----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 12 November 2022
Puisi
Korupsi “Saat Berjumpa di Atas Kertas” Dikuliti di Meja Solusi
Oleh:
Mahrus Andis
(Penyair, Kritikus
Sastra)
Antologi puisi bertema
Anti Korupsi, karya Andi Ruhban dan kawan-kawan, dikuliti (baca: dibedah) di
meja solusi Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT), di Kafebaca, Jl Adhyaksa No.
2 Makassar, Sabtu, 12 November 2022.
Buku ini berisi 89
puisi dari 47 penulis berlatar belakang profesi yang berbeda. Ada dosen, guru,
karyawan, mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, wiraswasta dan peminat sastra
lainnya. Para penulis berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, yaitu
Sulawesi, Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTB, dan NTT.
Sembilan tema khusus
yang tersimpul menjadi satu judul buku: “SaaT BerJuMPA Di KerTaS” (selanjutnya
dibaca SBDK) yaitu: sabar, taat, berani, jujur, mandiri, peduli, adil,
disiplin, tanggung jawab dan sederhana. Sebuah judul yang luar biasa, terangkai
dari slogan kemanusiaan di balik kata-kata besar.
Sebahagian besar karya
di dalam buku antologi ini tergolong puisi yang baik. Indikatornya, antara lain
ide atau pesan-pesan puitik tersaji dengan verbal dan menggunakan elemen
semiotika yang jelas, khususnya dari dimensi linguistik-sintaksis.
Verbalisme ideologi
penyair dan pemanfaatan dimensi sintaksis yang sangat komunikatif dapat dibaca
pada puisi pertama, dalam Kata Pengantar antologi ini yang ditulis oleh La Ruhe
sebagai berikut:
Jujur
& Sederhana
Aku ini rakyat jelata
bagaimana kusiap ikuti
pemimpin bangsa
jika hidupnya tak jujur
tak sederhana
Aku ini jamaah umum
bagaimana kuikhlas
patuhi pemimpin agama
jika hidupnya tak jujur
tak sederhana
Aku ini warga biasa
bagaimana kumampu taati
pemimpin negara
jika hidupnya tak jujur
tak sederhana
Aku ini orang rendahan
bagaimana kuakan panuti
pemimpin setempat
jika hidupnya tak jujur
tak sederhana
Akan kudengar
kata-katamu
wahai siapapun yang
mengaku pemimpin
jika hidupmu jujur dan
sederhana.
(Makassar, 09 Desember
2017)
Biasanya, penulis yang
sering menggunakan nama La Ruhe adalah Andi Ruhban. Dia kurator tunggal buku
puisi ini. Terlepas siapa La Ruhe, puisi di atas cukup merepresentasi seluruh
ideologi kebencian penyair terhadap musuh negara yang bernama korupsi. Dari
sudut kualitas penciptaan, beberapa puisi di buku ini memiliki derajat
kreativitas yang patut dipertimbangkan.
Puisi
Diafan, Gelap dan Prismatis
Ada tiga sifat puisi
yang tersaji dalam buku antologi SBDK ini, yaitu Diafan, Gelap dan Prismatis.
Puisi Diafan. Puisi ini
memiliki ciri bahasa yang polos, kurang memanfaatkan majas (figurative
language) dan sangat mudah dipahami artinya. Hampir semua puisi di buku ini
bersifat diafan.
Untuk beberapa contoh,
puisi tersebut dapat dibaca pada judul: “Mari Berjanji” (Andi Anton Himawan,
Semarang, hal. 20), “Sekeping Taman Surga” (Diana Arsjad, Tj. Selor, hal. 41), “Jujur”
(Dina Indarsita, Medan, hal. 43), “Surat Terbuka untuk Penguasa Negara
Kleptokrasi” (Heru Mugiarso, Jakarta, hal. 68).
Berikut ini, kita kutip
satu bait puisi “Mari Berjanji”, karya Andi Anton Himawan:
“Gemah
Ripah Loh
Jinawi/Negara
makmur rakyat
sejahtera/Tanah
Indonesia tanah
surga/Adalah
cita-cita para
pujangga/
Kesejahteraan untuk
rakyat/Keadilan
sosial bagi seluruh
bangsa
...”
(SBDK, hal.20)
Puisi Gelap. Puisi
gelap biasanya disebut juga puisi kamar. Puisi tersebut terkesan berlebihan
dalam penggunaan bahasa figuratif, sifatnya simbolistik dan amat pribadi.
Model puisi ini dapat
dibaca pada beberapa judul, seperti: “Ribang Sangkakala” (Amiruddin Lallo,
Takalar, hal.13-15), “Anak Kandung Matahari” (A. Wanua Tangke, Makassar, hal.
25), “Puisimu Korupsi” (Bahar Merdu, Gowa, hal. 29), dan “Sebuah Kemajemukan”
(Denaar, Bantul, hal. 40).
