“Siapa calon kuat Ketua Muhammadiyah?” Pertanyaan itu diajukan beberapa teman kepada saya menjelang Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Solo, Jawa Tengah, 18-20 November 2022.
Pertanyaan yang sama juga kerap diajukan kepada saya setiap menjelang Muktamar Muhammadiyah atau menjelang Musyawarah Wilayah (Musywil) Muhammadiyah Sulsel.
------
PEDOMAN
KARYA
Rabu,
21 Desember 2022
Muhammadiyah
Tidak Mengenal Pemilihan Ketua
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wakil
Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)
“Siapa
calon kuat Ketua Muhammadiyah?” Pertanyaan itu diajukan beberapa teman kepada
saya menjelang Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Solo, Jawa Tengah, 18-20 November
2022.
Pertanyaan
yang sama juga kerap diajukan kepada saya setiap menjelang Muktamar Muhammadiyah
atau menjelang Musyawarah Wilayah (Musywil) Muhammadiyah Sulsel.
Mereka
menanyakan hal itu karena mereka tahu saya orang (kader dan pengurus)
Muhammadiyah, dan tentu saja saya pun tahu bahwa mereka bukan orang
Muhammadiyah.
Maka
kepada mereka saya katakan, “Tidak ada pemilihan ketua di Muhammadiyah.”
Jawaban saya tentu saja membuat mereka heran. Dan mereka pun balik bertanya.
“Maksudnya?”
tanya mereka.
Yang
lain bertanya, “Kenapa bisa?”
Lalu
saya pun menjelaskan bahwa muktamar atau Musywil Muhammadiyah tidak mengenal
pemilihan Ketua Muhammadiyah, dan karenanya, juga tidak ada orang yang
mengajukan diri sebagai calon Ketua Muhammadiyah.
Saya
jelaskan, Muktamar Muhammadiyah memilih Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah
yang berjumlah 13 orang, dan ke-13 orang itulah yang kemudian bermusyawarah
untuk memilih siapa yang akan ditetapkan sebagai ketua. Anggota Pimpinan Pusat
ini kurang lebih sama dengan pengurus harian di organisasi lain.
Namun
proses menuju 13 Anggota Pimpinan Pusat itu cukup panjang. Diawali dengan
penjaringan oleh panitia pemilihan. Penjaringan dilakukan dengan memberi
kesempatan kepada pimpinan wilayah Muhammadiyah se-Indonesia dan pimpinan pusat
organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah mengajukan calon pimpinan.
Ortom
Muhammadiyah adalah satuan organisasi di bawah Muhammadiyah yang memiliki
wewenang mengatur rumah tangganya sendiri, terdiri atas ‘Aisyiyah, Pemuda
Muhammadiyah (PM), Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Tapak Suci Putera Muhammadiyah
(TSPM), dan Hizbul Wathan (HW).
Nama-nama
calon Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diajukan Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah se-Indonesia dan Ortom Muhammadiyah Tingkat Pusat, akan diteliti
oleh panitia pemilihan, mana yang memenuhi syarat dan mana yang tidak memenuhi
syarat seusai AD/ART Muhammadiyah.
Mereka
yang memenuhi syarat kemudian dikirimi formulir kesediaan atau tidak bersedia
dipilih sebagai calon Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mereka yang bersedia
kemudian dibawa namanya ke Sidang Tanwir untuk disahkan.
Tanwir
ialah permusyawaratan dalam Muhammadiyah di bawah Muktamar, diselenggarakan
oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat.
Jika
jumlah calon lebih dari 39 orang, maka Tanwir akan mengadakan pemilihan
mengerucutkannya menjadi 39 (3 x 13). Selanjutnya ke-39 orang inilah yang akan
dipilih dalam Sidang Muktamar sebagai calon Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah
yang berjumlah 13 orang.
Ke-13
Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah terpilih ini kemudian bermusyawarah untuk
menentukan siapa di antara mereka yang jadi ketua dan siapa yang sekretaris.
Artinya, peraih suara terbanyak di antara mereka tidak otomatis menjadi ketua.
Berbeda
dengan kebanyakan organisasi lain, peraih suara terbanyak biasanya otomatis
menjadi ketua.
Uniknya
lagi, dan inilah salah satu kelebihan Muhammadiyah, ke-13 orang terpilih itu
bisa saja tidak ada di antara mereka yang bersedia menjadi ketua.
Jika
tidak ada di antara mereka yang bersedia menjadi ketua, terutama karena merasa
berat memikul amanah sebagai ketua, maka mereka dapat memilih di luar dari
mereka dan itu pernah terjadi.
Peristiwa
itu terjadi pada Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto, tahun 1953. Ketika
itu, dari sembilan nama (ketika itu masih memilih sembilan Anggota Pimpinan
Pusat, bukan 13 orang seperti sekarang) yang sudah dipilih muktamirin untuk
melakukan musyawarah mufakat memilih Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah Periode
1953-1956, ternyata tak satu pun yang bersedia menjadi ketua.
Karena
tidak ada yang bersedia menjadi ketua, akhirnya mereka sepakat memilih calon
alternatif. Mereka kemudian berangkat ke Padang untuk membujuk Buya Ahmad
Rasyid (AR) Sutan Mansur agar mau menjadi ketua umum dan hijrah ke Jakarta atau
Yogyakarta.
AR
Sutan Mansur pernah memimpin Muhammadiyah di Minangkabau dan di Aceh. Salah
satu kalimat populernya semasa memimpin Muhammadiyah di tanah Minangkabau,
yaitu “Muhammadiyah di-Nagarikan, Nagari di-Muhammadiyahkan.”
Dengan
berat hati, Buya AR Sutan Mansur (ipar dari Buya Hamka) menerima permintaan
tersebut dan beliau pun menjalankan amanah sebagai Ketua PP Muhammadiyah
periode 1953-1956.
Buya
AR Sutan Mansur yang kelahiran Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 Desember 1895
(dan meninggal pada 25 Maret 1985), kemudian kembali terpilih sebagai Ketua PP
Muhammadiyah pada periode 1956-1959.**