Tulisan ini refleksi sebuah polemik puitika antara dua penyair melalui beranda fesbuk. Polemik ini saya sebut polemik puitika lantaran dialektika keduanya disampaikan melalui larik-larik puisi yang padat. Goenawan Monoharto (ingat: bukan Goenawan Mohammad), penyair dan direktur penerbitan Lamacca Makassar, terlibat polemik dengan Aspar Paturusi, sastrawan asal Sulsel yang menetap di Jakarta.
-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 05 Desember 2022
Polemik
Puitika Goenawan dan Aspar:
Kritik
Sastra Tidak Harus Membuat Kita Mati
Oleh: Mahrus Andis
Tulisan ini refleksi sebuah polemik puitika antara dua penyair melalui beranda fesbuk. Polemik ini saya sebut polemik puitika lantaran dialektika keduanya disampaikan melalui larik-larik puisi yang padat.
Goenawan Monoharto
(ingat: bukan Goenawan Mohammad), penyair dan direktur penerbitan Lamacca
Makassar, terlibat polemik dengan Aspar Paturusi, sastrawan asal Sulsel yang
menetap di Jakarta.
Berawal ketika Goenawan
menulis puisi tanpa judul di beranda fesbuknya sebagai berikut:
"malam
makin
dekat terang/ air
mata kian
berenergi/ jatuh di
tanah haus/
menumbuh pohon/
hidup/ rimbun
berbuah
tiada bermusim "
Puisi yang ditulis 30
November 2022 ini menyiratkan sehampar harapan untuk hadirnya power kehidupan
baru. Tentu harapan ini adalah doa "terang" bagi seorang Goenawan,
terutama menjelang pergantian tahun.
Rupanya Aspar Paturusi
tidak sekadar menikmati, tapi juga mengerahkan power puitiknya untuk menelisik
diksi "berenergi" pada larik puisi Goenawan tersebut. Dalam kotak
komentar, Aspar menulis:
“Apaan air mata kian
berenergi. Kata energi itu membuat tidak puitik. Cari yang lain. Bahasa
Indonesia itu kaya.”
Mendapat kritik seperti
itu, adakah Goenawan Monoharto tenang-tenang saja, bagai wayang yang adem dimainkan ?
Bisa ya. Namun, boleh
jadi juga ada detak labil di hati bagai sebiji mur goyah dari bautnya. Karena
itu, tanpa harus bersitegang lewat bahasa vulgar, Goen (panggilan akrabnya)
mencoba menulis puisi yang bernada subtil, seperti berikut:
“diam sejenak tuan/
pada malam
suram/
garis gerimis air
mata/
membasah hati/
biar jadi lembut/
ingat tuan/
jangan usik sunyi/
dengan gerutumu”
Puisi ini, ditulis
tidak langsung menjawab kritik Aspar di kolom komentar sebagaimana lazimnya
diskusi online. Akan tetapi, Goenawan menuliskannya di beranda lain fesbuknya.
Dari sudut hermeneutika (baca: ilmu tafsir), cara ini dilakukan untuk membangun
etika polemik dan menghindari hadirnya bola-bola liar yang jauh dari substansi
persoalan.
Aspar Paturusi, sebagai
sastrawan yang sudah lama lebur dalam pengalaman puitika, berhasil menangkap
sinyal "nyeri" akibat terusik di balik puisi Goenawan. Dia merasakan
kode linguistik "tuan" dalam puisi itu sebagai subjek yang diletakkan
pada dirinya. Maka dengan bahasa yang lembut, dia membalas puisi Goen sebagai
berikut:
“tuan
tidak menggerutu
hanya
menampung
gerimis
air mata
dengan
kelopak mata
yang
tak pernah kedip
menatap
wajahmu
nah
jangan biarkan kerut sedih
menoreh
wajah lembut
seakan
ditikam tajam cahya mentari
kini
menarilah
gerak
indah
gemulai
menyentuh
hati
lagi gundah
senyumlah
itulah
obatnya
dekap
erat tubuhnya
ketika
dia tegak di hadapanmu
nah
kan, tuan tak menggerutu”
Jawaban puisi di atas
menjadi penanda kearifan seorang Aspar dalam diskusi. Dia merasa “tertuduh”
sebagai “tuan yang menggerutu” atas pilihan diksi “berenergi” pada puisi
Goenawan. Tapi ia tidak perlu marah-marah karena kritiknya dinilai “mengusik
sunyi”. Malah Aspar menawarkan kesejukan. Ia mengajak penyair menari, mengobati
rasa gundah dengan senyum. Bahkan, dia pun melebarkan tangan, ingin merangkul
dan didekap ketika suatu saat keduanya bertemu.
Untuk melihat dimensi
pragmatik-sosiologis di balik hadirnya puisi Aspar Paturusi dan Goenawan
Monoharto tersebut, kita dapat memanfaatkan teori para ahli sastra. Salah satu
di antaranya, teori Strukturalisme Genetik (Lucien Goldmann 1913-1970).
Teori ini mengungkap
makna-makna yang terselimut di balik teks sebuah karya. Termasuk, tentunya,
causalitas hadirnya kritik Aspar Paturusi terhadap diksi “berenergi” yang
(mungkin juga) Goenawan merasa harus merenungi kembali pilihan estetika
puisinya itu.
Sengaja saya tulis
narasi ini. Tujuannya jelas, untuk menyatakan kepada siapa saja, khususnya
pegiat sastra, bahwa kritik tidak harus membuat kita mati.***
Makassar, 05 Desember
2022