-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 04 November 2022
Proxy War Senjata
Sekularisme di Indonesia
Oleh: Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik)
Ilmu pengetahuan dan teknologi
(Iptek) telah membawa dampak pada perubahan strategi perang, dimana sifat dan
karakteristik perang telah bergeser dari perang militer secara langsung antara
dua negara (perang konvensional), menjadi perang secara tidak langsung yang
dikenal dengan istilah “Proxy War.”
Pola konflik bersenjata
saat ini mengalami perubahan yang signifikan sehingga memengaruhi kecenderungan
bentuk konflik kontemporer di dunia. Hal ini disebabkan adanya perkembangan
teknologi militer, keinginan untuk mengurangi jatuhnya korban, biaya perang
yang tinggi dan semakin ketatnya penerapan kaidah-kaidah hukum dan konvensi
internasional.
Pola untuk menguasai
ruang tidak lagi dilakukan secara frontal, melainkan dilakukan dengan cara-cara
nonlinier, tidak langsung, dan bersifat Proxy War. Di era globalisasi sekarang
ini, kemungkinan terjadinya perang konvensional antar-dua negara dengan
menggunakan kekuatan militer semakin kecil, khususnya di Indonesia.
Perang masa kini yang
terjadi dan sedang dialami oleh bangsa Indonesia adalah ancaman Perang Proxy
(Proxy War). Proxy War tidak melalui kekuatan militer, akan tetapi perang
melalui berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik itu melalui
politik, ekonomi, sosial budaya, serta bidang kehidupan lainnya. Hal inilah
yang mengancam Bangsa Indonesia sekarang.
Ancaman adalah setiap
usaha dan kegiatan, baik dari luar maupun dari dalam negeri, yang dinilai
mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan
keselamatan bangsa Indonesi.
Sedangkan berdasarkan
sifat dan hakikat ancaman yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dapat
digolongkan menjadi dua kategori, namun keduanya bersifat ancaman nirmiliter
yaitu; ancaman nirmiliter dari luar (Ancaman Kapitalisme) dan ancaman
nirmiliter dari dalam negeri (Ancaman Ideologi).
Ancaman dari luar, yakni
ancaman yang menggunakan kekuatan ekonomi oleh negara pemberi modal pinjaman
(kapitalis) bersama pengusaha yang terorganisir (oligarki) yang dinilai
memiliki kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan
keselamatan bangsa Indonesi.
Ancaman kapitalis
tersebut dapat berupa agresi kedaulatan negara melalui campur tangan dalam
pemilihan calon presiden, pelanggaran HAM.
Demikian juga menggunakan
tangan pihak ketiga (actor non negara) dalam pembentukan senjata social
(Buzzer), sabotase perundang-undangan, spionase, aksi teror isu dan pembohongan
public dalam rangka pembentukan opin publik, serta ancaman konflik komunal.
Selain itu, pemberian
bantuan pinjaman dari negara donor sangat berpotensi menjadi ancaman, jika
pemberian pinjaman itu disertai persyaratan yang membahayakan kedaulatan negara
Indonesia, seperti persyaratan seorang calon presiden yang diinginkan oleh
negara pemberi bantuan tersebut.
Sedangkan Ancaman dari
dalam, pada hakekatnya merupakan ancaman yang menggunakan faktor-faktor
nirmiliter yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.
Ancaman ini dapat
berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan informasi,
serta keselamatan umum. Adapun ancaman idiologi dari dalam negeri Indonesia,
adalah munculnya kekuatan parpol yang ingin mengubah dasar negara Pancasila
menjadi Trisila, dan Ekasila.
Keinginan politikus
parpol tertentu, untuk menerapkan sistem sekulerisme sistem ketatanegaraan
Indonesia, di antaranya menghapus Pendidikan Agama Islam dalam Kurikulum
Nasional Pendidikan.
Lahirnya konsep RUU
Sisdiknas yang mengarah kepada sistem sekuler, dengan menyembunyikan tim
perumus dari RUU Sisdiknas tersebut. Hilangnya Lembaga Pendidikan Madrasah
dalam Kurikulun Nasional Pendidikan, dan lahirnya undang-undang pesantren yang
dapat diduga untuk mengubah kurikulum pesantren yang berbasis hukum Islam
menjadi kurikulum modern yang berbasis Iptek.
Selanjutnya upaya
kekuatan parpol untuk merombak peraturan perundang-undangan yang menguntungkan
bagi pihak pemberi modal pinjaman (kapitais).
Begitu pula rencana
terselubung dari kekuatan parpol untuk menguasai parlemen (DPR RI), melalui
kerjasam (MoU) dengan negara donor tersebut, seperti pemberian KTP bagi warga
negara luar yang berimigrasi ke-Indonesia. Rencana terselubung ini dapat
dikaitkan dengan imigran yang akan menempati pemukiman proyek reaklamasi pantai
di seluruh wiyah pantai Indonesia.
Dalam Perang Dingin di masa
lalu, Proxy War menjadi metode yang digunakan, baik oleh Amerika Serikat maupun
Uni Soviet, untuk menyebarluaskan pengaruh dan menjalankan kepentingan
masing-masing tanpa harus mengalami benturan secara langsung.
Hal ini didasari keyakinan
bahwa konflik langsung antara Amerika dan Soviet dapat berujung pada perang
nuklir. Hakekat dari perang adalah karakter politis peperangan masa depan dan
tujuan akhir politiknya.
“Proxy War pada dasarnya
adalah perang yang dilancarkan oleh negara pemilik modal (kapitalis) untuk
mengendalikan negara lain dengan menggunakan tangan pihak lain atau negara
pihak ketiga, baik melalui elit politik maupun Non-Governmental Official (NGO).”
