- Achmad Ramli -
----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 01 Desember 2022
Menunda
Pilkada di Luar Darurat Sipil Mengkhianati Kedaulatan Rakyat (2-habis):
Pilkada
Langsung Seharusnya Tidak Bisa Ditunda
(Pengamat Politik &
Pemerhati Pendidikan)
Presiden Jokowi pernah menetapkan tahapan baru dalam penanganan virus corona (Covid-19), yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan kekarantinaan kesehatan. Apabila keadaan sangat memburuk, maka dapat menuju darurat sipil, (CNBC Indonesia). Lalu apa itu darurat sipil?
Darurat sipil merupakan
status penanganan masalah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959, tentang Keadaan Bahaya. Perppu yang
ditandatangani Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959 itu Undang-Undang Nomor
74 Tahun 1957.
Dalam Perppu itu
dijelaskan “keadaan darurat sipil” adalah keadaan bahaya yang ditetapkan oleh
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk seluruh atau sebagian wilayah
negara.
Berikut ini bunyi pasal
dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1953 ini. Pasal 1 (1); “Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik
Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau
keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
(1) Keamanan atau
ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik
Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana
alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan
secara biasa;
(2) Timbul perang atau
bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia
dengan cara apapun juga;
(3) Hidup Negara berada
dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan
ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Dalam Pasal 3
ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat.
Di level pemerintahan
daerah, penguasaan keadaan darurat sipil dipegang oleh kepala daerah
serendah-rendahnya adalah kepala daerah tingkat II (Bupati/Wali Kota). Kepala
daerah tersebut dibantu oleh komandan militer tertinggi dari daerah yang
bersangkutan, kepala kepolisian dari daerah yang bersangkutan, dan seorang
pengawas/kepala kejaksaan daerah yang bersangkutan.
Dalam Pasal 7 Perppu
tersebut dijelaskan, penguasa darurat sipil daerah harus mengikuti arahan
penguasa darurat sipil pusat, atau dalam kondisi darurat Covid-19 yang lalu
adalah Presiden Jokowi. Presiden dapat mencabut kekuasaan dari penguasa darurat
sipil daerah.
Penghapusan keadaan
bahaya (baik darurat sipil maupun darurat militer) dilakukan oleh
presiden/panglima tertinggi angkatan perang. Namun kepala daerah dapat terus
memberlakukan keadaan darurat sipil maksimal empat bulan setelah penghapusan
keadaan darurat sipil oleh pusat.
Mengundang
Opini Liar
Mengapa pemilihan
Kepala Daerah yang sudah habis masa jabatannya ditunda sampai 2024, apa dampak
dan maksud di balik penundaan tersebut?
Pelaksanaan Pilkada
serentak secara nasional pada tahun 2024 merupakan amanat Pasal 201 ayat (8) UU
10/2016 tentang Pilkada. Ketentuan tersebut menegaskan, Pemungutan suara
serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Sebagaimana kita
ketahui bersama, Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan penyelenggara pemilihan
umum (pemilu) sepakat penyelenggaraan pemungutan suara pemilu untuk memilih
presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota, serta anggota DPD RI dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 14
Februari 2024.
Sedangkan Pemungutan
suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan
wakil bupati, walikota dan wakil wali kota, dilaksanakan pada hari Rabu
tanggal 27 November 2024.
Apa
Implikasinya?
Terdapat 101 Kepala
Daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada 2022. Kemudian ada 170 Kepala
Daerah yang masa jabatannya habis pada 2023 ditambah dengan Kepala Daerah yang
baru menjabat dari hasil Pilkada 2020 yang akan berakhir masa jabatannya di
2024, sehingga daerah-daerah tersebut akan mengalami kekosongan Kepala Daerah.
Terkait dengan hal
tersebut, telah diatur pada ketentuan pasal 201 Ayat (9) UU 10/2016, untuk
mengisi kekosongan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya tahun 2022 dan
2023, maka akan ditunjuk penjabat Kepala Daerah.
Anehnya, Mendagri
mengeluatkan Surat Edaran (SE) Nomor : 821/5292/SJ. Melalui surat edaran itu,
Tito mengizinkan pelaksana tugas (Plt), pejabat (Pj), maupun pejabat sementara
(Pjs) kepala daerah memutasi hingga memberhentikan pegawai ASN tanpa izin dari
Kemendagri.
Surat edaran yang diteken oleh Mendagri Tito Karnavian pada 14 September 2022 itu ditujukan kepada gubernur, bupati/wali kota di seluruh Indonesia.
Izin itu tertuang dalam
poin nomor 4 Surat Edaran tersebut yang berbunyi; Mendagri memberikan
persetujuan tertulis kepada plt, pj, dan pjs gubernur atau bupati atau walikota
untuk memberhentikan, memberikan sanksi, hingga memutasi pegawai.
Kendati begitu, plt,
pj, dan pjs harus melaporkan hal tersebut ke Mendagri paling lambat tujuh hari
kerja terhitung sejak dilakukannya tindakan kepegawaian tersebut. Pengertian
izin menurut definisi yaitu perkenan atau pernyataan mengabulkan, sedangkan
memberikan persetujuan tertulis berarti sama dengan “mengizinkan” yang berarti
memperkenankan, memperbolehkan, tidak melarang.
