-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 30 November 2022
Jejak
Sastrawan Sulsel (7):
Udhin
Palisuri, Penyair Auditorium Yang Cinta Kedamaian
Oleh:
Mahrus Andis
(Sastrawan)
Ahad, 27 November 2022,
saya di perjalanan dari Bulukumba menuju Makassar. Di atas mobil, siaran sore
radio Gamasi (baca: GAya Makassar Ada di SIni) melantunkan lagu-lagu daerah.
Tiba-tiba hadir sebuah
spot light dari vokal seseorang yang saya kenal. Suara Udhin Palisuri, seniman
teater, film dan penyair Sulawesi Selatan yang sering disapa Mayor”. Belum jelas
mengapa teman-temannya di Dewan Kesenian Makassar (DKM), dulu, memberinya
pangkat mayor. Boleh jadi karena kedekatannya dengan birokrasi militer yang
sehari-harinya menjadi wartawan koran Angkatan Bersenjata, atau lantaran
profilnya yang bertubuh besar jangkung, mirip umumnya perwira TNI.
Suara lantang Udhin
Palisuri yang membacakan sepenggal puisinya itu mengingatkan saya kepada diri
almarhum yang sudah meninggal dunia 8 tahun lalu. Kak Udhin, panggilan mesra
kami di Dewan Kesenian Makassar, terbilang deklamator ulung. Vokalnya khas
bariton namun tetap ritmis ketika ia membacakan puisi. Dia tergolong seniman
multitalenta yang juga jurnalis senior di Sulawesi Selatan.
Penyair yang suami
penyiar TVRI Makassar di tahun 1980-an, Endang Palisuri, banyak menulis
puisi-puisi epik-auditorium. Saya sebut auditorium karena hampir seluruh
puisinya enak dibacakan di tengah orang banyak. Mirip puisi pamfletnya WS Rendra.
Udhin Palisuri juga
seorang aktor layar lebar yang pernah main dalam film “Senja di Pantai Losari”
(1975) bersama Emilia Contessa dan Deddi Soetomo.
Di dunia teater, Udhin
Palisuri tidak asing. Di Jakarta, ia bergabung dengan Teater Kecil Arifin C
Noer, dan main dalam drama “Mega-mega.”
Dia pun seorang
sutradara teater yang berbakat. Beberapa pementasan kolosal yang pernah disutradarainya, antara
lain “Daeng Pasau” (karya Djamaluddin Effendy, seorang perwira TNI yang
bertugas di Kodam-Makassar) serta “Datu Museng dan Maipa Deapati” (naskah Fahmi
Syariff).
Tidak sedikit sinetron
TVRI (baik lokal maupun nasional) yang pernah ia bintangi. Demikian pula puisi
yang dia tulis cukup banyak dan sudah terbit menjadi buku sebelum dia meninggal dunia, 2 Juni 2014.
Udhin Palisuri yang
lahir 16 Agustus 1948 di Enrekang, dikenal sebagai seniman yang peramah dan akrab dengan semua level
pergaulan. Puisi-puisinya bernafaskan nasionalisme, humanis dan pengaguman
terhadap orang atau institusi yang dihormatinya. Karena itu, “Mayor” Udhin
sangat dekat dengan para tokoh masyarakat, termasuk pejabat di lingkungan sipil
dan militer.
Saya mengenal Udhin
Palisuri di tahun 1976, ketika ia diundang Bupati Bulukumba untuk melatih drama
para seniman muda. Saat itu, Udhin menulis naskah berjudul “Laki-laki”.
Pementasannya sukses dengan penonton yang melimpah ruah.
Pada puncak peringatan
Hari Jadi Kabupaten Bulukumba, 2010 (?), Udhin Palisuri diundang untuk membaca
puisi di Lapangan Pemuda Bulukumba. Dia tampil berwibawa di atas trap (sebentuk
kotak segi empat untuk tempat berdiri), di tengah ratusan hadirin dari berbagai
kalangan.
Saat itu, Udhin
membacakan puisi saya yang berjudul “Bulukumbaku Gelombang Berzikir” diiringi
musik tiup oleh Cucut (Abdi Bashit, seniman tari) dari luar lapangan, membuat
pembacaan puisi semakin syahdu ibarat hembusan angin, beriak perlahan dari
selat Selayar. Tepuk tangan pun menggema di penjuru lapangan.
Di bulan Desember,
2002, ada 3 puisi Udhin Palisuri yang bernuansa sinistis kepada pengacau
keamanan dan patut diungkapkan. Ketiga puisi ini saya temukan dalam buku “50
Seniman Sulawesi Selatan & Karyanya”, terbitan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Sulsel, 1995. Puisi tersebut mengandung kutukan dalam bentuk sinisme
terhadap teroris yang dinilai minggat dari ajaran agama. Mari kita baca berikut
ini:
Puisi-1:
BERSERAKAN
DI LANTAI
Bom
kabur kenangan
hidangan gurih dan
lezat
berserakan di lantai
duhai
sudah begitu kejam
mengusik santap malamku
(buka puasa berlumur
duka)
-Desember 2002-
Puisi-2
MAAFKAN
KAMI YA TUHAN
Maafkan kami, bila
malam menggema takbir
berubah warna kelabu
Maafkan kami, bila Idul
Fitri yang syahdu
berubah mengalir darah
Maafkan kami, bila
malam bertabur rahmat
berubah membawa laknat
Maafkan kami, bila
malam berselimut takwa
berubah meledak bencana
Maafkan kami ya Tuhan
-Mks, 2002-
Puisi-3
DOA
SEORANG TERORIS
Ya Allah, ampuni dosaku
karena telah merakit kematian dengan bom maut
Ya Allah, ampuni dosaku
karena membuat bencana
mengumbar hawa nafsu
Ya Allah, ampuni dosaku
karena begitu berani melawan kebenaran
Ya Allah, ampuni dosaku
karena tak punya malu membuat kacau di tengah negeri damai
Ya Allah, ampuni dosaku
karena begitu angkuh
merenggut nyawa orang
tak berdosa
Ya Allah, ampuni dosaku
karena lupa
minta maaf kepadamu
-Mks, Desember 2002-
Ke-3 puisi di atas,
tampak amat bersahaja. Namun jika ditelisik, terasa nada puitik penyair sangat
sinis terhadap sebuah sistem. Para teroris, pengacau pembuat bom yang tidak
berperikemanusiaan, telah membuat kezaliman di saat penyair menikmati
keberkahan bulan suci Ramadan. (Puisi -1, “buka puasa berlumur duka”)
Bulan suci Ramadan
harusnya menjadi tempat mensucikan hati dari segala bisikan iblis. Namun, di
mata penyair, ada saja manusia yang merasa tak berdosa melampaui kemauan Tuhan,
mengubah malam bertabur rahmat menjadi laknat. Mereka orang-orang yang melakukan
ini, menurut penyair, adalah bagian dari “kami”. (Puisi ke-2, “maafkan kami ya
Tuhan”)
Dalam puisinya yang
terakhir, penyair menggunakan kata “aku”. Diksi meng-aku-kan diri dalam larik
puisi itu adalah sinisme stadium tertinggi kepada teroris, pengacau yang tega
membunuh manusia tak berdosa.
Penyair, seakan
mewakili teroris pembuat bom maut menyampaikan rasa berdosa kepada Tuhan karena
keangkuhannya yang melampaui batas dan lupa bertaubat atas kejahatan yang dia
lakukan itu. (Puisi ke-3, “Ya Allah, ampuni dosaku karena lupa minta maaf
kepadamu”)
Puisi-puisi di atas
cukuplah mewakili ideologi penyair terhadap tegaknya spirit kedamaian,
kemanusiaan dan kerukunan umat beragama di negeri ini. Memahami lebih dalam tentang
diksi “kami” dan “aku”, serta kaitannya dengan terorisme di bulan Ramadan pada
puisi tersebut, tentu kita membutuhkan kritik sastra.
Paling tidak, puisi ini
harus dilihat melalui teori analisis semiotik atau Strukturalisme genetiknya
Lucien Goldmann (1913-1970).
Demikian. Semoga dengan
kenangan ini, ruh almarhum sastrawan Udhin Palisuri mendapat tempat yang indah
di pangkuan Allah Rabbun Gafur. Aamiin.
Makassar, 28 November
2022
Terima kasih atas tulisan ta .. paling tidak mengobati rasa rindu kami yg tak bertepi
BalasHapusSama2.
Hapus