SETIA KEPADA SIAPA? Pegiat keadilan gender, Lily Rachim, tampil sebagai salah satu pembahas buku “Maharku; Pedang dan kain Kafan (Jilid 2)” karya Rahman Rumaday, yang digelar Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu, 23 November 2022.(Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 29 November
2022
Catatan
dari Diskusi Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2” (5):
Pegiat
Gender Pertanyakan Kesetiaan Lelaki Yang Tetap Menduda
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Novel “Maharku: Pedang
dan Kain Kafan”, adalah seulas kisah rumah tangga yang menggugah. Bolehlah
disebut otobiografi bergaya sastra yang dituturkan seorang suami atas kecintaan
terhadap istrinya.
Rahman Rumaday sebagai
penulis, menuliskan kisah rumah tangganya dengan bahasa yang rapi, sehingga “Maharku:
Pedang dan Kain Kafan (Jilid 2)” menawarkan keindahan yang lentur dan menyentuh
batin.
“Walaupun dirasakan
adanya ganjalan dari beberapa aspek, terutama dinamika plot, yang masih lemah
dan belum terbangun secara cerdas,” ulas kritikus sastra Mahrus Andis saat tampil
sebagai pembahas buku “Maharku; Pedang dan kain Kafan (Jilid 2)” yang digelar
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, di Kantor Dinas
Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin,
Makassar, Rabu, 23 November 2022.
Ia tampil sebagai
pembahas bersama Yudhistira Sukatanya (Seniman, Sutradara Teater) dan Lily
Rachim (Pegiat Keadilan Gender), serta dipandu oleh Arwan Rusli yang lebih
dikenal dengan nama Arwan Awing (Pemred Bugispos.com) selaku moderator.
Salah satu nilai plus
cerita dalam novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan”, karena di dalamnya
bertaburan manik-manik moral yang diolesi pesan-pesan religius dan sangat pas
menjadi referensi kehidupan rumah tangga muslim.
“Novel ini pun menjadi
isyarat bahwa mikroteks Pedang dan Kain Kafan, tidaklah vulgar menggeser makna
syariat mahar dari status hukumnya sebagai sesuatu wajib dalam suatu pernikahan,”
kata Mahrus.
Dalil mengenai mahar,
secara syar’i, telah diatur dalam firman Allah SWT yang artinya: “Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.” (QS 4 / An-Nisa, ayat 4).
“Pedang dan kain kafan
adalah simbolisme jihad kultural-religius yang mewakili akad cinta kasih sayang
suami-istri,” tutup Mahrus yang tulisan-tulisannya telah
diterbitkan dalam beberapa buku, antara lain “Kumpulan Puisi di Atas Pematang;
Matahari Yang kemarin Adalah Matahari Bulukumbaku Yang Beringas” dan “Ketika
Rolli Menggugat Pejabat; Tulisan Ringan Sentilan Berat.”
Tidak
Menyelesaikan Masalah
Banyak yang menilai
Rahman Rumaday sebagai lelaki yang penuh cinta dan kasih sayang kepada
istrinya, Heliati Eka Susilowati. Maman, sapaan akrab Rahman Rumaday, juga
dinilai lelaki setia kepada Esti, panggilan akrab Heliati Eka Susilowati.
Maman dinilai setia karena
hingga bertahun-tahun setelah ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh sang
istri, ia tetap menduda, tapi pegiat keadilan gender, Lily Rachim, justru
mempertanyakan kesetiaan Maman tersebut.
“Jika Bung Maman
disebut setia, setia kepada siapa? Kepada Esti? Esti sudah tidak ada dalam
ruang dan waktu,” kata Lily.
Ia juga menyoroti isi
novel “Maharku: Pedang dan Kain Kafan (Jilid 2)”. Lily mengatakan novel jilid
kedua tersebut tidak lebih dari lanjutan jilid satu.
“Jilid dua tidak
menyelesaikan masalah. Klimaks buku (novel) ini ada pada jilid satu,” tandas
Lily.
Ketika membahas jilid
satu novel tersebut pada acara Bazar Bedah Buku di Figor Cafe, Makassar, Sabtu,
25 Desember 2021, Lily melihat buku tersebut dari sudut pandang
egalitarianisme.
Ia mengatakan, contoh
tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam novel ini, tampak pada tokoh
Esti yang digambarkan sebagai tokoh yang mandiri, bukan saja terkait ekonomi
tapi juga dalam pengambilan keputusan.
Sebagai pegiat isu
gender, Lily melihat bahwa keputusan untuk menikah itu dilakukan setara. Bila
prosesnya tidak setara, justru posisi laki-laki dan perempuan sama-sama
dirugikan.
Aktivis yang bergabung
di Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SP-AM) mengatakan, di dalam masyarakat
patriarki, tidak banyak perempuan yang punya posisi sosial seperti Esti.
“Pernikahan itu
sejatinya kasih sayang, dan esensi mahar itu, berdasarkan teori-teori,
sesungguhnya adalah kasih sayang,” kata Lily.
Novel “Maharku; Pedang
dan Kain Kafan” dikatakan layak sebagai hadiah kepada teman-teman yang belum
menikah, bahkan kepada orang yang berlainan agama, agar paham tentang konsep ta’aruf
(pendekatan dan perkenalan, red).
“Dalam buku ini, pembaca
juga memperoleh pemahaman terkait ta’aruf. Ta’aruf itu justru membuktikan bahwa
kedua orang yang akan menikah, punya independensi bukan intervensi. Soal mahar,
mahar itu kontekstual. Mahar pedang dan kain kafan merupakan sesuatu yang out
of the box, yang tidak terjebak pada materialism,” kata Lily. (bersambung)