Secara garis besar,
hukum perizinan adalah hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan negara
dalam hal adanya masyarakat yang memohon izin. Hukum perizinan berkaitan dengam
hukum publik, karena izin merupakan perbuatan hukum administrasi negara yang
bersegi satu yang diaplikasikan dalam peraturan berdasarkan persyaratan dan
prosedur sebagimana ketentuan perundang-undangan.
Bagaimana mungkin
seorang pejabat sementara, tanpa persetujuan tertulis Mendagri bisa melakukan
mutasi atau pemberhentian ASN, sementara kebijakan pejabat tersebut merupakan
tindakan inkonstitusional dan dapat diduga merupakan tindakan penyalagunaan
wewenang, karena bertentangan dengan asas hukum “lex superior derogate legi
inferiori.”
Dimana peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya (Asas lex superior derogate
legi inferiori).
Surat Edaran Mendagri
tersebut bertentangan dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015,
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1/2014 tentang
Pemilihan Gubemur, Bupati dan Walikota
Menjadi Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 71 UU No. 10
Tahun 2016 yaitu;
(1) Pejabat negara,
pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara,
anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu pasangan calon;
(2) Gubernur atau
Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati,
dan Walikota atau Wakil
Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6
(enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan
akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri;
(3) Gubernur atau
Wakil Gubernur, Bupati
atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang
menggunakan kewenangan, program,
dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik
di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum
tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon
terpilih ;
Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat
Gubemur atau penjabat Bupati/Walikota ;
Jika DPR, KPU, dan
Bawaslu bekerja sesuai hukum dan tupoksinya, maka akan melakukan evaluasi untuk
mengetahui kendala dan kekurangan dalam Pilkada serentak 2015 tersebut.
Namun kenyataan
berbicara lain, karena dalam pelaksanaannya, Pilkada serentak pada tahun 2015
disinyalir melahirkan berbagai fenomena yang terkait dengan “politik
transaksional” yang muncul dalam proses pilkada.
Politik transaksional
adalah suatu perjanjian pembagian kekuasaan politik atau pemberian dalam bentuk
barang, uang, jasa, maupun kebijakan tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi
seorang atau lembaga untuk mendapatkan keuntungan tertentu berdasarkan
kesepatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik.
Di Indonesia, politik
transaksional lebih dikenal sebagai istilah yang lebih diidentikan dengan
penyelenggaraan Pemilu. Politik transaksional diartikan sebagai pemberian janji
tertentu dalam rangka mempengaruhi pemilih. Namun, dari banyaknya definisi yang
ada, politik transaksional merupakan istilah orang Indonesia untuk menerangkan
semua jenis praktik dan perilaku korupsi dalam Pemilu seperti korupsi politik,
dan membeli suara (vote buying).
Menurut Jeremy
Boissevain, transaksional adalah menjelaskan hubungan pertemanan atau
persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan. Faktor
persahabatan adalah penting dan jadi keutamaan. Pada kondisi tertentu
pendekatan transaksional meletakkan peran individu lebih dominan, dan tidak
terikat kepada peraturan atau sistem (Sulaiman, 2002: 82).
Jeremy Boissevain dalam
Nizam Sulaiman, mengatakan, pendekatan transaksional terdapat pada peraturan
normatif dan peraturan pragmatif. Peraturan normatif adalah menggariskan
panduan umum terhadap tingkah laku anggota masyarakat, membentuk peraturan umum
yang formal dan unggul dalam masyarakat, sedangkan yang dimaksud peraturan
pragmatik adalah peraturan permainan atau tidak melanggar norma (Sulaiman,
2002).
Berdasarkan uraian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa politik transaksional adalah suatu bentuk
transaksi atau perjanjian antar dua pihak yang saling mempunyai kebutuhan,
terutama pada praktik politik dimana terdapat proses, ada yang memberi dan ada
yang menerima sesuatu, baik berupa materi maupun non-materi sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
Berbagai permasalahan
yang muncul tersebut secara komprehensif dapat dilihat melalui perspektif
politik transaksional, yang sudah menampakkan gejalanya menjelang Pilkada
serentak tahun 2015 lalu.
Hal tersebut dapat
ditelusuri dari mulai proses pengajuan usulan calon di internal partai politik
hingga tahapan Pilkada yang telah usai. Terjadinya politik transaksional dalam Pilkada
tersebut, yang dampaknya tidak hanya sampai proses Pilkada selesai atau pada
hasil pemenangan Pilkada, akan tetapi berdampak pada proses penyelenggaraan
pemerintahan hasil Pilkada tersebut yang juga ditengarai tidak akan berjalan
secara normatif.
Pelaksanaan Pilkada
secara langsung oleh rakyat seharusnya tidak bisa ditunda, karena bertentangan
dengan sistem demokrasi. Jika ada poros kekuatan memanfaatkan pendekatan
kepentingan politik agar DPR meloloskan regulasi demi kepentingan kelompoknya,
maka hal tersebut adalah pengkhianatan terhadap demokrasi dan kedaulatan
rakyat.
----
Penulis: Drs. Achmad Rammli K, SH., MH, Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik Asosiasi Pengawas Sekolah dan Madrasah (APSI) Provinsi Sulsel, Ex. Ketua Bidang Advokasi & Perlindungan Hukum APSI Pusat. Alumni PMP/PKn IKIP UP (AP3Knl Sul-Sel), dan Alumni 92 FH UMI Makassar.