Contoh puisi gelap
dapat dibaca pada kutipan puisi berjudul “Ribang Sangkakala”, karya Amiruddin
Lallo berikut ini:
“...
putik majemuk
timangan manusia/
elok berbisik di daun
kepala/duhai yang
bertarung di meja
berbunga/usaikan
ladang kerja nikmat
hari ke bulan/lelah
jakung memilin daun
duri/ini bukanlah
saga di kebun
manusia/ah,
deritaku, semisal
abdi/diri terbayang
para cukong kereta
Oktober/ingin
menanam wajahku
di pokok kelasi/
lindungi kebodohan
pintu kematian
...”
(SBDK, hal.13-14)
Puisi gelap sering juga
disebut puisi kamar karena diksi-diksi yang digunakan terlalu bersifat
individual. Dengan kata lain, hanya Tuhan dan pemilik puisi yang mampu mengerti
maknanya. Umumnya puisi gelap menjadi penanda lemahnya penyair mengeksploitasi unsur-unsur
puitik secara baik, benar dan tepat.
Puisi Prismatis. Puisi
prismatis, umumnya banyak ditulis oleh penyair yang sudah memiliki bahasa
sendiri. Ciri puisi yang bersifat prismatis, kaya dengan bahasa figuratif.
Pemilihan diksi,
pengimajinasian, dan penggunaan kata konkret terpelihara cukup baik. Penggunaan
simbol-simbol bahasa pun bersifat universal, mudah ditelisik melalui berbagai
teori dan mengandung nilai-nilai perenungan batin.
Dalam buku antologi
SBDK, beberapa puisi yang nyaris utuh bersifat prismatis dapat dilihat pada
judul “Satu Kata: Lawan!” (Muhammad Amir Jaya, Makassar, hal.80), “Kata Ibu”
(Muhammad Ferdhiyadi N, Makassar, hal. 85), dan “Mati Bagi Kamu” (Suradi Yasil,
Makassar, hal. 99).
Sebagai contoh
prismatis, kita ikuti puisi berjudul “Mati Bagi Kamu”, karya Suradi Yasil:
Mati
Bagi Kamu
Seorang anak muda
berambut gondrong
Masuk ke lorong waktu
abad ke seratus
Dan secepat cahaya dia
kembali ke abad kini
Panah mini kematian di
sakunya
perangkat sejuta
canggih
pasti tepat ditunjuknya
si koruptor
Satu milyar ke atas
Si gondrong menghadiri
sidang kasasi
Dan palu berkata kamu
kena lima tahun
Dan panahnya si
gondrong membungkam
Koruptor itu terkulai
selamanya
Sudah seribu sidang
kasasi di Indonesia/Kena panah mati dari abad seratus (sama sekali tak
diketahui apa penyebab matinya para koruptor satu milyar ke atas masih di ruang
sidang kasasi.
(SBDK, hal.99)
Membaca puisi di atas,
kita menangkap nada yang misterius. Simbol-simbol bahasa seperti: anak muda
berambut gondrong, abad ke seratus, panah mini kematian dan koruptor satu
miliar, merupakan ungkapan semiosis yang sengaja dipilih oleh penyair. Karena
itu, puisi ini boleh disebut kontemplatif dan membutuhkan pisau bedah untuk
memahami makna filosofinya.
Puisi prismatis tidak
harus selalu menggunakan simbol-simbol bahasa yang berat atau rumit. Sebuah
puisi disebut prismatis apabila di dalamnya menawarkan nilai intensitas
perenungan yang bermanfaat.
Salah satu contoh puisi
prismatis yang hanya menggunakan lambang bahasa sederhana, namun berhasil
mengundang pembaca untuk merenungkan isinya, yaitu dapat dibaca pada puisi
berikut ini:
Seekor Ulat dalam
Buah Jambu
aku terkejut melihat
seekor ulat
menggeliat dalam buah
jambu
ketika aku akan
memakannya
aku termenung sesaat,
kupikir
mungkin ulat itu ingin
berbisik
bahwa ia sama laparnya
seperti aku
(Horison, 1976)
Puisi karya Mira Sato
di atas amat sederhana, baik bentuk maupun isi. Namun untuk memahami makna
tersirat di balik lambang bahasa yang digunakan, pembaca dituntut merenung.
Misteri ulat yang menggeliat di dalam jambu itu menyiratkan pesan kemanusiaan
yang dalam. Pesan moral itulah yang ingin disampaikan penyair lewat metafora
seekor ulat yang sedang lapar.
Kesimpulan
Ke-47 puisi yang
terhimpun di dalam antologi SBDK mencerminkan kualitas puitika penyairnya. Ada
proses kreatif yang lahir dari perenungan batin yang serius. Pada dimensi
semiotika, keterbatasan menuangkan nilai puitika ke dalam struktur bahasa puisi
cukup mempengaruhi derajat karya yang dihasilkan. Maka hadirlah puisi yang
bersifat diafan (puisi auditorium), gelap (puisi kamar), dan prismatis (puisi
yang memuisi).*
Makassar, 12 November
2022