Melalui Proxy War ini,
tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan, karena musuh
mengendalikan non state actors dari jauh. Negara musuh sebagai pengendali
(negara kapitalis) akan membiayai semua kebutuhan yang diperlukan oleh non
state actors dengan imbalan mereka mau melakukan segala sesuatu yang diinginkan
pemilik modal untuk memecah belah kekuatan musuh tersebut (politik adu domba).
Motif Proxy War yang
dilakukan oleh negara-negara kapitalis dalam beberapa kasus antara lain; a).
Penguasaan atas kekuatan politik suatu negara melalui politik transaksioal dan isu
keamanan (security issu).
b). Pendekatan ekonomi
baik menggunakan hard power maupun soft power. “Hard power” adalah bentuk
langsung pendayagunaan kekuatan melalui pendekatan memaksa (coercive power),
maupun melaui reward (pemberian hadiah), sedangkan “Soft Power” atau kekuatan
lunak, adalah kemampuan mengubah pilihan orang lain, dengan cara membujuk dan
menarik perhatian (seperti pinjaman lunak, bantuan gratis, dan BLT).
Jiia kita mengamati
kondisi perpolitikan di Indonesia, pada hakikatnya telah terjadi perang proxy
yang dilancarkan oleh negara pemberi modal pimjaman (kapitalis), hanya saja
masyarakat dan sebagian besar legislator tidak menyadarinya.
Masyarakat hanya
mengetahui perang konvensioal yaitu perang militer antara dua negara untuk
saling mengalahkan satu sama lain, sedangkan perang proxy (Proxy War) yaitu
perang yang dilancarkan oleh negara besar atau pemilik modal (kapitalis),
dengan memanfaatkan oligarki dan kekuatan parpol di legislatif melalui politik
transaksional.
Perang proxy di Indonesia
telah dilancarkan oleh negara pemberi modal pinjaman dengan memanfaatkan pihak
ketiga, yaitu kekuatan parpol, dan pengusaha sebagai perantara (actor non
negara), untuk mengontrol kekuatan peta politik setiap menjelang Pemilu dan
Pilpres di Indonesia.
Sementara kekuatan
pemecah belah masyarakat, mereka menggunakan kelompok buzzer untuk mengadu
domba masyarakat Indonesia. Sasaran proxy war sangat jelas, agar pemimpin yang
terpilih adalah pemimpin yang diinginkan oleh pihak pemberi modal pinjaman, yaitu
pemimpin yang sanggup dan mau menerapkan kebijakan publik yang memisahkan
antara politik negara dengan tuntunan agama yang ada, khususnya nilai-nilai Islam
(Sistem Sekulerisme), seperti yang berlaku di negara-negara lainnya, yang
berhasil ditaklukkan.
Perang Proxy dilakukan
dengan menggunakan kelompok-kelompok lokal suatu negara yang berasal dari aktor
negara maupun non negara. Perang Poxy di Indonesia menyerang dan merobohkan dua
sisi tembok pertahanan negara, yaitu menyerang kedaulatan negara dan merobohkan
ketahanan ideologi bangsa Indonesia.
Pertama; dari sisi kedaulatan negara, telah berhasil dibobol karena tidak adanya sistem politik luar negeri bebas aktif sebagai dasar dan acuan dalam kerjasama (MoU) dengan negara lain, sehingga segala syarat kerjasama yang ditawarkan oleh negara pemberi modal tersebut ditelan mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia. Pihak pemberi modal pinjaman bebas mengajukan permintaan yang dapat melanggar kedaulatan negara Indonesia sebagai persyaratan dari membangun kerjasama tersebut.
Pelanggaran kedaulatan
tersebut dapat berupa mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, seperti
persyaratan calon presiden yang harus didukung oleh negara pemberi modal
pinjaman, dengan memanfaatkan kekuatan pihak ketiga yaitu parpol peserta pemilu
sebagai perpanjangan tangan fraksi di DPR dan para pengusaha (actor non
negara).
Selanjutnya apa yang
menjadi prasyarat dari MoU tersebut diimplementasikan oleh eksekutif sebagai
pelaksana pemerintahan di Indonesia, di antaranya proyek reklamasi pantai di seluruh
wilayah pantai setiap provinsi di Indonesia, yaitu pembangunan hunian perumahan
eksklusif untuk dipersiapkan menampung warga negara Tiongkok (China), karena Tiongkok
tidak mampu lagi menampung kepadatan penduduknya.
Kedua; dari sisi ideologi,
dimana negara pemberi modal pinjaman (kapitalis) berhasil mengobok-obok
ketahanan sosial dan ideologi bangsa Indonesia melalui politik adu domba,
penyebaran fitnah dan isu SARA, serta pembentukan opini publik oleh pihak
ketiga pula (actor non negara), yaitu melalui pembentukan senjata pemusnah
sosial (buzzer-Rp) di tengah-tengah masyarakat majemuk.
Tujuan dan sasaran yang
ingin dicapai adalah memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat, untuk
meraih keuntungan di balik perpecahan tersebut. Namun masing-masing negara,
baik pemberi modal maupun penerima bantuan pinjaman mementingkan isu keamanan
(security), kepentingan keamanan sekaligus juga kepentingan politik, sehingga
proxy yang dilakukan berkaitan dengan dua isu tersebut (high politics).***
…..
Penulis: Drs Achmad Ramli
SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel,
Mantan Ketua Bidang Advokasi & Perlindungan Hukum APSI Pusat, Alumni 92 FH
UMI Makassar.