaysia pada masa pandemi Covid-19 memunculkan
bentuk neologisme dari aspek frasa,” kata Andis.
Di Indonesia, katanya, ditemukan
ada lima kategori frasa yang digunakan masyarakat pada masa pandemi Covid-19.
Sementara itu, di Malaysia ditemukan ada empat frasa yang muncul selama pandemi
Covid-19.
Hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia memiliki kecenderungan untuk memproduksi frasa yang lebih banyak
daripada Malaysia dalam menjelaskan fenomena Covid-19 di masyarakat.
Namun, penting untuk
dipahami bahwa perbandingan jumlah proporsi penggunaan frasa ini tidak dapat
digeneralisasi. Perbandingan penggunaan frasa yang terbentuk selama Covid-19 di
Indonesia dan Malaysia disajikan pada gambar 4 berikut.
Dari gambar yang
disajikan tersebut, dapat diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia sama-sama
menggunakan bentuk neologisme dari aspek frasa. Hal ini menunjukkan bahwa orang
Indonesia dan Malaysia memiliki tingkat kreativitas berbahasa yang kurang lebih
sama dalam memproduksi neologisme bahasa selama pandemi Covid-19.
Hal ini dimungkinkan
terjadi karena bahasa merupakan salah satu sistem tanda yang secara alami
digunakan untuk mengungkapkan gagasan; bahkan, di antara sistem tanda yang ada,
bahasa merupakan sistem tanda yang terpenting (Saussure, 1966).
“Bahasa dianggap sebagai
perpaduan ide dan pemikiran yang secara otomatis menghasilkan dan menciptakan
kata-kata baru untuk memenuhi kebutuhan situasi percakapan,” kata Andis.
Pada masa pandemic
Covid-19, bentuk neologisme yang muncul, seperti disajikan pada gambar 4 di
atas terdiri atas frasa zona merah, zona kuning, zona orange, dan zona hijau.
Beberapa frasa ini selalu
dimunculkan di media massa sehingga menjadi frasa atau istilah yang akrab di
telinga masyarakat Indonesia di masa pandemi Covid-19.
“Beberapa frasa itu
digunakan di Indonesia sebagai indikator kategori risiko Covid-19 yang dilihat
dari tingkat penularannya ataupun penyebarannya. Penggunaan frasa zona merah,
zona kuning, zona orange, dan zona hijau pada masa pandemi Covid-19 itu tentu
saja menambah kuantitas kata atau frasa di dalam bahasa Indonesia,” sebut Andis.
Demikian halnya, di
Malaysia, beberapa frasa yang muncul, seperti penjarakan sosial, perintah
berkurung, duduk di rumah, dan 1 meter, memperkaya dan memutakhirkan sistem
leksikon dalam bahasa Melayu.
“Bentuk neologisme pada
tataran frasa yang muncul di Indonesia dan Malaysia menunjukkan adanya
pengkreasian bahasa pada dua negara itu,” kata Andis.
Dengan perkataan lain, baik orang Indonesia maupun
Malaysia menggunakan pembentukan kata atau pengkreasian kata yang berbeda untuk
menonjolkan bahasa mereka secara efektif selama wabah Coronavirus
(Krishnamurthy, 2010).
Di sini, dapat dikatakan
bahwa orang-orang di Indonesia maupun di Malaysia pada masa pandemi Covid-19
menciptakan kata-kata (atau frasa) inovatif untuk menjelaskan atau
menggambarkan ide-ide dan hal-hal baru mengenai penanganan dan pencegahan
Covid-19 yang melanda kedua negara itu.
“Hal ini selaras dengan pendapat Asif, bahwa orang-orang yang menggunakan bahasa di seluruh dunia dapat menghasilkan dan menciptakan kata-kata baru sesuai minat dan kebutuhan mereka. Meskipun, mereka mempraktikkannya dengan dukungan kata-kata yang ada sebelumnya,” tutur Andis. (asnawin / bersambung)
----
Artikel Bagian 5:
Enam Kategori Bentuk Neologisme di Indonesia dan Malaysia
Artikel Bagian 4:
Andi Sukri Syamsuri: Neologisme Terus Menerus Muncul Sebagai Bagian Alami Evolusi Bahasa
Artikel Bagian 3:
Andi Sukri Syamsuri, Alumni Pertama Unismuh Makassar Yang Dibiayai Kuliah S2
Artikel Bagian 2:
Andi Sukri Syamsuri Aktif Berorganisasi Sekaligus Mahasiswa Berprestasi
Artikel Bagian 1:
Andi Sukri Syamsuri Jadi Profesor Setelah 16 Tahun Sandang Doktor