Tahun 1980-an. Auditorium Dewan Kesenian Makassar (DKM) dipadati penonton. Malam itu, naskah drama “Uleng Lolo Labu’ede”, karya A.M. Mochtar, dipentaskan. Sutradaranya Fahmi Syariff, dan saya berperan sebagai “Petta Pa’bicara” (selevel perdana menteri kerajaan). Banyak penonton yang hadir, termasuk mahasiswa dan para dosen. Salah seorang guru besar yang sempat saya ingat turut hadir adalah Prof Dr Abu Hamid, Antropolog Unhas asal Sinjai yang juga peminat teater.
------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 24 November 2022
Dari
Kampung ke Kampus Bersama Fahmi Syariff (4-habis):
Sepotong
Dialog Selamatkan Fahmi
Oleh:
Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan)
Tahun 1980-an.
Auditorium Dewan Kesenian Makassar (DKM) dipadati penonton. Malam itu, naskah
drama “Uleng Lolo Labu’ede”, karya A.M. Mochtar, dipentaskan. Sutradaranya
Fahmi Syariff, dan saya berperan sebagai “Petta Pa’bicara” (selevel perdana
menteri kerajaan).
Banyak penonton yang
hadir, termasuk mahasiswa dan para dosen. Salah seorang guru besar yang sempat
saya ingat turut hadir adalah Prof Dr Abu Hamid, Antropolog Unhas asal Sinjai yang
juga peminat teater.
Drama ini digarap
secara konvensional dengan properti “balasuji” dan “teddumpulaweng” sebagai
simbol kerajaan di Tanah Bugis.
Ceritanya menarik.
Terjalin deviasi cinta antara I Mangkawani (Putri Arumpone) dengan La Fadoma
(Putra KaraEng Tanabatu). Perang antar kerajaan pun tak terelakkan. Putri I
Mangkawani terusir dari istana, menjadi “Uleng Lolo Labu’ede”: bulan muda yang
terbenam.
Alur cerita terus
mengalir dari adegan ke adegan. Sebuah iring-iringan melintas di atas panggung.
Ada balasuji (kotak besar segi empat terbuat dari anyaman bambu) diusung oleh
sekelompok tubarani (prajurit).
Penonton hening, mereka
larut dalam adegan itu. Tiba-tiba, kecelakaan panggung terjadi. Lampu dalam
gedung padam. Seluruh ruangan gelap. Para pemain di atas panggung terpaku bagai
patung. Penonton serentak mendesah, kemudian senyap. Semua kru pentas
kebingungan. Fahmi Syariff, Sang Sutradara, sangat panik. Apa yang bisa
dilakukan dalam suasana gelap seperti itu.
Entah desakan dari
siapa, tiba-tiba saya berada di atas panggung. Walaupun tak kelihatan, tapi
vokal saya sampai ke seluruh penonton. Dengan nada intonatif, saya mengucapkan
dialog dalam bahasa Bugis dialek Bone. Saya tampil seakan memberi aba-aba kepada
para pengusung balasuji. Sepotong dialog saya lontarkan ke penonton:
“Awweee, apa’
pettangpaha kalaki’!” (Aduh, gelap sekali, anak-anak!).
Kemudian suara saya
terus “berakting”, seakan mengingatkan para pengusung balasuji agar
berhati-hati melangkah di dalam gelap.
Mendengar ucapan saya,
penonton yang beberapa saat hening, spontan menjadi gemuruh. Bahkan ada yang
tepuk tangan. Mereka mengira bahwa dialog dan suasana gelap itu adalah bagian
dari pementasan. Tepat di saat itu juga, lampu di atas panggung menyala
kembali. Dan saya sudah menghilang di balik latar.
Pementasan drama malam
itu sukses besar. Kecelakaan teknis padam lampu hanya diketahui oleh sutradara,
kru panggung dan para pemain. Untung teknisi lighting cepat tanggap. Ternyata
ada kabel yang terlepas, tersentuh oleh sutradara sendiri.
Di usai pertunjukan, dengan wajah berseri, Fahmi Syariff berbisik kepada saya: “Terima kasih. Sepotong dialog itu telah menyelamatkan saya.***
-----
Artikel sebelumnya: