Sabtu, 10 Desember 2022
Catatan
dari Temu Penulis Makasssar II di UIN Alauddin:
Kearifan
Lokal Sulawesi Selatan Sumber Inspirasi Bagi Penulis
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Nilai-nilai filosofi dan kearifan lokal
Sulawesi Selatan, sesungguhnya merupakan sumber inspirasi bagi para penulis.
Demikian pengakuan D Zawawi Imron, penyair dan budayawan Madura yang sangat
mengagumi budaya Sulawesi Selatan.
Penulis kelahiran tahun
1945 ini, berulang kali dengan fasih menyebut nilai-nilai Sulawesi Selatan yang
menjadi materi tulisannya. Dia bahkan menulis buku kumpulan puisi tentang Bugis
yang diterbitkan The Habibie Centre. Kini, ia tengah menulis buku spiritualitas
Bugis.
Penyair yang terkenal
lewat kumpulan sajak Bulan Tertusuk Ilalang, yang kemudian diangkat ke layar
perak oleh Garin Nugroho ini menyebut bahwa penyair itu orang yang merasa
tersesat tapi di jalan yang benar. Itu lebih baik, menurutnya, daripada merasa
benar tapi sesungguhnya tersesat.
“Saya membaca puisi,
juga sebenarnya bagian dari menjalankan peran sebagai mubaliq,” terang D Zawawi
Imron, yang besar di lingkungan pesantren itu.
Para penulis, penyair,
sastrawan, akademisi dan mahasiswa yang hadir di Ruang LT Kampus Samata,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin Makassar, Kamis, 08 Desember
2022, dibuat kagum oleh daya ingat D Zawawi Imron.
Meski sudah berusia 77
tahun tapi dia mampu membaca puisi-puisinya tanpa teks dengan baik di acara
Temu Penulis Makasssar II itu. Acara ini merupakan kerjasama FDK UIN Alauddin
Makassar, Dinas Perpustakaan Kota Makassar, dan Perkumpulan Penulis Indonesia
SATUPENA Sulawesi Selatan itu.
Wakil Rektor III UIN
Alauddin Makassar, Prof Darussalam Syamsuddin, menilai positif acara seperti
ini. Dia berharap, pertemuan serupa bisa dilanjutkan di kampus lain meski dalam
suasana tidak formal, biar lebih santai. Karena, katanya, dunia kampus itu
tidak bisa lepas dari dunia tulis-menulis.
Dr Firdaus Muhammad,
Dekan FDK UIN Alauddin Makassar, mengatakan tujuan pertemuan ini untuk silaturrahim dan mengakrabkan
para penulis. Sekaligus, forum bagi para penulis berbagi pengalaman seputar
proses kreativitasnya selama menulis, dan bagaimana mereka menghadapi
peluang-peluang baru menulis di era digital.
Koordinator SATUPENA
Sulawesi Selatan, Rusdin Tompo, mengucapkan terima kasih kepada Dr Firdaus
Muhammad, dan FDK selaku tuan rumah, yang sudah memfasilitasi Pertemuan Penulis
Makassar II ini.
Penggiat literasi yang
sering berprogram di sekolah-sekolah itu memberi motivasi kepada mahasiswa yang
hadir untuk tidak ragu mengembangkan potensi menulisnya. Karena sebagai
penulis, tulisannya tak hanya mewujud artikel atau buku, bisa juga dalam bentuk
lain.
HM Dahlan Abubakar,
jurnalis senior yang diberi kesempatan pertama berbagi pengalaman, mengatakan, menulis
itu seperti narkoba dalam tanda petik. Apalagi ini Piala Dunia, tinggal
bagaimana melakukan riset supaya tulisan kita didasarkan data. Misalnya, dia
mengkaji klub mana yang paling banyak mengirim pemainnya di Piala Dunia 2022,
Qatar, dan kenapa Korea Selatan bisa tembus Piala Dunia.
“Sekarang kita didukung
fasilitas, bisa menulis di laptop atau HP, bisa diposting di blog dan lain-lain,”
kata Dahlan Abubakar yang pensiunan dosen Humaniora Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Yudhistira Sukatanya
mengungkapkan, dia menulis karena punya pengalaman masa kecil. Sastrawan dan
sutradara teater itu termotivasi dari Majalah Sikuncung. Begitu selesai membaca
majalah anak-anak yang populer di masanya itu, dia berpikir bahwa dia juga bisa
menuliskan kisah-kisahnya. Penulis novel Noni Societeit de Harmonie sekarang
lagi merampungkan novel ketiganya.
Andi Wanua Tangke, yang
mengaku lahir dari dunia pers, tak hanya menggeluti profesi sebagai penulis
tapi juga punya penerbit Pustaka Refleksi dan Arus Timur. Penulis produktif ini
sudah menerbitkan 400an judul bertema lokal. Dia lebih suka menulis yang
kontrol sosial, bahkan tidak bisa menulis kalau bukan kontrol sosial.
“Saya biasa menulis di
kafe atau warkop, di saat sementara orang lalu lalang,” kata Andi Wanua Tangke.
Prof Kembong Daeng,
Guru Besar Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) UNM, mengibaratkan menulis itu
bagaikan menenun, bagaikan merangkai benang menjadi indah.
“Seperti itu pula
penulis yang merangkai kata hingga jadi teks yang dibaca dan bermanfaat bagi
banyak orang,” kata Kembong yang fokus menulis tentang kearifan lokal karena dirasakan
bahwa kearifan lokal yang mestinya jadi kebanggaan itu sudah seperti
dianak-tirikan.
Mungkin tak banyak yang
tahu bahwa Dr Adi Suryadi Culla dulunya juga menulis puisi. Puisi pertamanya
itu tentang wanita, yang dia cintai dan sekarang jadi istrinya. Puisi-puisi itu
masih dia simpan sampai sekarang.
Ketua Dewan Pendidikan
Sulawesi Selatan ini, mengaku merintis karier kepenulisan dari koran kampus.
Katanya, kalau tulisan kita sudah dipublikasikan, maka itu sudah jadi milik
publik yang bisa saja ditafsirkan berbeda-beda.
“Menulis itu tidak
seperti menggosok lampu aladin, yang begitu digosok langsung keluar raksasa,
tapi butuh ketekunan. Menulis butuh cinta, hasrat dan pikiran, juga hati,”
kunci penulis buku Patah Tumbuh Hilang Berganti itu. (asnawin)